Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Balas Dendam Terbaik adalah dengan Menjadikan Dirimu Lebih Baik

27 Juni 2024   17:10 Diperbarui: 2 Juli 2024   00:53 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bullying di sekolah (Sumber gambar: Pexels/cottonbro studio)

Membaca tulisan Mbak Ayra yang berjudul "Kapan Seseorang Perlu Menemui Psikolog?" membuat saya ingat pengalaman saya sendiri.

Ya, seperti halnya Mbak Ayra, dalam satu episode perjalanan hidup, tiba-tiba saya harus berkonsultasi ke psikolog. Bukan saya, tapi kami, karena yang melakukan konsultasi adalah saya dan anak saya.

Peristiwa itu terjadi sudah sekian tahun yang lalu. Tepatnya ketika anak saya duduk di kelas 10 dan menjadi korban bullying di sekolahnya.

Betapa jahatnya bullying sudah pernah saya tulis di beberapa tulisan sebelumnya. Dan kami merasakan benar-benar akibat dari bullying. Bukan hanya bagi yang di-bully, tapi juga keluarganya. 

Akibat peristiwa itu anak saya sampai harus mutasi sekolah untuk mendapatkan lingkungan belajar yang lebih kondusif.

Awal kisahnya, setelah beberapa bulan duduk di kelas sepuluh anak saya mulai menunjukkan perilaku yang aneh. Semangat belajarnya turun. Semakin pendiam dan agak ogah-ogahan kalau diajak cerita masalah sekolah. 

Dari anak-anak saya, biasanya dia paling rame. Sejak SD hingga SMP dia suka bercerita tentang teman-temannya. Tapi di SMA, dia sama sekali tidak antusias bercerita tentang sekolah.

Ilustrasi korban bullying, sumber gambar: ISPCC
Ilustrasi korban bullying, sumber gambar: ISPCC

Di SMA pun saya melihat prestasinya tidak sebagus waktu SD dan SMP.

Jika di sekolah sebelumnya ia selalu menduduki peringkat sepuluh besar, di SMA sama sekali tidak. Jangankan sepuluh besar, nilainya untuk mapel matematika, fisika, dan kimia tidak pernah lebih dari 50.

Saya merasakan ada yang aneh. Apa lagi ketika suatu saat dia berkata pada saya, "Buk, bisa tidak ya, aku pindah sekolah?"

Deg.. saya mulai merasa ada yang tidak beres 

"Memangnya kenapa? Baru mau satu semester.." jawab saya.

Dia diam. "Tidak apa-apa... cuma tidak senang saja sekolah di sana," katanya sambil terus menulis. Jelas dia menghindar dari pertanyaan saya lebih lanjut.

Hari-hari berikutnya semakin tampak bahwa anak saya ada masalah. Tiap hari Sabtu dia selalu membuat alasan supaya tidak masuk sekolah. Entah sakit perut, pusing, dan yang terakhir selalu mau muntah jika mau berangkat sekolah. Sabtu adalah hari kegiatan ekstrakurikuler.

Puncaknya ketika suatu hari saya merasakan keanehan karena SMS presensi dari sekolahnya tidak masuk ke HP saya. Ah ya, di sekolah anak saya presensinya menggunakan finger print dan info kehadiran langsung dikirimkan sekolah ke nomor HP orangtua.

"Le, kok ibuk tidak mendapat SMS dari sekolah ya? Kenapa?" tanya saya sore harinya.

"Finger print-nya rusak Buk, " katanya. Saya merasa tidak enak. Entah mengapa saya merasa bahwa ia kali ini berbohong pada saya.

Bukan hanya hari itu saya tidak menerima SMS hasil finger print, tapi sampai tiga hari berturut-turut. Padahal setiap pagi ia berangkat sekolah. Pasti ada yang tidak beres ini, pikir saya. 

Sore hari kembali saya bertanya pada anak saya. Saat itu ia sedang duduk di meja belajar sambil mengerjakan sesuatu.

"Le, ibuk kok tiga hari tidak dapat SMS. Ada apa ya? Kok sepertinya ibuk merasa kamu ada masalah?" tanya saya hati- hati.

Anak saya menunduk. Di luar dugaan dia menangis. "Buk, aku pindah saja dari sekolah itu.. sungguh, aku sudah tidak kerasan di sana," katanya kemudian.

Saya begitu terkejut. Sungguh, hal seperti ini sama sekali tidak pernah saya bayangkan. "Lha, kenapa Le? Coba ceritakan pada Ibuk..," kata saya kemudian.

Meski badan saya gemetar karena kaget, saya harus tenang, pikir saya.

Ilustrasi konsultasi dengan BK, sumber gambar: TIMES Indonesia
Ilustrasi konsultasi dengan BK, sumber gambar: TIMES Indonesia

Anak saya mulai cerita. Singkatnya, ia sudah tiga hari ini tidak masuk karena mengalami bullying di sekolah. Bullying dilakukan dengan begitu sistematis oleh teman-temannya, dimana ia tidak dihiraukan dan dikucilkan, baik di kelas, di kantin, maupun di lingkungan kegiatan ekstrakurikuler.

Penyebab utamanya, di awal masuk sekolah anak saya terlanjur masuk sebuah kegiatan ekstra yang tidak disukainya. 

Bagaimana bisa?

Saat memilih kegiatan ekstrakurikuler, dia sebenarnya ingin masuk basket. Tapi celakanya saat dia memasukkan pilihan, ternyata kuota basket habis dan terpaksa dia dimasukkan ekstra Paskibra yang masih punya kuota. Sebuah kegiatan ekstra yang melatih baris berbaris pada pesertanya dengan pola pembinaan yang agak keras.

Bagi siswa yang suka, paskibra bisa mendidik pesertanya menjadi pribadi yang kuat, disiplin juga mandiri, tapi bagi yang tidak suka masuk ekstra ini terasa begitu berat.

Sebenarnya ia sudah berusaha minta pindah ekstra. Tapi aturannya untuk pindah harus menunggu satu semester dulu. Akhirnya mau tidak mau anak saya harus ikut kegiatan paskibra selama satu semester ke depan.

Sungguh satu semester yang melelahkan. Karena kurang suka dengan kegiatan ekstra, akhirnya setiap Sabtu sering muncul sakit-sakit dadakan seperti yang saya ceritakan di atas.

Semula saya pikir semua penyakit itu dibuat-buat, dan itu muncul karena malas saja. Tapi ketika dia benar-benar muntah dalam perjalanan ke sekolah saya mulai sadar ini persoalan yang serius.

Sering tidak ikut latihan, akhirnya oleh teman-teman ekstranya anak saya dianggap kurang disiplin, dijauhi, dan berlanjut pada pengucilan. 

Ilustrasi anak mengalami bullying, sumber gambar: IntiPesan.com
Ilustrasi anak mengalami bullying, sumber gambar: IntiPesan.com

Hal yang sangat saya sesalkan adalah anak saya tidak berani berterus terang pada saya bahwa ia mengalami semua hal tersebut.

Satu semester berlalu, rapor semester satu sudah dibagikan. Saya mulai sedikit lega karena masalah ekstrakurikuler sudah tak pernah diungkit lagi oleh anak saya. Alhamdulillah, aman, pikir saya. 

Namun jauh dari yang saya bayangkan, ternyata pengucilan terus terjadi. Anak saya tidak mau bercerita karena ia ingin menyelesaikan masalahnya sendiri.

Alhasil ia sampai pada suatu titik dimana ia tidak tahan lagi dengan perlakuan teman-temannya. 

Suatu hari dia berontak dan terjadi perang mulut dengan teman-temannya yang sering membully. Dan keesokan harinya ia tidak mau masuk sekolah.

Sungguh, saya benar-benar merasa berdosa sekaligus kecolongan, mengapa sampai tidak mengerti bahwa anak saya menghadapi masalah ini? 

Esoknya saya segera konsul ke BK dan wali kelas juga ke kepala sekolah. Kami diajak bicara dan dinasehati. 

Mediasi dilakukan. Anak saya dipertemukan dengan teman-temannya yang ditengarai melakukan bullying. Setelah diskusi dan diberi arahan oleh BK, kami pulang. Tapi esok harinya ia tetap pada pendiriannya, tidak mau masuk sekolah. 

Dua hari berikutnya saya kembali ke kepala sekolah. Akhirnya atas nasehat kepala sekolah, kami diminta menghubungi psikolog yang menjadi langganan konsul bagi siswa yang bermasalah. Setelah mendapatkan alamatnya, sore hari saya dan anak saya ke sana.

Ilustrasi konsultasi dengan psikolog, sumber gambar: Kampus Psikologi 
Ilustrasi konsultasi dengan psikolog, sumber gambar: Kampus Psikologi 

Setelah konsultasi tiga kali di hari yang berbeda (dua kali dengan anak saya dan satu kali dengan saya) akhirnya tiba pada satu kesimpulan. Psikolog menyarankan supaya anak saya pindah sekolah saja.

Saya ingat psikolog itu berkata, "Rupanya bullying ini sudah agak lama menimpa putra Ibu..,"

"Jika Ibu minta anak ini kembali sekolah, ia nanti akan mau, karena ia sangat 'manut' pada Ibu, tapi ibu tak bisa mengharapkan prestasi yang bagus."

"Namun jika dia pindah sekolah, itu jauh lebih baik karena ia bisa lebih berprestasi di lingkungan yang baru," lanjut psikolog tersebut.

"Anak Ibu tidak mau menceritakan masalahnya, karena takut Ibu sedih, anak ini sayang sekali pada Ibu," tambahnya lagi.

Saya terdiam. Jadi anak saya tidak mau cerita karena takut ibuknya mikir. Padahal dengan tidak cerita keadaan jadi semakin runyam.

Setelah mendapatkan nasehat dari psikolog esoknya saya menceritakan hasil konsultasi tersebut pada kepala sekolah.

Akhirnya diambil keputusan, anak saya akan dimutasi ke sekolah lain setelah kenaikan. Ia harus menyelesaikan tugas-tugas dan ulangannya yang terbengkalai agar bisa naik kelas saat pindah nanti.

Dengan penuh semangat dia mulai menyelesaikan tugas-tugasnya. Segala bentuk bullying, tidak dihiraukannya lagi. Semangatnya satu, selesaikan semuanya dan pindah sekolah.

Saat penerimaan rapor saya langsung berpamitan pada wali kelas dan kepala sekolah karena di tahun ajaran baru anak saya sudah pindah ke SMA lain. Semua prosedur pindah saya urus selama libur kenaikan kelas.

Ilustrasi siswa belajar di kelas, sumber gambar: Berbagi Ilmu
Ilustrasi siswa belajar di kelas, sumber gambar: Berbagi Ilmu

Di sekolah baru, karena menemukan lingkungan yang lebih kondusif anak saya lebih rajin belajar. Akibatnya prestasi belajarnya semakin meningkat. 

Ia juga aktif dalam kegiatan teater. Beberapa kali kelompok teaternya mengadakan pentas. 

Apakah bullying nya sudah selesai? Belum.

Bullying masih dilakukan teman lamanya di dunia maya, tapi sudah tak begitu berpengaruh. Sering teman-temannya ini memberikan komentar miring ketika ia memposting kegiatan di medsosnya.

Kadang gemas juga ketika ikut membaca komentar mereka. Tapi selalu saya tekankan, "Jangan dihiraukan. Balas bullying itu dengan prestasi yang bagus,"

Saat wisuda, anak saya mendapatkan juara dua untuk Nilai Ujian Nasional terbaik (saat itu masih ada UN). Kami naik ke atas panggung untuk bersalaman dengan Bapak Kepala Sekolah bersama para peraih tiga besar dari tiap jurusan. 

Sungguh, hati saya begitu bahagia, apalagi ketika sambil tersenyum ia berbisik, "Akhirnya aku berhasil mengajak ibuk maju saat wisuda.."

Saya balas tersenyum. 

"Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik," jawab saya.

Banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari pengalaman ini, terutama bagi saya sebagai orang tua dan guru. 

Sebagai orang tua pelajaran yang bisa diambil adalah jangan menyepelekan tanda-tanda sekecil apapun ketika anak mulai merasa tidak nyaman di sekolah. Jangan-jangan ia menjadi korban bullying tapi tidak berani bercerita.

Saya termasuk terlambat menyadari, sampai psikolog mengatakan bahwa anak saya sebenarnya sudah lama mengalami bullying.

Jika memang anak kita adalah korban bullying, hal tersebut harus segera kita atasi dengan bekerja sama dengan sekolah. Saya sangat bersyukur wali kelas juga kepala sekolah dengan cepat memberikan jalan pada permasalahan yang kami hadapi.

Sebagai guru, pengalaman tersebut memicu saya untuk lebih waspada jika ada siswa di kelas yang melakukan bullying pada temannya, apapun alasannya.

Biasanya anak-anak melakukan bullying dengan alasan 'cuma bergurau', dan hal tersebut tetap tidak diperbolehkan.

Selalu saya tekankan pada anak-anak untuk saling menghargai. Jangan menganggap sepele bullying yang dilakukan pada teman. Sesuatu yang tampaknya kecil menurut kita bisa berakibat besar pada orang lain.

Pelajaran berikutnya adalah seperti yang ditulis Mbak Ayra, jika memang kita tak bisa mengatasi masalah kita, tidak ada salahnya pergi ke psikolog agar bisa mendapatkan pencerahan atas masalah tersebut.

Terakhir, biasanya pembully selalu mencari jalan agar selalu bisa membully korbannya baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Ada rasa ingin membalas sakit hati dari para korban bullying, itu wajar. Dan seperti nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib: Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan dirimu lebih baik.

Semoga bermanfaat dan salam Kompasiana:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun