Konon, di zaman kerajaan Pajajaran Purba, terdapat seorang raja bernama Prabu Mundingsari yang terkenal karena wajah tampannya dan kepemimpinan yang bijaksana, sehingga ia dicintai oleh seluruh rakyat Pajajaran. Raja Mundingsari senang pergi berburu bersama tamtama atau pengawalnya. Namun, suatu hari, saat sedang memburu seekor kijang, ia tersesat dan terpisah dari pengawal-pengawalnya. Raja Mundingsari berusaha mencari mereka, tetapi setelah menjelajahi hutan selama setengah hari, jejak pengawalnya masih belum terlihat. Kondisi semakin gelap, dan raja akhirnya memutuskan untuk istirahat.
Dalam keadaan yang sangat lelah, Raja Mundingsari akhirnya tertidur. Namun, saat ia setengah tertidur, tiba-tiba merasa ada seseorang yang berada di dekatnya. Kejutannya membuatnya segera terbangun. Di depannya, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik tersenyum padanya. "Hai gadis yang cantik, siapa namamu...?" tanya Prabu Mundingsari dengan penuh keheranan.
"Hamba adalah cucu dari raja rimba ini .... Apakah tuan adalah raja Mundingsari dari Pajajaran?" jawab gadis cantik itu dengan sopan.
"Ya, aku adalah raja Mundingsari. Ada apa kiranya?" tanya Raja Mundingsari dengan rasa penasaran. Gadis cantik itu menjawab dengan lembut, "Tuanku tampaknya tersesat dan terpisah dari para pengawal tuanku. Sudilah kiranya tuanku singgah di istana kakekku sambil beristirahat di sana."
Karena undangan itu disampaikan dengan sangat ramah dan sopan, Raja Mundingsari tidak dapat menolaknya, terlebih lagi karena orang yang mengundangnya adalah seorang gadis yang menarik seperti pantai yang membuat betah untuk singgah. Dengan hati yang terbuka, Raja Pajajaran pun mengikuti gadis tersebut.
Tak lama kemudian, mereka tiba di istana tempat tinggal gadis tersebut. Gadis itu dengan cepat membawa Raja Mundingsari masuk ke istana. Mereka disambut oleh raksasa yang berwajah menakutkan, meskipun berwujud raksasa namun perkataannya tetap ramah.
"Ah .... hah .... hah .... hah .... hah ....! Prabu Mundingsari, selamat datang di istanaku, meskipun tidak seindah istanamu. Aku berharap tuan akan betah tinggal di sini ....! Cucuku mencintai tuan hingga tiap malam, wajah tuan selalu terpikir dalam mimpinya, bahkan dia jatuh sakit. Mengenai terpisahnya tuan dari pengawal di rimba ini, aku yang mengatur semuanya ....!" kata raksasa itu dengan nada ramah meskipun wajahnya seram.
Prabu Mundingsari merasa heran dengan kata-kata raksasa tersebut. Dia memandang putri cantik itu, yang wajahnya tampak malu-malu.
Karena kecantikan putri itu, dan juga karena kelembutan sikapnya, Prabu Mundingsari segera terpikat dan terpesona oleh perempuan itu, sehingga hatinya menjadi bergetar dan terpikirkan oleh kehadiran putri tersebut secara terus-menerus.
"Prabu Mundingsari, bagaimana pendapatmu...? Apakah kamu masih akan menolak jika aku mengatur pernikahan cucuku denganmu...." tanya raksasa yang memiliki wajah yang menakutkan itu.
"Tidak, saya tidak berani menolak," jawab Prabu Mundingsari dengan gemetar.
"Tidak berani....? Karena takut pada saya," tanya raksasa itu dengan nada merendahkan.
"Bukan.... saya benar-benar mencintai cucu Tuan," ungkap Prabu Mundingsari dengan tulus.
Kemudian, mereka menikah dan hidup dalam kebahagiaan.
Baginda tinggal bersama istrinya dalam istana di tengah rimba tersebut selama beberapa waktu. Hingga pada suatu hari...
"Adinda, rasanya sudah cukup lama kakanda meninggalkan istana Pajajaran. Aku hendak menjenguk ke sana dan ingin melihat bagaimana keadaan rakyatku....." ujar Prabu Mundingsari.
"Baiklah, kakanda! Tetapi sesekali datanglah menjenguk hamba ....." sahut istrinya dengan rasa sedih mendengar niat Prabu Mundingsari, suaminya itu.
Kemudian, Prabu Mundingsari meninggalkan istana menuju Pajajaran. Namun, kali ini baginda tidak tersesat dan dengan mudah menemukan jalan pulang.
Sesampainya di istana Pajajaran, Raja Mundingsari disambut dengan sukacita dan air mata kebahagiaan oleh permaisuri serta seluruh istana, karena telah lama Baginda menghilang dalam perburuan. Maka, Raja kembali memegang takhta Pajajaran dan memerintah seperti dulu kala.
Berbulan-bulan berlalu. Suatu malam, Raja Mundingsari terbangun dari tidurnya karena mendengar suara tangis bayi yang mengganggu. Baginda segera bangkit dari tempat tidur dan mendatangi sumber suara tersebut. Ternyata, Baginda menemukan sebuah buaian di mana terdapat seorang bayi yang tengah menangis.
Baginda segera mengangkat bayi itu, yang ternyata seorang bayi perempuan. Tiba-tiba, Baginda melihat wajah yang sangat dikenalnya, wajah istrinya dari istana di tengah rimba tempo dulu.
"Kakanda Mundingsari, bayi ini adalah bayi kita! Aku telah menyerahkannya kepadamu untuk kamu besarkan di tengah manusia," kata istrinya dengan penuh emosi.
"Di kalangan manusia? Apa yang adinda maksud?" tanya Prabu Mundingsari dengan penuh kebingungan.
"Sebenarnya, aku berasal dari kalangan siluman .....!" ungkap istrinya.
Baginda Prabu Mundingsari merasa terkejut dan hanya terdiam beberapa saat. Dia tidak tahu kapan dan bagaimana bayangan wajah putri siluman istrinya itu menghilang.
Demikianlah, bayi perempuan itu akhirnya dipelihara di lingkungan istana dan diberi nama Ratna Dewi Suwido. Namun, permaisuri Baginda Mundingsari merasa tidak senang dengan kehadiran Dewi Suwido di istana Pajajaran. Dia memperlakukan Dewi Suwido dengan sikap yang bengis dan dingin.
Delapan belas tahun berlalu, Dewi Suwido tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan sulit untuk dicari tandingannya. Kecantikannya terkenal hingga ke negara-negara tetangga. Hal ini semakin membuat sang permaisuri merasa tidak senang. Apalagi, putrinya tidak secantik Dewi Suwido. Sementara itu, sudah banyak lamaran dari pangeran-pangeran yang ingin mempersunting Dewi Suwido. Hati permaisuri semakin penuh dengan kecemburuan dan kemarahan. Oleh karena itu, timbul niat jahatnya untuk mengusir Dewi Suwido dari istana.
Dalam upaya untuk mewujudkan maksud jahatnya, permaisuri dan putrinya segera mendatangi seorang ahli tenung yang terkenal mahir.
"Ingat baik-baik! Jadikan wajah gadis itu jelek, dan tubuhnya harus tampak menjijikkan, sehingga tak ada yang mau melamarnya lagi," kata permaisuri dengan tegas kepada ahli tenung tersebut.
"Ah, tuanku permaisuri tidak perlu khawatir! Hal itu bukanlah tugas yang sulit bagi hamba, namun ..." kata dukun tenung itu.
"Tapi apa?" tanya permaisuri dengan rasa ingin tahu.
"Hamba harus mendapatkan imbalan yang sesuai!" kata dukun tenung itu dengan tegas.
Tanpa berkata-kata, permaisuri mengeluarkan sebuah kantong uang logam dan menjatuhkannya di depan sang dukun.
"Ingat baik-baik ..... aku ingin melihat wajah gadis itu hancur, sehingga tidak ada yang mau melihatnya!" perintah permaisuri dengan tegas.
"Ya, tapi saya juga membutuhkan bantuan Tuan putri...." tambah sang dukun.
"Apa lagi....?" tanya permaisuri dengan penasaran.
"Tuan Putri harus meletakkan kemenyan ini di bawah tempat tidur Dewi Suwido," jelas sang dukun.
"Tidak masalah.... Di mana kemenyannya?" tanya permaisuri dengan cepat, siap untuk melaksanakan rencana jahat itu.
Sang dukun mengambil kemenyan, lalu setelah memberikan mantra tertentu, dia menyerahkan kemenyan tersebut kepada permaisuri.
Dengan kemenyan di tangannya, permaisuri dan putrinya segera berangkat menuju istana untuk melaksanakan rencana jahat mereka terhadap Dewi Suwido.
Tengah malam, Dewi Suwido tertidur lelap, tetapi sesekali ia terbangun dengan wajah yang gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas, tetapi menjelang pagi, panas itu menghilang dan ia bisa tidur nyenyak kembali.
Keesokan harinya, Dewi Suwido bangun dari tidurnya dan merasa tidak enak di seluruh tubuhnya.
"Ah, kepala ini terasa berat. Kulit wajahku terasa tebal," pikir Dewi Suwido sambil merasa aneh dengan wajahnya. Karena merasa ada kelainan pada wajahnya, gadis itu mencari cermin. Dia sangat terkejut melihat bahwa wajahnya dalam kaca kini telah berubah menjadi buruk.
"Ah..... apakah ...... apakah yang ada di dalam cermin itu adalah wajahku? Mengapa begitu?" gumam Dewi Suwido dengan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam.
Ketika menyadari bahwa wajah yang terlihat di cermin adalah wajahnya yang sebenarnya, hati Dewi Suwido hancur! Dia menangis tanpa henti. Kecantikannya sudah tidak ada lagi.
Selama berhari-hari, gadis itu mengurung diri di dalam kamar dan enggan bertemu dengan siapa pun. Namun, atas pemberitahuan dari sang permaisuri, Prabu Mundingsari akhirnya mengetahui bahwa Dewi Suwido mengidap penyakit yang sangat serius.
"Gusti Prabu, apakah Paduka tidak merasa heran mengapa Dewi Suwido telah begitu lama tidak keluar dari kamarnya?" tanya permaisuri kepada Raja Mundingsari. Permaisuri pun mulai melancarkan siasatnya.
"Ya benar.... sudah lebih dari seminggu aku tidak melihatnya," jawab Raja Mundingsari dengan khawatir.
"Gusti Prabu, seharusnya Paduka sadar.... dia bukanlah wanita biasa...!" kata permaisuri dengan nada serius.
"Apa maksudmu, istriku...?" tanya Raja Mundingsari dengan rasa ingin tahu.
"Saya tidak berani membuat asumsi sembrono. Tetapi jika Paduka melihat wajahnya sendiri....mungkin tepat untuk menyebut Dewi Suwido sebagai siluman," kata permaisuri dengan penuh perasaan.
"Jangan membuat cerita-cerita yang tidak masuk akal, istriku..." tegas Raja Mundingsari.
"Kalau Paduka tidak percaya, silahkan saja Paduka panggil Dewi Suwido," kata permaisuri dengan tegas.
Sang Raja kemudian memerintahkan Dewi Suwido untuk menghadap di balairung istana.
"Anakku, apa yang telah terjadi padamu...?" tanya Raja Mundingsari dengan khawatir ketika melihat wajah Dewi Suwido yang telah berubah.
"Ampun Rama Prabu ... hamba tidak mengerti .... tiba-tiba hamba sudah dalam keadaan seperti ini sehingga hamba malu untuk keluar kamar," jawab Dewi Suwido dengan penuh penyesalan.
"Ah, ..... kau mengidap penyakit lepra, anakku. Penyakit itu adalah salah satu penyakit yang sangat berbahaya. Ayahanda merasa sangat menyesal. Tetapi apa boleh buat, kau harus kuasingkan dari istana...." kata Prabu Mundingsari dengan sedih dan menyesal.
"Ya, tepat sekali tindakan Gusti Prabu," sahut permaisuri, "Agar seisi istana tidak tertular."
"Hambaaaaa.......hamba tidak punya siapa-siapa lagi.....hamba mau dibuang kemana?" Dewi Suwido menangis dengan sedih dan kebingungan.
"Kau harus menyepi dan hidup di pinggir hutan...." sahut sang Permaisuri.
"Rama Prabu.....setega itukah hati Ramanda Prabu pada anak sendiri?" protes Dewi Suwido dengan penuh kesedihan.
"Maafkan aku, anakku. Jika kau sudah sembuh, kau boleh kembali ke istana ini," kata Prabu Mundingsari dengan rasa sesal.
Hati Dewi Suwido semakin hancur ketika ayah kandungnya sendiri bermaksud menyingkirkan dan tidak mau berdekatan dengannya. Prabu Mundingsari segera memerintahkan beberapa pengawal untuk mengantarkan Dewi Suwido ke dalam rimba.
Dewi Suwido diangkut menggunakan sebuah kereta kuda, hanya dibekali dengan makanan dan pakaian secukupnya.
Setiba di tepi rimba, para pengawal tidak mau mengantarkannya lebih jauh. Dengan hati yang sedih, Dewi Suwido melanjutkan perjalanan ke dalam rimba seorang diri. Dia belum tahu ke mana ia akan pergi....!
Akhirnya, Dewi Suwido sampai di Gunung Kombang, di mana dia memutuskan untuk bertapa. Dia berdoa kepada para dewa agar wajahnya dapat dikembalikan seperti semula.
Bertahun-tahun Dewi Suwido melakukan tapa, tetapi sayangnya, wajahnya bahkan semakin rusak.
Semua harapannya untuk kembali ke istana lenyap, karena wajahnya yang dulu cantik dan kulitnya yang halus telah rusak sepenuhnya.
"Mengapa...? Mengapa aku harus menerima nasib seperti ini? Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah aku berdosa?" Dewi Suwido bertanya dengan keputusasaan.
Dewi Suwido mulai menghujat para dewa dengan rasa kemarahan dan keputusasaan.
Namun, pada suatu hari, Dewi Suwido mendengar sebuah suara yang berkata, "Dewi Suwido! Jika kau ingin wajahmu kembali seperti semula, pergilah ke Selatan. Masuklah ke laut Selatan dan bersatu dengan kedalamannya......! Dan tak perlu lagi kembali ke pergaulan manusia!"
Setelah mendengar suara itu, Dewi Suwido segera berangkat ke arah selatan sesuai dengan petunjuk. Berhari-hari kemudian, ia tiba di pantai Selatan. Gadis itu merasa takut berada di pantai yang curam dan berbatu itu. Tetapi ia percaya pada kata-kata yang diterimanya dalam tapanya, yang diyakininya sebagai petunjuk dari para dewa. Dengan penuh keyakinan, Dewi Suwido terjun ke dalam laut dari tebing yang curam.
Setelah muncul kembali dari dalam laut, semua penyakit yang menempel pada tubuh Dewi Suwido telah hilang. Kecantikan Dewi Suwido pulih seperti semula, bahkan lebih cantik dari sebelumnya.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, Dewi Suwido masih hidup hingga kini dan dianggap sebagai Ratu di laut Selatan, yang dikenal sebagai Nyi Roro Kidul. Cerita ini adalah bagian dari kepercayaan dan mitologi yang kuat dalam budaya Jawa dan Indonesia. Meskipun cerita ini memiliki unsur mitos dan legenda, bagi banyak orang, Nyi Roro Kidul adalah simbol penting dalam kepercayaan tradisional.
Tentu saja, ini adalah keyakinan dan cerita yang berakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Benar atau salahnya cerita tersebut adalah masalah keyakinan pribadi dan kultural. Namun, cerita-cerita seperti ini terus diceritakan dan diteruskan dari generasi ke generasi, dan mereka memainkan peran penting dalam merawat warisan budaya dan mempertahankan nilai-nilai tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H