Mohon tunggu...
Fransisca Yuliyani
Fransisca Yuliyani Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pecinta bunga matahari | Gratitude Practitioner

Menulis untuk meninggalkan jejak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mie Ayam, Al dan Rindu

8 Desember 2022   09:50 Diperbarui: 8 Desember 2022   09:58 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar mie ayam: Freepik)

Rindu mengulas senyum lebar saat membaca pesan dari Alfian, kekasihnya.

From: Ayang Al

Sayang, sore ini aku jemput kamu di tempat biasa, ya. Kita makan mie ayam di warung Pakde. 

Rindu segera membalas pesan itu dengan hati bahagia. Jemarinya bergerak lincah di papan ketik. Ajakan makan dari Al nggak mungkin ditolak apalagi setelah seharian belajar dan ada ekstrakurikuler menari. 

Ah, Al memang pengertian banget. Walau beda sekolah, Al tetap ingat untuk menghabiskan waktu bersama pujaan hati. Nggak peduli hari Sabtu atau hari biasa, ketemuan itu hal yang wajib. 

"Eh, senyum-senyum aja lo. Kenapa, sih?"

Rindu menoleh dan menemukan Dewi dengan segelas jus jeruk di tangannya.

"Nggak bisa ya, lihat temannya seneng sedikit. Biasa, lah. Al ngajak makan."

Dewi menyeruput minumannya, menatap sahabatnya heran. "Ya ampun, cuma gitu doang. Kirain mau liburan ke Eropa."

Rindu menghembuskan napas, meletakkan gawai di sebelah piringnya dan menatap Dewi lekat.

"Lo nggak tahu, sih. Al pasti kasih gue kado. Dan itu pasti hal yang gue suka atau lagi pingin. Nggak muluk-muluk, kok. Paling jepit rambut lucu, aksesoris hape atau novel. Makannya gue excited banget."

Dewi hanya menganggukkan kepala dengan santai sementara Rindu sibuk membayangkan mie ayam favoritnya.

Mie buatan Pakde memang nggak ada duanya. Mienya lembut dan beda karena handmade. Toppingnya nggak kalengan. Ayamnya pas dengan perpaduan bumbu rempah yang nggak bikin eneg. 

Rindu bisa merasakan kuatnya perpaduan bawang merah, bawang putih, kunyit dan sereh. Oh, jangan lupakan pangsitnya. Meski isian ayamnya sedikit, tapi lembut kulit pangsitnya membuat semua itu makin sempurna. 

Sawi yang direbus dengan tingkat kematangan yang medium cooked jadi pelengkap makan yang asyik. Belum selesai dengan itu, masih ada sambal dan saus cabai pedas yang buat sensasi makan jadi lebih maknyus. 

Rindu makin tak sabar bertemu Al dan makan bersama. Senyumannya bertambah lebar, membuat Dewi melambaikan tangan di hadapan temannya itu. 

"Yah, kesambet nih kayaknya," ujar Dewi.

Beruntung bel masuk berbunyi nyaring, membuyarkan lamunan Rindu. Dewi bernapas lega ketika temannya kembali bersikap normal.

Memang kadang cinta membuat dunia jadi lebih berwarna, bukan?

**

Sepertinya sore enggan berlama-lama memberi waktu buat mentari bersinar. Buktinya Rindu sudah berada di halte, menanti Al. Rindu tak bisa berhenti tersenyum saat gawainya berdering panjang. Ah, itu pasti Al.

"Sayang, udah di mana?"sapa Rindu dengan cepat. 

"Aku masih di jalan. Kamu bisa ke sana sendiri? Aku nyusul nantil. Makan duluan juga nggak papa."

Rindu mengernyitkan kening. "Loh, memangnya kenapa?"

Bukannya menjawab, Al malah langsung mematikan sambungan telepon. 

Rindu mendesah pelan dan memutuskan untuk naik bus menuju warung Pakde. Dua puluh menit berlalu hingga Rindu akhirnya tiba di tujuan. Gadis itu memilih tempat di ujung dekat dengan freezer. Memang tempatnya kurang estetik tapi nyaman.

"Pesan kayak biasa kan, Mbak?"

Pikiran tentang Al kembali menghantui Rindu, membuatnya tak fokus pada pertanyaan Pakde. Pria itu hanya melengos dan kembali asyik dengan pekerjaannya.

 Rindu kembali menelpon kekasihnya, tapi malah operator yang menjawab. Pesan yang tadi juga masih centang abu-abu. Apa mungkin Al masih bingung cari kado? 

Rindu meletakkan gawai di tas ketika pandangannya bersirobok dengan semangkuk mie ayam dan kuah yang ditambah dua bakso di mangkuk lain. Wanginya sangat menggoda. 

Tak lama dua mangkuk itu berpindah ke hadapannya. Rindu reflek mengambil sumpit, melupakan Al. Gadis itu yakin Al pasti memenuhi janjinya. Lagipula perutnya sudah keroncongan dari tadi.

Harum daun bawang yang berpadu dengan rempah dari ayam dan pangsit rebus segera menyergap hidung Rindu. 

"Tampilannya makin bikin lapar," ujar Rindu memperhatikan mie, sawi yang hijaunya segar, potongan ayam tanpa tulang, pangsit rebus dan taburan daun bawang. 

Gadis itu menambahkan sedikit sambal dan saus ke dalam mangkuk sebelum mengaduknya. Tidak perlu kecap karena ayamnya sudah cukup manis. Beda dengan Al yang masih memakainya.

Rindu membaui aroma yang menguar dari makanan itu sebelum menuang kuah sedikit demi sedikit. Bagi Rindu lebih enak makan mie ayam tanpa kuah. 

"Mie nya lembut jadi nggak pakai kuah pun udah enak, Al," ujar Rindu suatu sore. 

"Iya, tapi menurutku lebih enak begini. Ada sensasi slurp nya," jawab Al sambil tertawa lebar, menuang semua kuah di mangkuk kecil.

Rindu tersenyum ketika mengingat secuil kenangan dengan kekasihnya itu. 

Seharusnya Al sudah di sini dan menikmati mie ayam bersama sambil bersenda gurau. Rindu menelan mienya sebelum menyeruput teh manis.

Pandangannya terarah pada tiap kendaraan yang lewat. 

Rindu belum menyentuh sumpitnya lagi saat deru motor Al mendekat. Hatinya seketika riang, tapi hanya sedetik.

Mata almond Rindu membelalak ketika seorang gadis lain turun dari boncengan motor Al.

Itu kan, Vera. Ngapain dia ikut kemari? Mau ngajak battle dance apa gimana? batin Rindu.

Al membuka helm milik Vera, tersenyum simpul sebelum merapikan anak rambut gadis itu yang sedikit berantakan. 

Rindu membuka mulutnya lebar. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi. Vera mengatakan sesuatu sementara Al terdiam sebelum meraih tangan gadis itu. 

"Al, kamu-" 

Rindu tak sanggup menyelesaikan perkatannya. Dengan penuh emosi, Rindu segera menghampiri mereka. Napasnya terengah-engah seperti habis lari marathon.

"Al, kamu apa apaan sih? Ngapain ngajak cewek lain?" pekik Rindu, menunjuk kekasihnya dengan garpu yang tadi ia ambil dari meja.

"Kamu udah lupa, ya sama hubungan kita? Kamu jahat, Al," lanjut Rindu hampir meneteskan air mata.

Al mundur perlahan sambil kedua tangannya menahan Rindu. 

"Tenang, Sayangku. Aku bisa jelasin."

"Iya, Rin. Lo jangan mikir yang aneh," tambah Vera.

Rindu menatap Vera dengan pandangan tajam seperti silet.

"Nggak usah ikut campur, Ver. Gue tahu kalau lo sebenarnya suka sama Al."

Vera mengaduh memangkas perkataan Rindu. Vera menunduk sambil memegang lututnya. Rindu mengikuti pandangan Vera dan menemui perban dan sedikit obat merah di sana. Rindu mengernyit heran dan menatap kekasihnya berharap lelaki itu memberi penjelasan.

Al menarik napas panjang.

"Jadi tadi Vera keserempet motor pas mau nyebrang. Sayangnya pengemudinya malah kabur. Vera dikelilingi orang yang mau nolongin. Nah, aku pas kebetulan lewat dan diminta mereka bawa ke klinik. Nggak ada yang parah. Tapi tadi Vera sempat shocked."

Rindu menatap dalam mata Al. Nggak mungkin ini bohongan apalagi Vera kelihatan pucat juga. 

"Rumah Vera kebetulan dekat sini jadi, ya udah. Aku anterin sekalian," lanjut Al melihat Rindu masih terdiam.

Aduh malu banget. Udah marah marah tapi salah. Mana di tempat umum lagi, batin Rindu lagi.

Rindu menatap Al lagi dengan perasaan bersalah. Seharusnya gadis itu memberi kesempatan Al buat menjelaskan. Perlahan Rindu menoleh pada Vera yang mengerang kesakitan. 

"Maaf ya, Al. Aku udah nuduh kamu. Terus lo, Ver. Sorry, ya. Gue nggak bermaksud nyakitin. Nanti gue anterin mie ayam ke rumah lo sebagai permintaan maaf."

"Santai aja. Gue ngerti, kok. Tapi lain kali lo juga harus dengerin dulu sebelum mengungkapkan pendapat. Ok. Kalian mau makan, kan? Gue balik. Makasih Al, udah bantuin gue."

Rindu dengan cepat meraih tangan Vera dan memapahnya. "Biar gue anterin. Gue harus pastikan lo baik-baik aja," sambar Rindu cepat. 

Vera mengangguk seiring Rindu yang membantunya berjalan hingga tiba di rumahnya.

**

Rindu tahu segalanya akan terasa berbeda setelah tuduhan yang ia tujukan pada kekasihnya. 

"Hey, kenapa?"

Rindu mendesah dan menemui sepasang mata Al lembut menatapnya. Saat itulah gelombang rasa bersalah menerpanya. "Aku pikir kamu nggak mau lagi jadi pacarku. Aku udah nuduh sembarangan."

"Rin, kamu tuh overthinking. Kita tetap pacaran. Kejadian tadi bisa buat pelajaran buat kita saling mendengarkan. Aku juga minta maaf karena udah buat kamu curiga."

Rindu terdiam lama mencerna perkataan kekasihnya. Genggaman tangan Al yang hangat menyadarkan Rindu kalau tidak ada alasan yang membuat Rindu ragu akan Al.

"Jujur aku malu banget tadi. Tapi, pas tahu kamu masih milih aku rasanya lega. Makasih ya, Al."

Al tersenyum manis menenangkan hati Rindu yang tadi sempat nggak karuan. 

"Jadi kita balik ke rencana awal, ya? Makan mie ayam Pakde," seru Al yang menaikkan level bahagia di hati Rindu.

Pada akhirnya mie ayam bukan hanya tentang makanan, tapi juga jadi jalinan yang membuat hati Rindu dan Al makin menyatu.

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun