"Oh ... Jadi kita nggak usah test DNA segala ya Kak?" tanyaku.
Kak Anita menggeleng dan tersenyum. "Semuanya cocok. Manjanya juga sama. Masih kayak dulu. Tadi dia meluk aku sambil nangis. Rasanya sama persis seperti pelukannya dulu. Waktu kita ambil dia dari rumah yatim piatu. Yah, kejadian ini memang aneh, sih. Nanti kita konsultasikan dengan orang yang mengerti hal seperti ini. Tapi untuk saat ini, kami berdua yakin, itu memang Adit."
"Ohhh. Ya syukurlah Kak, kalau  begitu," ucapku lega.
"Rara, kamu nggak keberatan kan, kalau ada Adit di rumah kita? Dia itu seharusnya kakakmu lho," Kak Anita tertawa kecil, "Tapi karena Adit sekarang masih berumur lima  tahun, yah, kamu boleh panggil dia adik."
Rara tersenyum, "Nggak apa-apa kok Ma, malah Rara senang, jadi punya teman di rumah."
"Terimakasih ya Sayang," Kak Anita membelai kepala Rara, "Ya sudah, Mama ke dalam lagi ya. Takut Adit nyariin. Kata dokter, dia harus menginap disini satu malam untuk memastikan kesehatannya. Â Dia masih shock. Oh ya, Anna, kamu bisa tinggal disini dulu nggak, sama Rara? Mas Bima harus kembali lagi ke kantor malam ini. Aku juga mau ke kantor dulu, setelah itu pulang ambil pakaian buat Adit."
"Bisa Kak," sahutku.
                  ~ o0o ~
Â
Jam sepuluh malam. Kak Anita belum kembali ke rumah sakit.
Rara tertidur pulas di atas sofa panjang di sudut ruang kamar rawat inap. Sementara aku mengambil tempat di sofa kecil dekat tempat tidur Adit.