Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menjelang Lebaran

6 Mei 2021   11:57 Diperbarui: 6 Mei 2021   12:04 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Flickriver


Santi menatap kalender dengan resah.  Lebaran kurang dua hari lagi.  Di satu sisi dia senang karena ibadah Ramadhan bisa dituntaskan.  Di sisi lain resah, lebaran berarti silaturahmi dengan keluarga besar di rumah Pakde.  Ya,  karena kakek dan nenek sudah meninggal acara silaturahmi pindah ke rumah pakde sebagai saudara ayah yang tertua. Rumah pakde lumayan besar,  cukup untuk menampung seluruh keluarga bahkan meski datang membawa semua anak dan cucu mereka.

Silaturahmi di pakde berarti siap mendengarkan cerita yang panjang , bukan dari pakde saja,  tapi juga dari paman-paman yang lain. Pakde dan paman-paman yang lain terbilang sukses.  Di antara keluarga besar  keluarga Santi yang paling sederhana.  Mereka hidup pas-pasan.  Di kampung lagi.  Apalagi sejak bapak tiada,  jarang-jarang ada keluarga yang mau berkunjung ke rumah.

Cerita yang muncul dalam ajang silaturami keluarga besar selalu dibumbui dengan kesuksesan putra-putri  masing-masing. 

"Dino masih semester 8, belum lulus,  tapi sudah ada perusahaan yang akan merekrutnya," kata paman Hadi ayah Dino.

"Wow,  hebat sekali, " timpal yang lain

"Dani masih bekerja di Jepang?" tanya pakde ingin tahu.

"Iya kontraknya belum habis.., " Dani adalah kakak Dino.

"Fahmi sekarang bekerja di perusahaan asing yang gajinya sekian kali lipat PNS.. ," yang ini dari paman Bayu. Dilanjutkan dengan cerita-cerita lain yang penuh 'taburan bintang'.

 Itu percakapan tahun kemarin. Tahun ini pasti lebih dahsyat lagi.

Diam-diam Santi berkaca pada dirinya. Apa yang bisa dibanggakan pada dirinya?  Ia lulusan S1 juga.  Tapi lamaran yang dimasukkan selalu ditolak. Entah kenapa. Meski ibuk selalu menghiburnya, tapi tak urung hatinya selalu merasa resah.

"Sabar,  belum rezeki," hibur ibuk.

Tapi kapan?  Sampai suatu saat ia menikah dengan Seto dan punya anak satu. Namun kesuksesan belum juga mendatanginya.  Apalagi Seto sementara dirumahkan oleh perusahaannya karena pandemi. Duh..Untung Santi pintar membuat kue dan masakan sehingga kebutuhan sehari-hari bisa terpenuhi.

Dalam ajang silaturahmi tahun kemarin Santi lebih suka mengajak Bobby keluar untuk melihat ayam kate yang berjalan-jalan di depan rumah.  Melihat Bobby tertawa senang melihat ayam-ayam itu membuat Santi sejenak melupakan keresahan hatinya.  Berada dalam keluarga besar saat lebaran benar-benar menyiksa.

Puasa tinggal sehari lagi.  Setelah berbuka puasa Santi duduk di serambi depan dengan suaminya.  Secangkir kopi panas diletakkannya di meja kecil.  Sementara suaminya sedang sibuk dengan hpnya.

"Aku sudah mengambil keputusan,  Mas, " katanya setelah diam beberapa  saat.

Seto langsung meletakkan hpnya.  Dipandanginya Santi dengan heran.  "Keputusan apa? "

"Aku tidak datang silaturahmi lusa, "

"Ke rumah Pakde?  Lalu ibuk sama siapa? "tanya Seto heran.

"Ya,  sama Mas Seto,  sama Bobby, "

Seto menggelengkan kepalanya. Siapa yang menemani ibuk datang ke silaturahmi keluarga besar selalu menjadi topik utama percakapan mereka beberapa hari ini.  Bapak sudah meninggal,  siapa lagi yang menemani ibuk silaturahmi jika bukan Santi dan keluarganya.  Adik-adik Santi tinggal di luar kota dan datang ke Malang biasanya sehari setelah lebaran.

"Ya gak pantes lah..,  ibuk juga pasti kecewa, " tambah Seto.

" Tapi ceritanya itu lho Mas..  Aku kok jadi merasa keciil di antara mereka.., " kata Santi sedih.

"Ya biarlah...  Jalan orang kan berbeda-beda.. Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain..  Capek, "

"Mas tidak tahu sih...,  "

Ya,  Seto mana tahu bahwa Dino,  Dani dan Fahmi sepantaran Santi.  Mereka begitu akrab.  Kenapa ketiganya sukses sementara dirinya begitu terpuruk?

"Assalamu'alaikum! "

Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba seseorang berdiri di depan rumah. Santi langsung membuka pintu pagar.  Ternyata Pak RT.

"Monggo Pak. Ada perlu sama Mas Seto? "

"Benar Bu,  waduh untung Pak Seto ada ini.., " kata Pak RT senang.

" Untung lho Bu ada Pak Seto..  Ada yang mengarahkan anak-anak langgar untuk mengurus zakat.  Pak Seto ringan tangan.  Ngurusi apa-apa cepat beres, "  puji Pak RT. Yang dipuji cuma senyum-senyum.

Sejak dirumahkan Seto semakin aktif mengikuti kegiatan kampung.  Bersih-bersih,  penyemprotan atau dalam kegiatan yang lain. Bawaannya yang ramah dan supel membuat banyak orang senang dan cepat akrab.  Kadang Santi heran.  Untuk apa terlalu intens terlibat dalam kegiatan kampung? Yang lain masih banyak.  Tidak ada uangnya pula. Lebih baik cari kerjaan lain yang bisa menghasilkan uang.

"Kita memang tak punya apa-apa,  tapi setidaknya kita bisa memberikan manfaat untuk orang lain" kata Seto saat itu. 

Seto mempersilakan Pak RT duduk, dan merekapun  terlibat dalam percakapan. Santi  segera masuk demi mendengar tangisan Bobby.

"Bu,  Kulo pamit rumiyin, " kata Pak RT kemudian.  Santi cepat-cepat keluar sambil menggendong Bobby. 

"Pak Seto saya 'pinjam' dulu ya.., " gurau Pak RT.

"Monggo,  Pak, " jawab Santi sambil tertawa, demikian juga suaminya.  Keduanya segera meninggalkan rumah.

 Ketika Santi menutup pintu tiba-tiba matanya tertumbuk pada tulisan kaligrafi bapak yang ditempel di sudut ruangan.  Ya, bapak dulu adalah pelukis kaligrafi.  Tulisannya begitu halus dan indah.  Khoirunnas anfa 'ahum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat bagi manusia lain.

Deg.., kenapa selama ini Santi tak pernah memperhatikan tulisan itu? Sama persis dengan apa yang dikatakan Seto.  Ingatan Santi langsung terlempar ke masa lalu.  Bapak bukan orang kaya, apalagi orang penting.  Tapi sangat diandalkan di kampung.  Jika ada orang meninggal atau ada acara orang-orang banyak minta bantuan pada bapak.  Di akhir hayatnya yang merasa kehilangan banyak sekali.  Bahkan sampai bapak lurah dan jajarannya datang ke rumah.  Rupanya bapak sering juga memberikan bantuan tenaga ke kampung yang lain.  Pantas temannya banyak. 

Ada bisikan halus dalam hati Santi. Ia memang bukan manusia sukses,  tapi setidaknya ia akan berusaha menjadi manusia yang bisa memberikan manfaat bagi yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun