Membaca tulisan Mbak Ayra yang berjudul "Kapan Seseorang Perlu Menemui Psikolog?" membuat saya ingat pengalaman saya sendiri.
Ya, seperti halnya Mbak Ayra, dalam satu episode perjalanan hidup, tiba-tiba saya harus berkonsultasi ke psikolog. Bukan saya, tapi kami, karena yang melakukan konsultasi adalah saya dan anak saya.
Peristiwa itu terjadi sudah sekian tahun yang lalu. Tepatnya ketika anak saya duduk di kelas 10 dan menjadi korban bullying di sekolahnya.
Betapa jahatnya bullying sudah pernah saya tulis di beberapa tulisan sebelumnya. Dan kami merasakan benar-benar akibat dari bullying. Bukan hanya bagi yang di-bully, tapi juga keluarganya.Â
Akibat peristiwa itu anak saya sampai harus mutasi sekolah untuk mendapatkan lingkungan belajar yang lebih kondusif.
Awal kisahnya, setelah beberapa bulan duduk di kelas sepuluh anak saya mulai menunjukkan perilaku yang aneh. Semangat belajarnya turun. Semakin pendiam dan agak ogah-ogahan kalau diajak cerita masalah sekolah.Â
Dari anak-anak saya, biasanya dia paling rame. Sejak SD hingga SMP dia suka bercerita tentang teman-temannya. Tapi di SMA, dia sama sekali tidak antusias bercerita tentang sekolah.
Di SMA pun saya melihat prestasinya tidak sebagus waktu SD dan SMP.
Jika di sekolah sebelumnya ia selalu menduduki peringkat sepuluh besar, di SMA sama sekali tidak. Jangankan sepuluh besar, nilainya untuk mapel matematika, fisika, dan kimia tidak pernah lebih dari 50.