Ibaratnya seseorang berkata “Aku telah terjerat pesonamu dan hendak memilihmu”, lalu kata beliau “Satu cinta telah mematri hatiku hingga kedalaman rasa dan aku tak bisa menyambut tangan yang lainnya tanpa persetujuan dan ridhoNya.”
Kali ini ratusan takjub membuat saya berpikir jika beliau bisa kenapa saya tidak?
RA. Kartini.
Sungguh arti emansipasi yang digembar-gemborkan perempuan sekarang tentang gairah yang di bawa Kartini telah banyak disalah artikan.
Berapa banyak perempuan yang semu dengan istilah emansipasi, mengorbankan harga diri dan juga jiwanya hanya untuk sekedar diakui sederajat.
JIka Kartini wanita hebat yang setahu saya adalah wanita Jawa dengan kultur kental yang hanya ingin agar perempuan tidak diperlakukan semena-mena dalam kehidupan rumah tangganya pun dalam kehidupan pada kaca mata masyarakat feodal jaman itu.
Wanita yang diinginkan Kartini adalah memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbicara, bergerak, berprestasi, menentukan pilihan baik melanjutkan pendidikan atau terkait dengan pemilihan jodohnya, kemudian mengasah kemandirian wanita lewat canting, alat tenun, dan alat lukis. Untuk membantu menopang ekonomi keluarga, agar ketika sepeninggal suami mereka masih bisa menggantungkan hidup dengan kemampuannya sendiri.
Sangat setuju dengan pola pikir Kartini bahwa PEREMPUAN HARUS MANDIRI. Karena jika seumur hidup perempuan terus bergantung pada seseorang maka dia tidak akan bisa menjadikan anak-anaknya menjadi kuat dan mandiri.
Kemandirian seorang perempuan tidak perlu harus dengan keluar rumah atau berperan layaknya laki-laki atau menyamai laki-laki.
Kartini tentu terkejut jika melihat peran laki-laki dewasa ini yang telah banyak terganti oleh perempuan hingga kemudian melahirkan perempuan-perempuan egois yang hanya memikirkan karier dan dirinya sendiri hingga mengabaikan keluarga, menutup rasa cinta pada suami dan anak-anaknya.
Perempuan yang kemudian menjadikan dirinya seakan-akan bisa mencapai puncak karier tanpa bantuan dan dukungan dari keluarganya.