Di dunia asuransi, nilai keseimbangan diciptakan melalui pendapatan atas premi, dan mengelola klaim sebagai komponen pengeluaran. Lalu bagaimana dengan asuransi sosial? Ada peran negara disitu.
Program jaminan kesehatan, melalui BPJS Kesehatan berlaku universal, bersifat mengikat seluruh masyarakat. Tujuannya ideal, agar seluruh warga negara memiliki akses dibidang kesehatan.
Pada konteks riilnya, terdapat kesulitan penerapan, karena belum meratanya fasilitas dan tenaga kesehatan di seluruh daerah. Lebih jauh lagi, hal ini juga menyangkut kemampuan serta kapasitas negara, sebagai pemberi jaminan
Politik Kesehatan
Masalahnya, negara dan pemerintahan meski menjadi suatu konsep kesatuan, tetapi makna dalam diksinya berbeda. Negara berbicara tujuan jangka panjang, dan kepentingan bagi perlindungan kehidupan bersama.
Sementara pemerintahan, adalah konsep implementasi kekuasaan yang terbatas dan dibatasi, melalui mekanisme pemilihan. Sehingga durasi waktunya lebih pendek, dan bersifat praktis.
Lantas dimana pokok soalnya? Pemerintahan kerap jatuh ke dalam konsep pragmatis untuk survive dalam waktu pendek, seringkali berbeda dengan tujuan yang panjang atas kehidupan bernegara. Politis.
Orientasi politik itu yang kemudian mengemuka. Tidak heran, kebijakan kesehatan masuk dalam ruang yang dipolitisasi. Menjadi jargon, tetapi seringkali gagal direalisasi. Termasuk tarif premi.
Banyak kepentingan politik yang terkait dalam menetapkan besaran premi, terlebih bila sedang memasuki periode kontestasi politik. Kesehatan selalu menjadi komoditi yang laku, saat kampanye.
Padahal, bila digarap serius, sektor kesehatan yang mumpuni dapat menjadi landasan penting bagi kemajuan berbangsa. Bangsa yang sehat, tentu siap untuk berkompetisi, dan menjalankan pembangunan.
Pandemi menunjukan hal itu secara terang benderang. Kemajuan pembangunan fisik, menjadi tidak memiliki dampak yang signifikan, dalam menghadang penularan, ketakutan dan kematian karena wabah.