Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petunjuk

15 Januari 2018   11:15 Diperbarui: 15 Januari 2018   11:45 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:www.memecomic.id

Aku berlari keluar.

Terdengar suara ledakan keras dari arah belakang.

Jerit kepanikan terdengar dimana-mana.

Asap kelabu memenuhi udara.

 

***

"Ini sudah yang kedua kalinya Ras. Dan terasa lebih nyata daripada sebelumnya," aku berusaha meyakinkan Saras.

"Tapi ...  kenapa kamu yakin sekali hal itu pasti akan terjadi ?"

"Aku ... aku juga nggak tahu Ras. Meskipun ini sesuatu yang baru bagiku, tapi entah kenapa, aku merasa yakin. Yakin sekali."

Saras mengerutkan kening. Wajahnya yang cantik terlihat bingung.  

Sebenarnya akupun merasa tidak enak dengan kondisi seperti ini.

Tetapi apa boleh buat. Aku tak tahu harus mengatakan kepada siapa lagi. Selama ini hanya Saras yang selalu bersikap ramah padaku. 

Dan dengan posisinya sebagai ketua kelas yang selalu bertanggung jawab dan dapat dipercaya, semua guru dan teman pasti lebih bisa menerima kata-kata Saras dibandingkan aku, gadis pendiam aneh yang tak pernah bergaul akrab dengan siapapun di sekolah.

Masalahnya hanya satu.

Aku tak tahu pasti kapan tepatnya bencana itu akan terjadi.

"Kira-kira ... ledakan itu terjadi akibat apa ya ?" Saras berpikir keras sembari bersandar pada papan tulis di depan kelas yang telah kosong sejak tadi.

"Enng ... mungkin dari lab kimia ? Atau dapur di kantin ?" 

Saras menggeleng.

"Ruang kelas kita ini kan letaknya di sudut gedung sekolah, di ujung lantai paling atas, dan terpisah dari ruang kelas lainnya.  Sementara laboratorium kimia berada jauh di seberang sana. Lalu dapur kantin berada tiga tingkat di bawah. Itupun tidak dalam posisi lurus dengan ruang kelas kita. Sedangkan di dalam mimpi itu, saat kamu berlari keluar kelas, ledakannya berasal dari arah belakang kan ?"

Aku mengangguk.

"Berarti dengan kata lain, ledakannya berasal dari dalam kelas ?"

Aku mengangguk lagi.

"Hmm ... lalu kira-kira apa ya, yang bisa meledak dari dalam kelas kita ?" Saras menatap lantai kelabu dibawah kakinya.

"Apa mungkin ada murid yang iseng membawa petasan atau semacamnya ?" ujarku ragu.

"Sepertinya nggak mungkin Dev. Barang seperti itu pasti sudah kena razia oleh security sekolah di gerbang masuk."

"Iya ya ..."

Kami terdiam memikirkan berbagai kemungkinan lainnya.

"Mungkin bisa kamu coba tanyakan ke pihak sekolah Ras, apakah dalam waktu dekat ini akan mengadakan acara atau melakukan sesuatu apapun itu yang memungkinkan terjadinya ledakan ?"

"Mmm ... yah, meskipun aku yakin dalam waktu dekat tidak ada event apapun yang akan dilaksanakan di sekolah kita, tapi tetap akan kucoba tanyakan. Kamu tenang saja ya Dev, semoga mimpimu itu benar-benar cuma mimpi. Bukan pertanda apa-apa. Hanya bunga tidur."

"Iya Ras, mudah-mudahan begitu. Maaf ya aku jadi merepotkan kamu dengan hal aneh begini. Soalnya aku nggak tahu mau cerita ke siapa lagi. Aku juga nggak mau diejek teman-teman kalau aku memimpikan suatu kejadian yang ternyata di kemudian hari nggak terbukti kebenarannya."

"Tenang Dev, nggak akan ada yang tahu kok selain aku," janji Saras.

*** 

Ruang kelas terasa panas dan menyilaukan akibat sinar matahari yang memancar masuk melalui jendela samping. 

Aku memicingkan mata menatap kertas ulangan Bahasa Inggris di hadapanku. Berusaha memeriksa kembali jawaban-jawaban yang tertera diatasnya.

Deru angin bercampur suara denging keras mendekat dengan cepat.

Sinar menyilaukan dari jendela tertutup oleh bayangan gelap.

Suara denging itu melengking semakin nyaring.

......

GLAAARRR !!!

Aku terkesiap.

Apa itu barusan ?

Itu bukan mimpi !

Aku kan tidak sedang tidur ? 

Aku sadar sesadar-sadarnya !

"Saras !" teriakku pada Saras di ujung barisan kursi depan.

Saras menoleh terkejut. Begitu juga dengan seisi kelas.

"Itu ... itu Ras ! Sebentar lagi !!  Ayo keluar !  Keluar sekaraang !!" teriakku panik.

Saras terlihat bingung dan ragu. 

Ia sudah setengah berdiri di kursinya tetapi langsung duduk kembali karena bentakan Pak Guru.

Ah, ini percuma !

Aku melompat dari kursi dan berlari menuju pintu.

Tak kupedulikan suara Pak Guru yang berteriak menyuruhku kembali.

Denging nyaring itu datang disertai suara bergemuruh.

Tiga langkah dari pintu, hempasan kuat dari arah belakang mendorongku jatuh.

Lantai dibawahku berguncang hebat. 

Seketika terdengar teriakan dimana-mana.

Murid-murid berlarian keluar. 

Saling dorong dan saling tabrak. 

Debu kelabu memenuhi udara, menutupi pandangan. 

Beberapa orang jatuh terguling dan terinjak.

Aku meraih kesana kemari mencari pegangan untuk berdiri.

Seseorang menangkap tanganku.

"Sini Dev !"

Ia menarikku menjauh menuju sisi belakang gedung, menuju sebuah pintu darurat kecil yang selama ini tak pernah kusadari keberadaannya.  

Kami berlari menuruni tangga dan jatuh terguling di atas rumput.

"Kamu ... uhuk ! Kamu berhasil ... uhuk ... keluar Ras ?" seruku diantara batuk keras yang sengaja kupaksakan untuk mengeluarkan debu yang memenuhi kerongkongan.

"Aku ... ugh ... berusaha menyusul kamu tadi ," jawab Saras terengah.

"Teman-teman yang lain ??  Teman-teman yang lain bagaimana Ras ??" teriakku panik.

Saras menggeleng.  

Tubuhnya bergetar hebat.

.

.

Terdengar suara sirene panjang bergaung di kejauhan. 

Entah pemadam kebakaran atau ambulance.

Murid-murid yang selamat terduduk lemas di halaman.  

Menatap kosong kearah sisi gedung sekolah yang hancur dan terbakar.

Pandanganku kabur dalam genangan air mata.

Saras merapatkan wajah di atas lututnya. Menangis.

"Aku menyesal nggak percaya dengan pertanda dalam mimpi kamu Dev," ujar Saras lirih diantara isaknya, "Aku benar-benar menyesal ..."

***

Sekolah diliburkan selama sepuluh hari sebagai masa belasungkawa bagi korban meninggal, dan pemulihan kesehatan bagi korban luka-luka. Sekaligus memberi waktu bagi pihak sekolah untuk merenovasi bangunan yang rusak. 

Benda asing berukuran besar yang jatuh dalam kondisi terbakar dan meluluhlantakkan ruang kelasku beserta isinya sudah disingkirkan untuk diteliti oleh pihak yang berwajib.

Semua murid dan staff pengajar dirundung duka. 

Juga masyarakat luas.

Semua orang merasa kehilangan.

***

Hari ke sebelas diadakan upacara belasungkawa di sekolah.

Aku tak mau datang.

Tak ingin melihat.

Aku hanya mendengar dari Ibu yang menonton berita di TV bahwa di halaman samping sekolah sudah didirikan sebuah monumen kecil untuk mengenang tragedi itu.

Pihak sekolah menelepon ke rumah untuk memberitahukan bahwa namaku telah dipindahkan ke kelas lain.

***

Aku masuk sekolah dengan perasaan tak menentu. 

Selama berhari-hari tak pernah bicara dengan siapa-siapa.

Teman-teman di kelas yang barupun  cukup mengerti dan tak pernah mengusikku.

Saras dipindahkan ke kelas yang berbeda denganku.  

Hanya sesekali aku bertemu dia di koridor dan kami saling menyapa sekadarnya. 

Ia juga sepertinya masih sangat terpukul. Wajahnya selalu terlihat murung dan pucat.

Aku sangat mengerti perasaannya.

Sebagai dua murid yang tetap hidup diantara tiga puluh delapan lainnya yang tidak selamat, merupakan beban yang sangat  berat bagi kami.

Dan syukurlah sepertinya Saras tak menceritakan soal mimpi-mimpiku itu kepada teman-teman lain. 

Terbukti tak ada satu  orang pun yang menanyakan hal itu kepadaku. 

Lagipula aku memang sudah tak ingin membicarakan dan mengingat hal itu lagi.  

***

Tetapi, beberapa malam kemudian, aku kembali bermimpi.

Sebuah kecelakaan besar akan terjadi pada Saras dan teman-teman sekelasnya saat sedang acara jalan-jalan ke puncak. 

Di dalam mimpi itu, terlihat bus kecil yang membawa mereka tiba-tiba tertimbun tanah longsor di sebuah belokan jalan kecil lalu terguling ke jurang. 

Saat jam digital yang terpasang pada dashboard bus itu menunjukkan pukul sembilan tepat.

Ini sangat berbeda dari sebelumnya.

Kali ini aku tahu kapan kelas Saras akan melakukan acara jalan-jalan itu.

Dan pukul berapa waktu tepatnya kecelakaan itu akan terjadi.

***

Aku bertemu Saras di toilet saat jam istirahat.

Walau terkejut dan terlihat ketakutan, Saras tetap mendengarkan ceritaku sampai selesai.

"Kali ini bukan pertanda lagi Ras, tapi petunjuk ! Karena kapan waktu akan terjadinya terlihat cukup jelas. Iya kan ?" seruku gugup.

"Iya benar. Ini petunjuk yang jelas sekali. Aku percaya kamu Dev," Saras menggenggam tanganku dengan tangannya yang dingin, "Aku berjanji akan memperingatkan teman-teman, tanpa melibatkan kamu. Aku akan berusaha. Bagaimanapun caranya."

"Iya Sar, terimakasih ya," balasku.

***

Hari Minggu adalah waktu yang ditentukan untuk acara jalan-jalan kelas Saras. 

Aku tak tahu apakah mereka jadi  berangkat atau tidak.

Aku  tak mau menghubungi Saras. 

Tak mau menonton TV. 

Tak mau mendengar berita apa-apa. 

Tak ingin mengetahui hal mengerikan apapun yang menimpa teman-temanku lagi.

***

Hari Senin saat aku  tiba di sekolah, tidak ada kepanikan.  

Tidak ada suasana duka cita.

Hanya terlihat bisik-bisik disana sini.  

Tetapi bukan bisik-bisik ketakutan atau kesedihan.

Saras berdiri di dekat pintu masuk dan melambai ke arahku.  

Setengah belari aku menghampirinya.

Ia memelukku dengan hangat.

"Deviiii !  Terimakasih yaa ! Berkat petunjuk dari kamu, aku berhasil menyelamatkan teman-teman ! Kali ini kita berhasil Dev !" 

"Jadi, kalian nggak jadi pergi ??  Aduuh, syukurlah kalau begitu Ras !  Aku ... aku tuh sampai nggak mau nonton TV dan mendengar berita sama sekali lho, saking takutnya !"

"Jadi kok Dev. Aku dan teman-teman sekelas jadi pergi.  Tapiii, kamu tahu nggak, tepat jam sembilan kurang lima, busnya terpaksa berhenti di tempat pemberhentian terdekat karena ada murid yang perlu pergi ke kamar mandi ! Dan saat longsor itu terjadi, kami masih cukup jauh dari lokasi," Saras tersenyum puas.

"Waah, kamu pura-pura mendadak ingin ke kamar mandi ? Hebat ide kamu Ras !" pujiku.

Saras hanya tersenyum. Wajahnya terlihat cerah dan bahagia.

"Eh, sudah bel masuk tuh ! Masuk yuk !"

"Yuk !" 

"Oh ya Dev," kata Saras sesaat sebelum kami berpisah menuju ruang kelas masing-masing, "Bakat kamu ini sebuah anugerah lho. Jangan disia-siakan. Yah, kita memang nggak berharap ada kecelakaan atau bencana apapun lagi yang akan terjadi. Tapi, kalau sampai suatu saat kamu mendapat petunjuk lagi, kamu harus bisa mencari cara yang cerdik untuk memperingatkan orang-orang, tanpa harus memicu kepanikan dan membuatmu jadi bahan ejekan."

"Mm ...  kamu ... nggak mau bantu aku lagi yah Ras ...?"

"Bukan begitu Dev. Tapi kita kan nggak bisa sama-sama untuk seterusnya. Jadi mulai sekarang kamu harus belajar berusaha sendiri. Berjuang untuk orang-orang yang kamu sayangi. Oke."

 Aku mengangguk. 

***

Pulang sekolah, semua murid diminta membantu membersihkan area sekolah. Kelasku mendapat bagian membersihkan halaman samping.

Dengan membawa peralatan kebersihan, kami turun ke halaman.

Sebuah monumen batu granit kecil yang belum pernah kulihat, berdiri di tengah-tengah halaman.

Ah, iya. 

Monumen peringatan untuk teman-teman sekelasku yang menjadi korban ledakan.

Aku mendekat mengamati.

Bapak Aris Sugianto

Abe Wahyudi

Adriana Mareta

Adrianus Bagaskara

Aprilia Lauhadi

Arlina Saraswati

.

.

.

Hahh ??

.

.

.

Arlina Saraswati ...

.

.

Saras ??

Sapu lidi di tanganku terlepas dan jatuh ke tanah.

"Rasanya lega sekali ya, Bu Murni. Hampir saja sekolah kita mengalami musibah lagi."

"Iya, Pak Bowo. Saya juga bersyukur sekali. Untung saja secara kebetulan container berisi minuman di bagasi atas itu tiba-tiba tumpah dan membasahi pakaian beberapa murid. Sehingga saya langsung meminta sopir bus untuk mencari tempat pemberhentian, supaya anak-anak bisa berganti pakaian. Kalau saja hal itu tidak terjadi, pasti kami sudah ..."

Kakiku terasa lemas.

Aku jatuh berlutut di sisi monumen batu hitam itu.

Air mata menetes di pipiku.

Saras ...

Kamu ... 

Ternyata sudah meninggal saat ledakan itu.

Rasa menyesal karena tidak memilih untuk mempercayaiku membuatmu merasa bersalah dan tak bisa pergi.

Tapi ... 

Kali ini kamu telah berhasil menyelamatkan teman-teman.

Terimakasih ya, Saras.

Terimakasih sudah menjadi satu-satunya orang yang mau mendengarkan aku.

Dan terimakasih atas pesan terakhirmu yang sangat berarti.

 

Selamat jalan, Saras ...

 

END. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun