Aku terkesiap. Darahku seolah naik hingga ke puncak kepala.
Sosok itu memanggil namaku?
Kubekap mulutku sendiri dengan telapak tangan, mencegah jerit ketakutan lolos dari tenggorokanku.
Ia semakin dekat. Tangannya terulur ke arahku.
Aku segera berkelit menghindarinya dan berlari kencang menuju cahaya yang kuduga adalah jalan keluar itu. Aku bertekad untuk segera mencapainya dan menutup pintunya, mengurung makhluk menyeramkan ini di dalam!
Aku sampai di pintu dan langsung menarik daun pintu untuk menutupnya. Namun sepotong tangan sempat menjulur melalui celah pintu dan memegangi pergelangan tanganku.Â
Aku menjerit dan berontak sekuat tenaga. Berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan pucat dengan sesuatu berwarna merah yang melingkari pergelangannya itu.
Aku berhasil melepaskan diri dan langsung membanting pintu. Kemudian berbalik dan segera berlari menyusuri lorong sempit yang berkelok-kelok dengan dinding putih mengilat.
Aku berlari dan terus berlari, berharap segera tiba di ujung lorong ini entah di mana pun berakhirnya, sebelum makhluk itu berhasil mengejarku.
Sembari berlari pikiranku tertambat pada tangan makhluk mengerikan tadi. Sepertinya aku sangat mengenal benda itu. Memoriku berputar cepat ke masa lalu.
"Nin, kamu kok tadi dipanggil Ryan diam aja, sih?" tanya Lena teman sebangkuku. "Kamu enggak dengar, ya?"