Dua hari berikutnya saya kembali ke kepala sekolah. Akhirnya atas nasehat kepala sekolah, kami diminta menghubungi psikolog yang menjadi langganan konsul bagi siswa yang bermasalah. Setelah mendapatkan alamatnya, sore hari saya dan anak saya ke sana.
Setelah konsultasi tiga kali di hari yang berbeda (dua kali dengan anak saya dan satu kali dengan saya) akhirnya tiba pada satu kesimpulan. Psikolog menyarankan supaya anak saya pindah sekolah saja.
Saya ingat psikolog itu berkata, "Rupanya bullying ini sudah agak lama menimpa putra Ibu..,"
"Jika Ibu minta anak ini kembali sekolah, ia nanti akan mau, karena ia sangat 'manut' pada Ibu, tapi ibu tak bisa mengharapkan prestasi yang bagus."
"Namun jika dia pindah sekolah, itu jauh lebih baik karena ia bisa lebih berprestasi di lingkungan yang baru," lanjut psikolog tersebut.
"Anak Ibu tidak mau menceritakan masalahnya, karena takut Ibu sedih, anak ini sayang sekali pada Ibu," tambahnya lagi.
Saya terdiam. Jadi anak saya tidak mau cerita karena takut ibuknya mikir. Padahal dengan tidak cerita keadaan jadi semakin runyam.
Setelah mendapatkan nasehat dari psikolog esoknya saya menceritakan hasil konsultasi tersebut pada kepala sekolah.
Akhirnya diambil keputusan, anak saya akan dimutasi ke sekolah lain setelah kenaikan. Ia harus menyelesaikan tugas-tugas dan ulangannya yang terbengkalai agar bisa naik kelas saat pindah nanti.
Dengan penuh semangat dia mulai menyelesaikan tugas-tugasnya. Segala bentuk bullying, tidak dihiraukannya lagi. Semangatnya satu, selesaikan semuanya dan pindah sekolah.