Pernah suatu malam, ketika menikmati makan di taman terbuka sebuah kafe, Adrian menyampaikan pertanyaan yang tak terduga.
"Tania, saat aku bilang aku suka kamu, apakah kamu sudah menyukaiku lebih dulu cuma tidak kamu katakan?"
Cangkir tehku sudah kosong. Sembari berpikir menemukan jawabannya, kutuang lagi teh panas dari teko ke cangkirku.
"Kalau aku suka padamu kenapa aku tidak mengatakannya? Karena menurutmu perempuan tidak santun jika menyatakan suka lebih dulu?"
"Berarti kamu tidak suka padaku waktu itu?"
"Kenapa begitu?"
"Karena, kamu tidak mengatakan padaku."
Aku menelan pelan-pelan teh panas. Kehangatan mengalir lambat di leherku. Ya. Apakah aku suka Adrian sebelum dia mendului menyatakan rasa sukanya kepadaku? Atau karena justru keberanian Adrian untuk menyatakan perasaannya, aku menjadi suka padanya? Artinya, aku tidak punya perasaan suka sebelum Adrian mengungkapkannya. Atau jangan-jangan, aku sudah mulai tertekan oleh label-label sosial yang mendorongku untuk memiliki pasangan, dan kebetulan Adrian orang pertama yang mengatakan?
"Kenapa kamu mau menerima aku?" tanya Adrian lagi, "Sungguh kamu menyukai aku?"
Cangkir teh panas di tanganku kosong lagi. Â Kulihat cangkir Adrian juga kosong. Sudah lama berarti kami di sini. Isi teko pun juga sudah kosong.
"Kenapa kamu juga suka aku?" tanyaku balik, "Sungguhkah kau suka aku? Tulus karena aku? Aku sepuluh tahun lebih tua dari kamu."