Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gaia - 5

24 Mei 2018   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2018   08:30 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

( Sebelumnya )

BERTEMU SANG IDOLA

Makhluk itu memiliki rambut putih yang menjuntai sampai ke mata kaki. Ia nampak seperti sedang berbicara kepada sekelompok tanaman perdu setinggi lututnya.   

Ann berdehem. 

Makhluk itu menoleh terkejut.

Sekarang Ann bisa melihat wajah, tubuh dan rambutnya yang putih pucat.

"Halo," sapa Ann.

"Ha-lo," ia balas menyapa dan melangkah mendekat. Pakaiannya yang berupa gaun terusan panjang berwarna coklat kehijauan melambai di atas kaki-kakinya yang telanjang.

"Aku ... eemm ... aku tadi disuruh menunggu disini oleh Armenia.  Maaf  sudah mengganggumu."

Makhluk itu menelengkan kepalanya. Matanya yang biru berkilau mengamati Ann dengan seksama. Ann hanya diam dan balas mengamati sampai ia tiba tepat di hadapannya.

"Oh !"  tiba-tiba makhluk memekik, "Kamu kan .... ahh ... aku tahu kamu !" 

Ann terkejut mendengar makhluk itu mendadak berbicara cepat dengan bahasa sehari-hari yang terdengar familiar.

"Hah ... eee ... maaf ... ?"

"Kamu Ann kan ?? Ann2205 ?" kata makhluk itu dengan ekspresi sangat gembira. 

"Eh ... ? Jangan-jangan ... kamu .."

"Aku Mimi," ia tertawa kecil memperlihatkan giginya yang putih dan sangat rapi. Mirip seperti gigi para artis terkenal yang sering tampil di televisi.  Nyaris tak wajar.

"Kak ... Mimi ... ?  Ini ... benar  Kak Mimi ?" Ann terperangah.

Mimi mengangguk bersemangat.

Dan merekapun berpelukan dengan hangat. 

"Lucu sekali ya kita.  Sudah berteman lama di Bumi dan nggak pernah ketemu, eh sekalinya ketemu malah di Gaia sini," Mimi tertawa senang.

"Ya ampun, Kak ! Aku senang banget bisa ketemu Kakak ! Maaf ya Kak, aku nggak mengenali wajah Kakak tadi. Habisnya beda sekali sih dengan yang aku ingat terpasang pada foto profil di blog kakak ."

"Nggak apa-apa kok. Aku kan memang sudah beda banget. Bagaimana tampilanku sekarang ?" tanya Mimi sedikit malu.

"Aku suka Kak," Ann menjawab cepat, "Kakak kerenn !"

Mimi tersenyum. Pipinya bersemu merah.

"Wajahmu sama persis seperti yang kuingat di foto profilmu dulu lho, Ann. Makanya aku langsung ingat. Duhh, kaget rasanya. Eh, aku tuh tadi sedang bicara dengan teman-temanku saat kamu datang. Mereka menceritakan kabar kedatangan seorang manusia bumi. Tapi aku nggak menyangka bahwa kamulah orangnya. Kok bisa sih yaa kita ketemu disini ? Hihihi. Eh iya, kita ngobrolnya sambil duduk-duduk saja yuk di pondokku," Mimi berceloteh riang.

"Yuk, Kak !" Ann mengikuti Mimi dengan bersemangat. 

Mereka berjalan bersama melalui jalan setapak lebar yang berkelok-kelok. Melompati aliran-aliran sungai kecil yang saling bersilang di atas tanah. Udara terasa sangat sejuk dan segar.

"Nah, kita sampai," ujar Mimi.

Ann terkesima melihat pemandangan di depannya.

Tempat tinggal Mimi sangat mirip dengan penggambaran pondok kecil milik Tujuh Kurcaci yang ada dalam film Snow White and The Seven Dwarfs. Hanya saja pondok itu cukup tinggi untuk mereka masuki. Tetapi tampilan luar dan pemandangan di sekitarnya amat sangat mirip.

"Woww, Kak !  Ini bagus bangettt !" seru Ann.

"Terimakasih," jawab Mimi senang dan mengajak Ann masuk ke dalam.

"Ya ampun Kak, sumpah ini keren abis ..., " Mimi terperangah  melihat bagian dalam pondok itu yang mirip dengan tempat tinggal Mr. Tumnus dalam film Narnia, namun dengan beberapa detail dekorasi warna yang lebih cerah.

"Iya, pondok ini dibuatkan untukku oleh semua teman-teman saat aku baru datang kesini," jelas Mimi.

"Duhh, Kakak beruntung banget ya ...."

"Iya, aku beruntung bertemu teman-teman yang baik disini.  Eh, Ann ... kamu ... benar nih, nggak aneh melihatku begini ?" tanya Mimi sembari mempersilakan Ann duduk di salah satu kursi kayu di dekat jendela berbingkai besar yang penuh dihiasi bunga-bunga beraneka warna dalam sebuah pot-pot kecil.

"Nggak tuh Kak," Ann menggeleng yakin.

"Oh iya. Kamu datang dengan siapa tadi ? Armenia ya ? Yaya. Pantas aja kamu sudah nggak aneh lagi melihatku."

Ann tertawa, "Kalaupun tadi nggak bertemu Armenia juga aku pasti nggak akan aneh melihat Kakak."

"Iya yah. Kamu kan pembaca setiaku ya hihihi," Mimi terkikik, "Semua hal ajaib yang kutulis kamu tanggapi dengan sangat rasional."

Mereka berdua tertawa bagai dua sahabat akrab yang telah lama tak bertemu.

"Kakak betah ya, tinggal disini ?" tanya Ann, "Bagaimana sih ceritanya Kakak bisa ada disini ?"

Mimi tersenyum, "Begini ceritanya. Kamu ingat kan Ann, waktu itu di email terakhir aku bilang padamu kalau aku sedang menyelidiki saksi yang pernah hilang ke dunia lain ?"  

Ann mengangguk.

"Cowok itu namanya Asep. Dia mengundang aku datang ke rumahnya malam itu, untuk cerita pengalaman masa kecilnya waktu pernah hilang 'diculik jin' di kampungnya. Jadi ceritanya, waktu lagi main sendirian di kebun, dia ketakutan lihat jagoan kampung yang mau lewat di dekat tempat dia main. Terus dia sembunyi deh di balik pohon. Setelah itu, dia nggak ingat apa-apa lagi. Waktu tersadar, dia sudah kembali ke kamarnya dan dikelilingi oleh keluarga dan tetangganya. Menurut orangtuanya, Asep berhasil ditemukan sesudah seisi rumah pamannya yang berada dekat tempat dia menghilang dipukul-pukul pakai sapu lidi. Setelah sebelumnya gagal menggunakan cara lainnya yaitu memukul-mukul peralatan masak keliling kampung."

"Ha ?  Sapu lidi  ?  Alat masak ?"

"Iya Ann. Orang jaman dulu di desa-desa memang punya kebiasaan seperti itu untuk memanggil kembali anak yang diculik oleh jin. Lalu, sebelum aku pulang, aku dikasih lihat benda yang katanya ada di dalam genggaman tangannya waktu dia ditemukan. Kata Asep, benda itu boleh aku bawa untuk diteliti. Nah, malam itu, aku sedang berpikir keras tentang kejadian hilangnya Asep, sambil memegangi benda yang kukira kulit binatang itu. Setelah itu, sepertinya aku ketiduran.  Waktu aku bangun, tiba-tiba saja aku sudah berada di sebuah tempat yang asing."

"Wow !  Pesawat alien ya Kak ?"

"Entahlah. Pokoknya aku berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam semacam ruangan luas yang semua dindingnya berwarna putih menyilaukan. Dengan makhluk-makhluk asing berdiri mengelilingi aku.  Setelah itu, aku nggak ingat apa-apa. Mungkin aku pingsan.   Lalu waktu aku bangun, aku sudah berada di ruangan lain. Semacam laboratorium kecil, yang di sepanjang dindingnya banyak lemari-lemari tinggi berisi tanaman-tanaman aneh. Di depanku ada satu alien berpakaian putih mirip seragam dokter atau ilmuwan gitu. Dia menyodorkan sebuah  tanaman jamur yang berwarna merah dengan motif bulat-bulat putih. Yang belakangan baru aku sadari bahwa benda yang aku dapat dari Asep itu adalah benda yang sama, tapi sudah mengering."

"Jamur yang motifnya polkadot merah putih itu ya, Kak ? Aku melihat banyak yang seperti itu di hutan," sahut Ann.

"Iya betul. Lalu, dari  gerakan tangan alien itu, aku mengerti kalau aku harus menghirup aroma jamur itu. Kemudian setelah beberapa kali tarikan napas dalam, tiba-tiba aku merasa sedikit pusing. Pandanganku berputar-putar dan kabur. Lalu tiba-tiba saja aku sudah berada di Gaia. Di sini. Bertemu Armenia dan teman-teman yang lain."

"Waw !  Jadi, sebenarnya fungsi jamur itu ... untuk ... teleportasi Kak ?" tanya Ann antusias.

Mimi menggeleng.

"Dari hasil pembicaraanku dengan para Tetua,  jamur itu ternyata mengandung zat yang dapat membantu membuka kemampuan tertinggi otak kita. Apabila kita berkonsentrasi di dekatnya sambil menghirup baunya, dia akan mengaktifkan inti otak dan meninggikan tingkat kesadaran kita."

"Maksudnya bagaimana sih Kak ?"

"Intinya, jamur itu dapat membantu membawa kesadaran kita ke tempat yang kita inginkan."

"Hmm," kening Ann berkerut, "Kesadarannya aja, atau dengan tubuh fisiknya Kak ?"

"Kesadaran yang kuat dapat mempengaruhi tubuh fisik. Kesadaran dahulu, baru setelah itu fisik mengikuti. Semacam moksa begitu." 

"Hmm. Jadi, Asep menggunakan potongan jamur itu untuk pulang kerumah ya, Kak ?"

"Ya. Hasilnya tergantung dari keinginan yang sangat kuat dalam diri kita. Asep sangat ingin pulang ke rumah, maka ia pulang kerumah."

"Tapi waktu perginya, Asep nggak punya jamur itu kan ?"

"Mungkin di area pohon tempat Asep bersembunyi itu ada sebuah pintu atau celah. Yang mungkin juga akibat rasa takut Asep yang berlebihan, membuat kekuatan otaknya meningkat dan melancarkannya untuk masuk melalui celah dimensi tersebut."

"Lalu, kalau Kakak ?  Kakak kan langsung dijemput tuh sama alien-alien itu ?"

"Iya. Mungkin saat malam itu aku sedang berpikir keras di dekat kulit jamur itu, sinyal gelombang otakku tertangkap oleh radar para pengelana cahaya yang kebetulan sedang berpatroli di langit. Di dekat lokasiku rumahku berada."

"Patroli ?  Memangnya alien ada yang patroli di Bumi, Kak ?"

"Ya, ada," Mimi menghela napas panjang, "Banyak sekali hal yang belum bisa kuketahui tentang mereka, para pengelana cahaya itu. Mereka terdiri dari banyak sekali bangsa. Dan mungkin punya banyak tujuan juga. Tetapi yang jelas, dari masa ke masa, mereka telah banyak berperan penting untuk kelangsungan hidup manusia di Bumi. Mereka sebetulnya nggak pernah meninggalkan Bumi, menurut para Tetua, hanya saja mereka memang tak perlu, atau belum merasa perlu untuk memperkenalkan diri secara terbuka pada manusia Bumi. Yang jelas, apa yang mereka lakukan padaku dan banyak manusia lainnya, adalah sesuatu yang baik."

"Hmm ... lalu, kenapa Kakak dipulangkan menggunakan jamur itu juga ? Kok nggak diantar lagi pakai pesawat ?"

"Hihihi," Mimi tertawa geli mendengar pertanyaan Ann, "Aku nggak begitu mengerti soal itu, Ann. Tapi, ada suatu perasaan, atau pemikiran di kepalaku, bahwa mereka sebenarnya mau mengajariku sesuatu hal. Mungkin tentang fungsi jamur itu, atau tentang memaksimalkan fungsi otak. Aku sedang mempelajari lagi soal itu."

"Kakak nggak bisa minta ketemu lagi dengan mereka terus minta ajarin macam-macam hal ?"

Mimi menggeleng, "Para pengelana cahaya bukan makhluk yang bisa kita perintah-perintah seenaknya. Mereka bertindak atas kemauan mereka sendiri. Hanya mereka yang tahu, perlu atau tidaknya melakukan sesuatu, dan kapan waktunya. Sejak awal aku disetujui untuk tinggal disini, aku sudah diberitahu  bahwa segala sesuatu di Gaia itu mengalir dengan sendirinya, tidak ada paksaan atau keharusan. Aku akan belajar mengenai berbagai hal dari banyak sumber secara berkala dan terkadang pelajaran itu akan datang tanpa disengaja. Semua pembelajaran akan tiba pada saatnya. Biarkan mengalir, begitu kata mereka."

"Ohh ... begitu ya," Ann mengamati wajah Mimi lekat-lekat, "Kakak benar-benar sudah jadi penghuni Gaia ya. Bijaksana sekali kata-katanya."

"Hahahaha !" Mimi tergelak, "Kamu lucu Ann !"

Ann tertawa.

"Jadi, waktu Kakak disuruh menghirup aroma jamur itu, Kakak memang membayangkan mau tinggal di Gaia ?"

Mimi menggeleng, "Saat itu kan aku belum tahu tentang Gaia ?"

"Oh iya ya ..."

"Aku memang nggak ingin pulang ke rumah lagi, Ann. Waktu menghirup jamur itu, aku membayangkan pulang ke tempat yang lebih nyaman untuk kutinggali. Sebuah tempat yang indah, penuh kedamaian, serta bermacam makhluk menyenangkan yang mau berteman denganku tanpa menilai wujud fisik. Dan ... tiba-tiba saja aku sudah berada disini. Bertemu dengan Armenia dan yang lainnya."  

"Wah. Kalau begitu, aku bisa pulang menggunakan jamur itu juga dong, Kak ?"

"Hmm. Mungkin nggak bisa," jawab Mimi.

"Lho, kenapa Kak ?"

 "Soalnya, kamu senang kan berada disini ?"

Ann mengangguk.

"Pasti kamu ada rasa ingin untuk tetap tinggal disini kan ?"

Ann mengangguk lagi.

"Nah, jadi, secara teori, jamur itu nggak akan bisa membawa kamu pulang Ann. Karena konsentrasimu akan terbagi dua, antara ingin pulang, tapi juga ingin tinggal disini. Ya kan ?"

"Iiih. Kakak tahu banget sih isi hati aku," Ann cemberut.

"Hahaha !" Mimi tergelak melihat ekspresi Ann.

"Apa aku tinggal disini aja selamanya ya Kak ?" ujar Ann penuh harap.

Mimi menggeleng dan tersenyum.

"Kalau kamu mungkin belum bisa Ann. Kamu masih punya orang tua, saudara, teman-teman, yang mana kamu sendiri masih ada keterikatan dengan mereka. Kamu pasti masih ingin menyelesaikan kuliah, bekerja, dan lain-lain."

"Kalau Kakak ... beda ya sama aku ?"

"Beda Ann. Saat itu aku memang sudah banyak melepaskan keterikatan dengan manusia lain, dan dengan kondisi Bumi pada umumnya. Nggak ada beban apa-apa lagi di hatiku."

Ann termangu.

"Ada banyak cara untuk bepergian atau berpindah antar dimensi Ann. Salah satunya pasti akan cocok untukmu. Tidak lama lagi pasti akan ada yang memberitahu kita. Atau kita akan mengetahuinya sendiri. Sesuai hukum Gaia ; segala sesuatu yang kita butuhkan akan datang dengan sendirinya dan pada waktu yang tepat."

"Oke deh Kak," Ann tersenyum, "Lalu, alien-alien yang menculik Kakak itu, seperti apa sih bentuknya ?"

Mimi mengangkat bahu, "Beberapa diantara mereka bertubuh mirip manusia pada umumnya. Beberapa lagi bermacam-macam. Ada yang kulitnya bersisik, ada yang bertanduk, berekor, bercakar, bahkan ada yang berparuh. Sulit untuk kujelaskan. Sepertinya mereka campuran dari beberapa ras atau spesies. Aku kan juga nggak sempat banyak berinteraksi dengan mereka, Ann. Aku lebih sering nggak sadarkan diri sih..."

"Iya ya, Kak," Ann mengangguk-angguk, "Pada akhirnya para alien itu akan tetap menjadi misteri untuk manusia di Bumi."

"Yah, begitulah. Tapi sekarang, coba ceritakan dulu bagaimana keadaan di Bumi setelah kejadian itu ?  Apakah ada yang menyadari bahwa aku menghilang dari rumah ?"

"Selama beberapa saat, heboh sekali Kak !" sahut Ann bersemangat, "Video cahaya yang bersinar di atas rumah Kakak itu beredar luas di dunia maya. Diteliti dan dibedah oleh banyak kalangan. Tetapi beberapa bulan setelahnya, semua orang sudah melupakannya. Atau paling tidak berusaha melupakannya dengan mencari-cari jawaban yang paling masuk akal untuk diri sendiri.  Tetapi sebagian lagi tetap membahas dan menyelidiki meskipun hanya dalam forum-forum tertutup. Himbauan-himbauan untuk tidak membahasnya lagi bertebaran di semua media sosial dengan alasan tidak ada cukup bukti yang mengatakan bahwa itu kejadian asli. Aneh bukan ?  Menyangkal hal  yang sudah jelas terlihat. Ada yang bilang hipnotis masal, ada yang menuduh Kakak sebenarnya kabur dari rumah tapi pura-pura diculik. Dan video yang beredar itu hanya editan. Atau kalaupun asli, itu hanyalah drone berlampu yang diterbangkan di atas rumah. Para nyinyi-ers mengatakan kalau memang penculiknya alien yang naik UFO, seharusnya ada tindakan lanjutan.  Invasi besar-besaran, misalnya. Dasar manusia. Kebanyakan nonton film. Kepingin banget diinvasi oleh alien. Nggak bisa berpikir lain apa ? Menyebalkan. Tapi memang begitu sih ya, sifat manusia bumi pada umumnya. Terlalu sulit untuk dipercaya ?  Anggap saja hoax. Tak usah dibahas lagi. Selesai."

Mimi tertawa.

"Ternyata kamu asik banget ya Ann, kalau ngobrol langsung."

"Hehehe, maaf  ya Kak, aku memang banyak omong kalau sudah ketemu dengan orang yang sepemikiran."

"Aku senang kok. Maaf ya, dulu kita belum sempat ketemu. Sekalinya ketemu, wujudku sudah seperti ini."

"Nah, itu juga yang mau kutanyakan sejak tadi. Kenapa wujud Kakak jadi seperti ini ?"

"Oh, iya. Awalnya aku juga nggak menyadari perubahanku kalau para Tetua nggak mengatakannya. Mereka juga menjelaskan alasan para pengelana cahaya melakukannya."

"Kakak dijadikan bahan percobaan ya, Kak ?"

"Nggak, An. Bukan percobaan. Mereka hanya berusaha memperbaikinya. Mataku kan minus duabelas. Mereka berusaha menormalkannya dengan teknologi mereka. Tetapi sepertinya  menimbulkan efek samping pada warnanya, dimana hal itu tidak pernah terjadi pada mereka. Makanya mata hitamku berubah jadi biru.  Sementara itu, kondisi gigiku memang nggak bagus sejak kecil. Kurang kalsium sejak di dalam kandungan, kata dokter dulu. Mereka juga merapikan susunannya, supaya lebih maksimal penggunaannya saat aku makan dan lebih maksimal saat dibersihkan. Kalau tentang warna kulit, mmm ... , aku ini penyandang vitiligo sejak remaja. Tahu soal itu?"

Ann menggeleng.

"Vitiligo itu kelainan pada zat pigmen kulit yang menyebabkan warna kulitku menjadi belang-belang. Kondisi yang membuatku selama bertahun-tahun menjadi orang yang nggak percaya diri. Malu ketemu orang dan malas bergaul. Vitiligo itu awalnya akibat gangguan autoimun, An. Jadi, sel-sel baik di dalam tubuh yang seharusnya bertugas menjaga keamanan dari masuknya sel jahat, malah berbalik menyerang teman sendiri. Salah satu akibatnya ya seperti itu. Sel pigmen yang seharusnya setiap saat memproduksi pigmen, malah saling serang dan akhirnya sebagian dari mereka tidak bisa memproduksi pigmen, yang tampak sebagai bercak-bercak putih. Vitiligo itu bukan penyakit, tapi rasanya lebih menderita daripada orang sakit lho. Bukan penyakit menular, tapi tetap aja orang yang melihat bakalan langsung menjauh. Minimal mengernyit, karena takut tersentuh. Padahal vitiligo itu kan bukan timbul karena kuman. Hanya pigmen yang menghilang dari permukaan kulit. Nggak ada bakterinya seperti problem kulit lainnya, misalnya jerawat. Tapi entah kenapa manusia itu masih lebih memaklumi melihat orang yang jerawatan dibanding yang kulitnya belang. Mau cipika-cipiki sama orang yang wajahnya jerawatan padahal sudah jelas ada bakteri di kulitnya, tapi lihat orang yang kulitnya belang-belang, salaman saja jijik. "

"Mmm, iya. Pernah juga aku melihat orang yang kulitnya belang-belang seluruh tubuh. Memang agak aneh dan ngeri sih ya melihatnya ... padahal kan itu bukan penyakit ya ..." gumam Ann.

"Memang begitu sifat dasar manusia. Nah," lanjut Mimi, "Para alien itu membuat kulitku menjadi nggak belang lagi dengan cara menghilangkan semua pigmennya sekaligus. Sampai rambutku juga ikut berwarna putih. Kebalikan dari yang dilakukan oleh para dokter di Bumi yang biasanya selalu memberikan obat dan treatment khusus untuk menumbuhkan pigmennya kembali. Mungkin karena para pengelana cahaya itu memang nggak memiliki peralatan untuk menumbuhkan pigmen, atau karena mereka sudah tahu aku akan pergi ke Gaia sehingga aku nggak perlu punya pigmen lagi. Matahari disini nggak menyakiti kulit kita lho Ann. Biarpun hari sedang panas terik."

"Jadi,  menurut mereka kelainan pigmen kulit kakak itu adalah sesuatu yang harus disembuhkan ?"

"Nggak Ann. Mereka hanya mendengar suara hatiku yang terdalam. Keinginan terpendamku yang sangat ingin punya tampilan yang lebih baik. Sebenarnya para pengelana cahaya itu nggak pernah berpikir apapun  tentang kelainan fisik seperti ini, sama seperti seluruh penduduk Gaia. Selain mereka sendiri terdiri dari banyak bangsa yang berbeda-beda, mereka juga merupakan makhluk berintelegensi tinggi yang hidup dalam  tingkat kesadaran yang tinggi dimana tampilan fisik suatu makhluk sama sekali tidak mempengaruhi atau mengganggu pandangan sama sekali. Mereka melihat langsung ke dalam hati semua makhluk.  Nggak pernah sedikitpun kutangkap kilatan tatapan aneh atau heran atau jijik melihat penampilan luar suatu makhluk, seperti yang sering kuterima di Bumi."

"Kakak dulu sering mengalami hal seperti itu di Bumi ?"

"Sering Ann. Orang-orang yang terpaksa aku hadapi tanpa sempat pakai make-up dulu. Tetangga yang tiba-tiba ada perlu datang kerumah, petugas pengiriman paket, satpam, pengamen,  orang-orang yang mau minta sumbangan ... hufftt," Mimi menghela napas lagi, mengenyahkan rasa enggan, "Yang paling parah itu waktu reuni dengan teman-teman SMP.  Jadi ceritanya, kami mengadakan acara menginap dua hari di Puncak. Di sebuah villa. Tadinya sih aku malas ikut, tapi nggak enak kalau menghindari acara reunian terus-terusan. Akhirnya aku paksain diri untuk ikut. Berbekal peralatan kosmetik lengkap dari berbagai merk yang selalu kubeli dengan menghabiskan honor menulisku. Nah, waktu malam harinya, aku sudah berusaha mencari waktu dan tempat yang tersembunyi untuk membersihkan make-up dan memakainya lagi. Meksipun pasti akan aneh kelihatannya kalau ada orang yang sudah waktunya tidur tapi make-up nya masih on begitu. Eh,  tiba-tiba ada satu orang yang memergoki aku di dalam kamar ; dalam kondisi belum sempat pakai apa-apa. Akhirnya terpaksa deh aku terus terang. Memang sih, dia nggak pernah mengejek aku setelah itu. Tapi kayaknya dia cerita deh, ke teman-teman yang lain. Soalnya setelah itu aku bisa merasakan tatapan menyelidik teman-teman lain yang sepertinya berusaha mencermati wajahku diam-diam, berusaha mencari cela yang sudah susah payah aku tutupi. Sedikit saja ada gerakan pada otot wajah mereka, aku langsung bisa merasa kalau mereka sedang melihatku dengan perasaan kasihan, aneh, bahkan jijik."

"Duh ... kasihan Kakak ..." 

"Itulah manusia Bumi, Ann. Melihat hal yang tidak wajar atau aneh sedikit saja, pasti langsung bereaksi. Kalau kucing atau anjing belang-belang sih malah dianggap lucu dan imut ya. Tapi coba kalau manusia. Hmmp."

"Iya juga yah Kak ..."

"Tapi, sejak aku menderita vitiligo dulu, aku menjadi bisa lebih memandang setiap orang langsung ke hatinya. Karena aku teringat akan kondisi diriku sendiri, maka secara alami aku memperlakukan orang lain seperti aku. Aku juga baru menyadari bahwa betapa dangkalnya pemikiran manusia selama ini. Yang selalu menilai pertama kali dari tampilan. Meskipun kalian berusaha menyangkalnya, tetap saja naluri kalian seperti itu." 

"Berarti Kakak dulu sering banget merasa sedih sekali ya..."

"Iya. Rasanya capek harus menutup-nutupi terus. Tetapi untuk terbuka juga aku nggak punya keberanian. Aku ini aslinya punya sifat pemalu dan minder Ann.  Makanya jadi dobel minder deh ..."

"Kasihan Kakak ..." kata Ann lagi.

"Tapi, sekarang aku sudah nggak apa-apa kok Ann," Mimi tersenyum senang, "Aku senang melihat tampilan diriku sendiri, berkat bantuan para pengelana cahaya."

Ann mengangguk, "Iya, kakak keren banget dengan tampilan begini. Kayak orang lagi ikutan acara cosplay anime, gitu lho !"

"Cosplaynya tiap hari dong ya ?"

"Iya. Cosplay yang nggak bubar-bubar acaranya !"

Mereka tertawa berbarengan.

"Eh, tapi, sakit nggak Kak, proses waktu dioperasinya ?"

"Mmm ... aku sih nggak ingat ada rasa sakit apapun. Cuma ingat sempat melihat peralatan yang mereka gunakan sebelum aku nggak sadarkan diri. Aku nggak bisa mengingat dengan jelas urutan kejadiannya karena sepertinya aku berkali-kali pingsan. Atau dibuat pingsan. Jadi kalaupun ada rasa sakit setelah itu, ya mungkin aku tenang saja menghadapinya karena wajar saja kan kita merasakan sakit akibat proses tindakan operasi atau semacamnya ?"

"Iya betul, Kak."

"Nah hal ini juga yang membuatku berpikir tentang sesuatu."

"Apa Kak ?"

"Asep bilang, setelah dia menghilang dan kembali lagi, dia menjadi trauma dengan jarum. Baik waktu melihat atau sekedar mendengar bunyinya saat jatuh ke lantai. Kemudian, penyakit epilepsi yang dideritanya sejak kecil mendadak sembuh, nggak pernah kambuh sama sekali. Mungkin, saat menghilang itu, Asep tanpa sengaja masuk ke Gaia dan bertemu dengan para alien yang menguasai bidang teknologi dan kedokteran yang mengetahui bahwa ia menderita epilepsi. Mungkin mereka telah melakukan sesuatu padanya yang berhubungan dengan jarum, mungkin untuk menyuntik atau mengoperasi bagian kepalanya, kemungkinan besar otak, untuk menyembuhkan epilepsinya. Mungkin saat itu Asep melihat peralatan yang mereka gunakan, dan mungkin sempat ada kejadian jarum yang jatuh. Sehingga setelah itu hanya sekedar mendengar suara atau melihat jarum saja sudah membuat Asep ketakutan."

"Tapi kenapa Kakak nggak trauma ? Kakak kan juga dioperasi. Yah paling tidak sama-sama dilakukan tindakan yang melibatkan alat-alat operasi kan ?"

"Mungkin tergantung cara penerimaannya. Saat itu Asep masih seorang anak kecil, tinggal di sebuah kampung yang dilingkupi cerita-cerita seram tentang hal-hal gaib, belum pernah berhadapan atau melihat langsung peralatan kedokteran atau operasi, lalu tiba-tiba berada pada situasi yang sangat bertentangan dengan akal sehatnya. Pindah secara tiba-tiba ke suatu tempat yang tak dikenal, kemudian tiba-tiba dibaringkan di tempat tidur dan dilakukan tindakan operasi. Hal seperti itu pastilah sangat menakutkan baginya dan menimbulkan trauma yang mendalam. Sangat berbeda dengan aku yang sudah dewasa, sudah sering melihat peralatan kedokteran baik secara langsung maupun dari media,  sudah pernah menerima tindakan operasi yang menyakitkan, dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan sibuk menggali dan menelaah teori-teori diluar nalar yang paling gila sekalipun. Apalagi malam itu aku sendiri yang berharap dalam hati supaya dapat melihat tempat asal kulit jamur tersebut. Secara psikologis, sudah pasti aku jauh lebih siap daripada Asep kan ?  Soal rasa sakit, itu sangat tergantung kepada kondisi psikologis saat menerimanya. Rasa sakit yang ringan saja akan terasa berat dan traumatik ketika kita nggak siap, nggak terima atau terkejut."

"Benar juga ya ...."

 "Oh iya !" seru Mimi tiba-tiba, "Keasikan curhat, aku sampai lupa tanya, kamu sendiri bagaimana caranya bisa sampai  ke sini Ann ?"

"Ohh, hihihi. Iya Kak, jadi begini ceritanya ..."

Ann mulai menceritakan kejadian malam itu pada Mimi.

"Kamu yakin yang kamu dengarkan itu binaural beats supaya bisa tidur cepat ?" tanya Mimi setelah Ann selesai bercerita.

"Iya, Kak," angguk Ann, "Eh ... tunggu. Waktu aku baru mulai tidur sih iya. Judulnya Binaural Beats For Deep Sleep.  Tapi waktu aku terbangun, videonya sudah berganti dengan jenis binaural beats yang lain.  Dan aku belum sempat mencermati judulnya karena perhatianku langsung teralihkan oleh kemunculan Xia."

"Ya, ya. Mungkin saja musiknya sudah berganti tanpa sengaja waktu kamu tertidur. Kemungkinan besar susunan nada-nada dari binaural beats itu membuat suatu formasi yang membuat getaranmu selaras dengan Xia, sehingga kamu bisa melihat dia, meskipun nggak sepenuhnya. Efeknya berbeda pada setiap orang."

"Begitu ya Kak ..."

"Ya. Dan itu juga yang menjelaskan soal sapu lidi pada kasus Asep. Seperti halnya binaural beats yang membuat getaran otakmu menjadi selaras dengan dimensi lain, nada-nada yang nyaring dari alat-alat masak yang dipukul itupun menghasilkan efek yang sama pada udara di sekitar kita. Begitu juga dengan sapu lidi. Kenapa bukan sapu ijuk atau benda lain ?  Karena mungkin bahan pembuat sapu lidi dan cara menyusunnyalah yang kebetulan membuatnya menjadi bisa membantu memecah konsentrasi kepadatan udara dan membuka pintu sehingga kita bisa melihat ke sisi seberang meskipun mungkin hanya untuk sesaat dan belum tentu selalu berhasil. Tergantung manusianya, dimana letak dinding dimensi yang tebal atau tipis, dan cara otak masing-masing bekerja."

"Hmmm ..." Ann berusaha mengingat-ingat kembali alunan nada binaural yang terakhir didengarnya setelah ia terbangun saat mati listrik.

"Kalau tentang suara  senandung merdu yang kamu gambarkan itu, aku jadi teringat sesuatu. Kita keluar yuk Ann," ajak Mimi.

Mereka berdua berjalan beberapa meter lagi ke dalam hutan. Kemudian menemukan sebatang pohon besar berbatang hijau dan bercabang banyak. Pohon itu memiliki lekukan yang indah dan artistik. Sulur-sulur halus menjuntai dari ranting-rantingnya yang panjang.

"Yang kamu dengar itu ... mungkin suara dia," bisik Mimi.

( Selanjutnya )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun