Deg. Hatiku seketika berdesir dan wajahku memanas. Apa maksud Abah Fatah ini?
"Ni-niku ... Cu-cuma guyonan, Bah," ucapku malu.
"Oh guyonan to? Gimana kalau guyonannya jadi serius ?"
Ha? Spontan aku mendongakkan wajah, lalu menunduk lagi. Canggung menatap wajah Abah Fatah yang begitu tegas dan Kharismatik itu sedang tersenyum. Ya Allah, apa makna senyuman Abah Fatah ini ?
"Eeem ... Heee...."
"Mau kan jadi mantuku?"
Seketika letupan dahsyat menghantam dadaku. Apa aku sedang bermimpi? Kalau ini mimpi kenapa kakiku yang kesemutan ini sangat nyeri dan sulit berpindah posisi?
"Eeeeng ... Anu ... Eeeeng ... Apa saya pantas?" Tanyaku memberanikan diri. Bagaimanapun aku harus bisa menguasai keadaan. Belum tentu juga Abah Fatah memintaku menikah dengan Gus Kafi. Karena masih ada Gus Faisal, adik Gus Kafi.
"Ayo bareng-bareng pulang. Karena aku nggak tahu jalan menuju rumahmu."
Ya Allah, ini bukan mimpi. Ini nyata. Gusti ... Rasanya hamba ingin pingsan begitu saja. Apalagi mendengar Abah memintaku langsung kepada orang tuaku ditemani Gus Kafi dan Bu Nyai Halimah. Bapak dan Ibuk sampai terharu dan tergugu dalam bisu.
Dua bulan setelah acara lamaran itu, pernikahan benar-benar dilangsungkan. Gus Kafi yang tampan kini menjadi suamiku.