"Ra, kamu lihat handphone Tante nggak?"Â
Rara yang sedang mengetik di laptopnya, menggeleng. "Nggak lihat, Tante."
"Duh, kemana ya ... lupa ditaruh dimana."
"Mau aku miscal, Tante?" tawar Rara.
"Boleh." Aku mengangguk.
Â
Rara mendial.
Dan suara dering handphoneku terdengar samar. Agak jauh dari ruang tempatku dan Rara berada.
"Dimana sih?" Aku menoleh kesana kemari mencari. "Jangan dimatiin dulu ya Ra. Kalau mati, telepon lagi."
"Oke, Tante."
Kutelusuri terus suara deringnya. Rara mengikuti dari belakang.Â
Dan ternyata handphoneku tergeletak di sela-sela sofa tempatku duduk beberapa waktu lalu.Â
"Ya ampun, disini rupanya," ucapku lega. Aku mengambil dan mematikannya.
Â
Tiba-tiba terdengar suara jeritan.
Jerit teredam.
Aku dan Rara bertatapan dengan ngeri.
"Suara apa itu Tanteee?" Rara mencengkeram lenganku.
"Suara ... jeritan ... kan ..? Dari mana yah ..." Aku memasang telinga lebar-lebar.
Dan terpaku.Â
Di depan pintu itu.
Pintu yang berada di samping belakang sofa tempat handphoneku berada tadi.
Pintu yang tak pernah dibuka selama duapuluh tahun.
"Tantee ...." Rara berbisik lirih.
"Ra ..." Telunjukku mengacung gemetar. "Suaranya ... dari dalam sini kan?"Â
"Iyyaaa ... tapii ... ada siapaa di situuu ....?" bisik Rara semakin ketakutan.
"Tante juga nggak tahu Ra ...," aku bergeser mendekat.
"Tante ... iih ... Tante mau buka pintunya? Jangan Tanteee!"
"Yah trus ... kita harus gimana ..."
"Aku takuttt ..." desis Rara.
"Samaa .... Tante jugaa. Tapi kan ... kita harus tahu ada siapa di dalam situ. Duh ... gimana nih ... ah udah, pokoknya kita harus buka pintu ini."
Aku berdiri tegang menatap potongan-potongan lakban coklat yang saling bertumpuk, menutupi lubang tempat dimana seharusnya pegangan pintu berada. Jeritan itu masih terdengar dari dalam.Â
Perlahan namun pasti, lengan kananku mulai terangkat dan melepasi satu persatu lapisan-lapisan lakban yang menyatu erat dengan kulit kayu tipis yang telah lapuk itu. Â
Kemudian kuselipkan dua jari tanganku yang gemetar ke dalam lubang di pintu.Â
Dan menarik kuat-kuat.
                ~ o0o ~
DUA PULUH TAHUN YANG LALU
"Sudah Pak, sudah saya tanya semua." Kak Anita menyeka air matanya. "Tidak ada satupun tetangga yang melihat kemana anak saya pergi."
"Lagipula Pak," sambung Mas Bima, "bukan kebiasaan kami melepas Adit main keluar sendirian. Biasanya selalu ditemani."
"Siang itu pagar kami dalam keadaan terkunci, Pak. Gemboknya malah belum dibuka sejak pagi, karena tiap hari Minggu kan kami libur kerja," lanjut Kak Anita lagi, "dan pagar itu terlalu tinggi untuk dilompati Adit."
Pak Polisi itu mencatat sesuatu di notebooknya dengan seksama. "Baik Bu, Pak. Kalau begitu nanti akan kami kabari perkembangan penyelidikan selanjutnya."
   Â
                 ~ o0o ~
Â
DUA PULUH SATU TAHUN YANG LALU
"Adiiit, sini, jangan main di dalam gudang. Kotor, Sayang," panggil Kak Anita pada anaknya yang berumur empat setengah tahun.
"Adit mau main Maa ..." jawab Adit dari depan pintu gudang.
"Main apa? Â Di sini aja. Masa mainnya di dalam gudang?"
"Tapiii ... Bujis nggak mau diajak main diluar Ma. Dia maunya di dalam sini."
Seketika, aku dan kakakku menoleh ke arah Adit, yang dengan wajah polosnya balik menatap kami.
"Eem ... Sayang, ada siapa tadi, kata kamu ? Â Di dalam gudang ?" tanya Kak Anita pelan.
"Bujis, Maa."
"Bu - jis ? Â Siapa itu ?"
"Ini lho, temen Adit. Namanya Bujis," Adit tersenyum riang ke arah gudang. Â
Aku dan Kak Anita bertatapan dengan ekspresi horror di wajah masing-masing.
       Â
                 ~ o0o ~
Â
Â
Aku mendekap mulut. Rara memegangi lenganku.Â
Berdua kami menatap ke dalam gudang.Â
Ke arah sosok makhluk kecil kotor yang berdiri dengan mulut terbuka lebar.
"Uwaaaaaaa ...! Â Waaaaaaaaa!!"
Aku limbung nyaris jatuh. Pandanganku berkunang-kunang.
"A ... Adit ...??" panggilku ragu.
Anak itu terus menangis.
"Adit ...?" panggilku lagi.
Anak itu mendengar panggilanku dan tertegun sesaat.Â
Kemudian menatapku.Â
Wajahnya memelas sekali.
"Uwaaaaa ... Tanteeeeee .... Waaaaa ... !!"
"Kamu ... kamu Adit ...?" aku terperangah.
"Tanteee ... Adit siapaa, Tanteee?" bisik Rara mendesak.
"Adit ... Adit kakakmu, Ra ..." jawabku lirih.
   Â
                   ~ o0o ~
Â
Kak Anita dan Mas Bima, masih dengan seragam kantor masing-masing, duduk terpaku di ruang tunggu rumah sakit. Tatapannya kosong.
Rara menyentuh tanganku dan berbisik. "Tantee ... please, ceritain ke akuu. Ini sebenarnya ada apaa? Anak yang di dalam itu sebenarnya siapaaa?"
Aku mengajak Rara ke kantin RS.
Â
"Ra, kamu udah pernah dengar kan, soal Adit? Kakak kamu yang menghilang waktu berumur lima tahun?"
Rara mengangguk, "Mama udah pernah cerita dulu. Mama dan Papa mengadopsi anak laki-laki umur empat tahun dari panti asuhan karena belum bisa punya anak sendiri. Tapi setahun kemudian, dia hilang."
"Iya. Nggak ada tanda-tanda perusakan di semua pintu dan jendela rumah. Adit hilang begitu saja. Padahal saat itu Mama dan Papa kamu, juga Tante, ada di dalam rumah. Papa sedang mandi, Mama dan Tante sedang masak di dapur. Terakhir Tante lihat Adit sedang main robot-robotan di depan TV. Jarak dari ruang TV ke dapur kan cukup dekat. Dan Tante benar-benar nggak mendengar suara apapun yang mencurigakan."
"Lalu ..." sela Rara, "soal gudang di bawah tangga itu ...?"
Aku mengangguk. "Selama beberapa bulan sebelum dia menghilang, kami memang memperhatikan bahwa ada perubahan pada diri Adit. Dia sering masuk ke dalam gudang yang di bawah tangga itu, dan ngobrol sendiri di dalam. Kalau kami tanya, dia selalu jawab :Â 'lagi main sama Bujis'."
"Bujis?" Rara mengangkat alisnya. "Nah kalau soal itu Mama nggak cerita. Mama cuma bilang, gudang itu ditutup karena Mama sedih, nggak mau teringat Kak Adit yang sering bermain di dalamnya."
Aku menggeleng. "Alasan sebenarnya bukan itu. Hilangnya Adit yang sangat misterius membuat kami menduga-duga. Dan setelah akhirnya Adit tak kunjung ditemukan, kami mengambil kesimpulan bahwa Adit dibawa pergi melalui gudang  oleh makhluk yang bernama Bujis itu. Sebenarnya sih, Tante dan mama papa kamu bukan orang yang superstitious. Tapi melihat kasus Adit yang sangat aneh dan tak terjelaskan ini, yah ... Mama kamu shock berat. Papa kamu juga sedih sekali. Mereka berdua sangat sayang sama Adit. Dan akhirnya, untuk melupakan semuanya, ditambah sedikit rasa takut di hati, kami memutuskan untuk menutup gudang itu."
Kening Rara berkerut. "Tapi ... Tante pernah melihat sendiri yang namanya Bujis itu?" tanya Rara.
Aku menggeleng. "Sepertinya hanya Adit yang bisa melihatnya. Waktu itu kami berusaha nggak terlalu ambil pusing setiap Adit bicara tentang Bujis. Karena kami pikir, adalah hal biasa seorang anak kecil memiliki teman imajinasi seperti itu."
"Hmm. Kok namanya aneh yah ... Bujis ..." ucap Rara.
"Nggak tahu deh," aku mengangkat bahu, "Mungkin makhluk itu mengeluarkan suara kayak begitu. Bujiss ... Bujisss .. gitu. Anak kecil kan seringkali memanggil atau menamakan sesuatu berdasarkan bunyi atau suaranya."
Rara bergidik. "Serem iihh ..."
Aku tertawa. "Itu kan hanya dugaan Tante aja, Ra."
"Tapi Tante  yakin kan, anak itu memang Kak Adit?"
"Hmm. Meskipun aneh, tapi ... ya, itu memang Adit," ucapku, "Tante ingat betul wajah dan gerak-geriknya. Kan dulu Tante yang selalu jagain Adit setiap mama kamu lagi kerja. Tadi sewaktu melihat Tante di pintu gudang, dia juga langsung manggil Tante kan. Cara manggilnya sama persis seperti dulu kalau dia perlu sesuatu terus nyariin Tante. Adit itu anaknya lucu dan periang."
"Mama dan Papa juga sepertinya yakin kalau dia memang Kak Adit."
Aku mengangguk. "Iya. Tante juga sudah berencana untuk menghubungi rumah yatim piatu tempat kami mengadopsi Adit dulu. Untuk menanyakan soal orang tua kandung Adit. Kalau mereka masih hidup, Tante mau mengajukan permohonan test DNA. Hanya untuk memastikan aja sih."
"Lalu," Rara merendahkan suaranya, "menurut Tante, bagaimana penjelasan soal umurnya yang nggak bertambah? Apa memang ... orang yang diculik makhluk halus itu ... umurnya nggak bertambah?"
"Mmm ... Tante pernah baca sih, memang ada kasus orang hilang yang seperti itu," jawabku. "Hilang bertahun-tahun, lalu kembali tanpa ada perubahan fisik karena pertambahan umur. Dia merasa hanya pergi sebentar saja. Sementara kita disini, telah kehilangan dia sampai bertahun-tahun."
Rara mengangguk-angguk, "Gitu ya. Kasihan juga ya Kak Adit. Harus mengalami hal seperti itu. Tapi Tante, kenapa tiba-tiba Kak Adit bisa muncul di dalam  gudang ya? Maksud aku, kenapa baru sekarang?"
Aku berpikir sejenak.Â
"Tadi itu, waktunya hampir bersamaan dengan handphone Tante yang sedang berdering kan? Tante tuh baru aja mengganti nada deringnya. Waktu kamu miscal tadi, itulah pertama kalinya nada dering itu terdengar dalam volume besar. Dan handphone Tante tergeletak di atas sofa yang menempel ke dinding gudang kan?"Â
Rara mengangguk-angguk.
"Nah, Tante jadi ingat. Tentang jenis musik yang katanya bisa membentuk semacam portal, atau lorong waktu. Tergantung frekuensi, susunan nada, atau tempo dan ritmenya. Bisa aja kan, kebetulan musik di handphone Tante itu, ternyata memang bisa membuka tabir antar dimensi? Dan menarik Adit kembali kesini?"
"Waaw! Teori yang menarik!" Rara terlihat antusias. "Memangnya tadi itu musik apa sih, yang Tante jadikan nada dering?"
"Musik klasik. Tante kebetulan dengar di handphone teman kemarin, dan langsung suka. Jadi Tante minta aja, tanpa tahu  siapa komposernya. Coba nanti Tante tanyain."
Â
Kak Anita datang menghampiri. Matanya sembab. Tetapi wajahnya terlihat senang.
"Anna, kamu nggak usah hubungin lagi rumah yatim piatu itu. Kami udah yakin kok, itu Adit."
"Oh ... Jadi kita nggak usah test DNA segala ya Kak?" tanyaku.
Kak Anita menggeleng dan tersenyum. "Semuanya cocok. Manjanya juga sama. Masih kayak dulu. Tadi dia meluk aku sambil nangis. Rasanya sama persis seperti pelukannya dulu. Waktu kita ambil dia dari rumah yatim piatu. Yah, kejadian ini memang aneh, sih. Nanti kita konsultasikan dengan orang yang mengerti hal seperti ini. Tapi untuk saat ini, kami berdua yakin, itu memang Adit."
"Ohhh. Ya syukurlah Kak, kalau  begitu," ucapku lega.
"Rara, kamu nggak keberatan kan, kalau ada Adit di rumah kita? Dia itu seharusnya kakakmu lho," Kak Anita tertawa kecil, "Tapi karena Adit sekarang masih berumur lima  tahun, yah, kamu boleh panggil dia adik."
Rara tersenyum, "Nggak apa-apa kok Ma, malah Rara senang, jadi punya teman di rumah."
"Terimakasih ya Sayang," Kak Anita membelai kepala Rara, "Ya sudah, Mama ke dalam lagi ya. Takut Adit nyariin. Kata dokter, dia harus menginap disini satu malam untuk memastikan kesehatannya. Â Dia masih shock. Oh ya, Anna, kamu bisa tinggal disini dulu nggak, sama Rara? Mas Bima harus kembali lagi ke kantor malam ini. Aku juga mau ke kantor dulu, setelah itu pulang ambil pakaian buat Adit."
"Bisa Kak," sahutku.
                  ~ o0o ~
Â
Jam sepuluh malam. Kak Anita belum kembali ke rumah sakit.
Rara tertidur pulas di atas sofa panjang di sudut ruang kamar rawat inap. Sementara aku mengambil tempat di sofa kecil dekat tempat tidur Adit.
Adit sudah tertidur sejak tadi setelah diberi obat oleh perawat. Atau mungkin juga kelelahan setelah petualangannya di dimensi lain itu. Kasihan sekali Adit, batinku, harus mengalami peristiwa aneh dalam hidupnya di usia sekecil itu.
Aku mematikan lampu dan memejamkan mataku yang lelah.
Selang beberapa menit, meskipun belum bisa tertidur, aku tetap memejamkan mata dalam posisi tidur. Berusaha mengistirahatkan tubuh.
Â
Csss .... ssss ...
Terdengar suara mendesis pelan.Â
Csss ... csss ...
Arahnya dari tempat tidur Adit.
Aku membuka mata sedikit.
Jsss ... jissss ....
Â
Dalam kegelapan, Adit berbaring terlentang di atas tempat tidur.Â
Matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar.
Mulutnya bergerak-gerak mendesis.Â
Menyeringai. Menampakkan gigi-gigi yang runcing.
Aku terkesiap.
Itu ...
Itu ... bukan Adit!
Â
Jisss .... Â
Bujjiiissss ....
Bujjjiiiisssss ....!!!
Â
END.
   Â
Â
Special thanks to Gading - keponakanku, dan Bujis - teman khayalannya di dalam gudang bawah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H