Jihan terdiam sejenak.
"Itu aja, Ma?" tanya Jihan.
"Iya," jawab Minkyeung, singkat.
"Harusnya ada penjelasannya nggak, sih?" Jihan tidak percaya.
Minkyeung tidak menjawab.
"Iya, maksudnya Mama nggak bisa ninggalin Jihan dan ayah di Galar sendirian habis itu kalo ditanya jawabnya udah gitu aja?" Jihan semakin emosi.
Minkyeung tetap bungkam. Kali ini Jihan benar-benar frustrasi dan memutuskan untuk pulang sendirian.
"Wait! Jihan! Jihan, tunggu! Jihan, I wasn't happy! I felt trapped!" kata Minkyeung.
Jihan kaget.
"Kenapa, Ma?" tanya Jihan.
"Mama nggak bisa pulang. Ayahmu ternyata sosok yang brengsek. Dia nggak pernah ngertiin mama!" kata Minkyeung.
"Tapi sekarang bisa kan, Ma? Bisa pulang. Balik ke Galar terus tinggal bareng Jihan?" kata Jihan.
"Ya nggak segampang itu, mama punya kehidupan juga di sini. Di sinilah rumah mama," kata Minkyeung.
"Anak-anak Brave Girls itu tahu ada Jihan?" tanya Jihan. "Terus Jihan bukan anak mama?" tanyanya lagi.
.
.
.
"Iya," kata Minkyeung.
"Terus?" tanya Jihan.
"Mama nggak bisa kesalahan yang sama untuk kedua kalinya," Minkyeung meneteskan air mata. "Sejak itu mama tidak menikah dan memilih hidup sendiri di Italia."
"Jihan anak mama juga. Jihan berhak diakuin!" kata Jihan.
Jihan pun memeluk Minkyeung sambil menangis.
"Jihan janji, nggak akan nyusahin mama di sini. Jihan juga janji kita bakalan pulang bareng," kata Jihan. "Jihan sayang mama."
"Mama juga sayang Jihan," kata Minkyeung. "Ayo, kita pulang."
Jihan dan Minkyeung yang semula penuh ketegangan dan air mata, berubah ceria lagi. Mereka melanjutkan perjalanan pulang. Sesekali, mereka berswafoto. Jihan mengirimkan foto itu ke Mirna di Indonesia lewat aplikasi pesan singkat. Dia ingin Mirna tahu bahwa dirinya baik-baik saja selama sebulan di Italia, sukses bertemu dengan ibu dan kakak perempuannya.