"Mmh..." aku hanya bergumam tak tahu harus menjawab apa. Dan bel masuk pun berbunyi, menyelamatkanku dari keusilan Lena.
Â
Aku memandang sekilas pantulan diriku di kaca jendela sekolah. Apa mungkin Ryan, cowok yang paling diidolakan di sekolah menyukaiku? Seorang gadis pendiam yang tidak aktif di bidang apapun, lebih sering berkutat dengan buku-buku bacaan yang dipinjam dari perpustakaan, dan tak pernah duduk lama di kantin yang ramai untuk bersenda gurau dengan teman-teman. Kami hanya pernah berbicara sekali saja ketika kelas 1 dulu, saat diadakan acara bazaar sekolah dan Ryan mengunjungi booth kerajinan tangan milikku.
Namun entah kenapa belakangan ini Ryan memang sering sekali mengajakku berbicara. Saat bertemu di koridor sekolah, di koperasi atau di ruang guru. Ada saja yang ditanyakannya. Mulai dari pelajaran sekolah sampai hobiku. Dan aku bukan tak menyadari tatapan lembutnya saat sedang berbicara denganku. Aku hanya tak mau berpikir  terlalu jauh. Tak ingin berharap.
"Nin, mau pulang ya?" sapa sebuah suara di belakangku.
Aku menoleh terkejut. Ryan dengan senyum ramah yang biasanya, berdiri di belakangku entah sejak kapan.
"Eh, ehm... belum," aku menggeleng sembari menunduk, "aku mau mengembalikan buku dulu ke perpustakaan."
"Oh, begitu," sahut Ryan, "hmm... kalau begitu nanti pulangnya sama-sama, ya?"
Aku tertegun sesaat. Ryan mengajakku pulang bersama?
"Eeh... tapi, setelah itu aku mau meminjam buku lagi. Untuk... eh, bacaan tambahan," jawabku gugup.
"Enggak apa-apa," jawab Ryan. "Kebetulan aku mau membeli sesuatu dulu di toko buku ujung jalan sana. Nanti aku tunggu kamu di halte depan toko buku itu aja, ya," ucap Ryan.