"Ruang Antara," jawab Ryan "tempat dimana jiwa yang baru saja melepaskan diri dari tubuh fisik harus mencari jalan keluarnya masing-masing. Dan aku sengaja menjemputmu supaya kita dapat bersama."
 Aku terdiam sesaat. Berusaha memahami semuanya.
 "Aku... aku mau minta maaf," desahku gugup akhirnya. "Dulu tidak menepati janjiku untuk bertemu di halte. Dan membuatmu..."
 "Meninggal?" sahut Ryan cepat. Ia tertawa kecil. "Bukan salahmu, Nin. Aku memang mempunyai masalah dengan paru-paru sejak bayi. Jadi yah, kehujanan sedikit saja sudah membuat kondisiku menurun drastis. Aku sendiri yang ceroboh, kok."
 "Kamu... enggak marah...?" tanyaku.
 "Sama sekali enggak." Ryan menggeleng. "Aku justru ingin mengulang kembali dan memulai apa yang dulu belum sempat kita jalani, Nin. Kamu mau, kan?"
 Aku menatapnya dalam-dalam. Ryan tersenyum lembut. Senyuman yang dulu selalu diberikannya kepadaku setiap kali bertemu namun tak pernah kubalas.
 "Ya, aku mau." Aku tersenyum padanya.
 "Terima kasih, Nin"
 Kemudian Ryan menggenggam tanganku menyeberangi jalan, menuju halte dimana kami seharusnya dulu bertemu.Â
Pertemuan yang tertunda.