"Di kalangan manusia? Apa yang adinda maksud?" tanya Prabu Mundingsari dengan penuh kebingungan.
"Sebenarnya, aku berasal dari kalangan siluman .....!" ungkap istrinya.
Baginda Prabu Mundingsari merasa terkejut dan hanya terdiam beberapa saat. Dia tidak tahu kapan dan bagaimana bayangan wajah putri siluman istrinya itu menghilang.
Demikianlah, bayi perempuan itu akhirnya dipelihara di lingkungan istana dan diberi nama Ratna Dewi Suwido. Namun, permaisuri Baginda Mundingsari merasa tidak senang dengan kehadiran Dewi Suwido di istana Pajajaran. Dia memperlakukan Dewi Suwido dengan sikap yang bengis dan dingin.
Delapan belas tahun berlalu, Dewi Suwido tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan sulit untuk dicari tandingannya. Kecantikannya terkenal hingga ke negara-negara tetangga. Hal ini semakin membuat sang permaisuri merasa tidak senang. Apalagi, putrinya tidak secantik Dewi Suwido. Sementara itu, sudah banyak lamaran dari pangeran-pangeran yang ingin mempersunting Dewi Suwido. Hati permaisuri semakin penuh dengan kecemburuan dan kemarahan. Oleh karena itu, timbul niat jahatnya untuk mengusir Dewi Suwido dari istana.
Dalam upaya untuk mewujudkan maksud jahatnya, permaisuri dan putrinya segera mendatangi seorang ahli tenung yang terkenal mahir.
"Ingat baik-baik! Jadikan wajah gadis itu jelek, dan tubuhnya harus tampak menjijikkan, sehingga tak ada yang mau melamarnya lagi," kata permaisuri dengan tegas kepada ahli tenung tersebut.
"Ah, tuanku permaisuri tidak perlu khawatir! Hal itu bukanlah tugas yang sulit bagi hamba, namun ..." kata dukun tenung itu.
"Tapi apa?" tanya permaisuri dengan rasa ingin tahu.
"Hamba harus mendapatkan imbalan yang sesuai!" kata dukun tenung itu dengan tegas.
Tanpa berkata-kata, permaisuri mengeluarkan sebuah kantong uang logam dan menjatuhkannya di depan sang dukun.