Semula saya pikir semua penyakit itu dibuat-buat, dan itu muncul karena malas saja. Tapi ketika dia benar-benar muntah dalam perjalanan ke sekolah saya mulai sadar ini persoalan yang serius.
Sering tidak ikut latihan, akhirnya oleh teman-teman ekstranya anak saya dianggap kurang disiplin, dijauhi, dan berlanjut pada pengucilan.Â
Hal yang sangat saya sesalkan adalah anak saya tidak berani berterus terang pada saya bahwa ia mengalami semua hal tersebut.
Satu semester berlalu, rapor semester satu sudah dibagikan. Saya mulai sedikit lega karena masalah ekstrakurikuler sudah tak pernah diungkit lagi oleh anak saya. Alhamdulillah, aman, pikir saya.Â
Namun jauh dari yang saya bayangkan, ternyata pengucilan terus terjadi. Anak saya tidak mau bercerita karena ia ingin menyelesaikan masalahnya sendiri.
Alhasil ia sampai pada suatu titik dimana ia tidak tahan lagi dengan perlakuan teman-temannya.Â
Suatu hari dia berontak dan terjadi perang mulut dengan teman-temannya yang sering membully. Dan keesokan harinya ia tidak mau masuk sekolah.
Sungguh, saya benar-benar merasa berdosa sekaligus kecolongan, mengapa sampai tidak mengerti bahwa anak saya menghadapi masalah ini?Â
Esoknya saya segera konsul ke BK dan wali kelas juga ke kepala sekolah. Kami diajak bicara dan dinasehati.Â
Mediasi dilakukan. Anak saya dipertemukan dengan teman-temannya yang ditengarai melakukan bullying. Setelah diskusi dan diberi arahan oleh BK, kami pulang. Tapi esok harinya ia tetap pada pendiriannya, tidak mau masuk sekolah.Â