Aku meringis dan Gus Kafi tersenyum geli. Kami sempat sama-sama tersenyum canggung sebelum menundukkan pandangan. Aku segera keluar musola dengan membawa letupan-letupan dalam dada yang entah apa namanya. Rasanya jantungku siap meledak.
Sejak hari itu, setiap pengaosan kitab bajuri yang dipimpin Gus Kafi, jantungku serasa berlompatan. Apalagi ketika ia ngimami jamaah subuh dengan suara merdunya membuat imajinasiku mengembara kemana-mana. Berkhayal jika hanya akulah makmumnya. Astaghfirullah, maafkan hamba yang kesulitan untuk khusyuk jika salat berada tepat di belakangnya, Ya Allah. Parfumnya yang harum menguar di seluruh penjuru ruangan dan memenuhi indera penciuman. Membuat hatiku menggeletar.
Gus Kafi ... Bagaimana ini ? Aku telah jatuh hati.
Ada pertemuan maka ada perpisahan, entah cepat atau lambat. Dengan berlinang air mata, kami mengaminkan doa khataman posonan yang dipimpin oleh Abah Fatah.
Sore ini juga kami harus pamit dengan Abah Fatah beserta keluarga. Ada rasa nyeri menjalar di hati. Rupanya ledekan dan gurauan teman-teman menyisakan perasaan lancang di hatiku untuk Gus Kafi.
Hari demi hari kulalui dengan rasa tak bertepi. Bayang wajah Gus Kafi terus saja menari-nari. Untung saja aku bisa menuntaskan hafalan alqur'an dan syarat kelulusan dengan baik, meski perasaan cinta kepada Gus Kafi mengusik hari demi hari. Aku lulus dari pondok pesantren dan Madrasah Manba'ul Ulum dengan nilai mumtaz. Sungguh bahagiaku tak terperi.
Sampai di hari kelulusan, seorang gadis remaja berseragam yang sama denganku menghampiri. Dia adalah Ning Zakia, anak kedua Abah Fatah yang juga adik kelasku.
"Mbak Ima, selamat ya sudah diwisuda," ucapnya dengan wajah sumringah.
"Terimakasih, Ning."
"Oh ya, nanti sore bisa kan Mbak ke rumah?"
"Ada apa ya, Ning ?"