"Ya nanti tahu sendiri. Ini amanah dari Abah."
Setelah mengatakan itu, Ning Zakia berlari begitu saja. Meninggalkanku yang masih terbengong-bengong. Hingga sepulang dari Madrasah, bergumpal-gumpal tanya terus saja berjejalan di kepala. Ada apa gerangan Abah Fatah memintaku ke ndalemnya.
Kuminta Nada menemaniku ke rumah beliau dengan naik sebuah bus jurusan Juwana-Tayu. Sampai di Margoyoso, hatiku semakin berdebar-debar tak menentu. Dengan mengucap salam aku dan Nada masuk ke ndalem Abah Fatah. Kedatangan kami disambut dengan semringah.
Beberapa saat kemudian setelah ngobrol dan berbasa basi.
"Sini, Im!" Pinta Abah Fatah agar aku mengikutinya ke musola.
Kutinggalkan Nada sendirian di ruang tamu. Dia pun melayangkan tatapan nakal padaku yang sudah berwajah merah sambil bilang, "Cie ... Cie ..." Dengan suara lirih.
"Kamu sudah ada calon, Im?" Tanya Abah Fatah setelah kami duduk berhadapan di musola.
"De-dereng, Bah," jawabku dengan suara bergetar.
"Kalau orang yang disuka?"
Kali ini aku hanya menjawab dengan senyuman. Tak mungkin kan aku menjawab telah mencintai putra beliau, Gus Kafi.
"Sudah ramai gitu kok sama teman-temanmu. Kamu kan sering diledek sama anakku."