Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

BPJS Kesehatan Dihimpit Pandemi

15 Mei 2020   13:57 Diperbarui: 15 Mei 2020   15:16 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

TERJEPIT. Kehadiran pandemi ibarat kotak pandora. Semua kelemahan kita terkuak. Termasuk soal rapuhnya ketahanan kesehatan nasional. Terbilang rentan. Jauh sebelum pandemi, hal itu sebenarnya sudah terbaca, melalui kisruh defisit BPJS Kesehatan.

Setidaknya, melalui pandemi himpitan itu terjadi secara bersamaan, yakni (i) menyangkut penanganan dampak wabah yang berstatus global, dan (ii) memastikan kemampuan pelayanan kesehatan berkelanjutan, melalui BPJS Kesehatan.

Tidak mudah. Persoalannya pelik. Babak belur ketahanan kesehatan, jelas terlihat dari kurangnya sumber daya manusia, peralatan dan prasarana dalam melawan pandemi. Perlu pembenahan.

Disaat pandemi, kita baru memahami bila kesehatan menjadi aset penting dari kehidupan bersama. Pencapaian yang selama ini diukur dari kapasitas produksi, dipaksa berhenti. Tidak bisa mengelak.

Krisis kesehatan, berdampak pada kerentanan ekonomi. Dalam situasi tersebut, populasi publik yang mengalami kemerosotan kemampuan untuk bertahan hidup, jatuh ke lapisan kelompok miskin. Bertambah.

Usaha mengurangi jumlah kemiskinan, dengan menggenjot pembangunan fisik, yang dilakukan dalam durasi tahunan, pupus seketika dengan kemunculan wabah dalam hitungan bulan. Ironi.

Menjaminkan Kesehatan

Sudah sejak awal, sebelum pandemi, BPJS memiliki karakteristik persoalan yang tidak berujung. Defisit terus melebar. Problemnya sudah banyak dibahas, tetapi eksekusinya selalu mengalami kendala.

Sebut saja, soal tata kelola, moral hazard publik hingga ditengarai fraud pemberi layanan. Hal itu sering dinyatakan menjadi permasalahan, meski ada persoalan yang lebih besar, yaitu penetapan premi.

Mengapa? Karena nilai premi, sejatinya menggambarkan pola relasi antara supply dan demand. Bukankah ini asuransi sosial? Benar, berbasis gotong royong. 

Apakah sama dengan asuransi komersial? Tentu berbeda, terutama pada (i) perjanjian atas tarif premi, dan (ii) nilai manfaat yang dapat dipergunakan, alias benefit yang dicover. Kombinasi asuransi, hanya itu.

Di dunia asuransi, nilai keseimbangan diciptakan melalui pendapatan atas premi, dan mengelola klaim sebagai komponen pengeluaran. Lalu bagaimana dengan asuransi sosial? Ada peran negara disitu.

Program jaminan kesehatan, melalui BPJS Kesehatan berlaku universal, bersifat mengikat seluruh masyarakat. Tujuannya ideal, agar seluruh warga negara memiliki akses dibidang kesehatan.

Pada konteks riilnya, terdapat kesulitan penerapan, karena belum meratanya fasilitas dan tenaga kesehatan di seluruh daerah. Lebih jauh lagi, hal ini juga menyangkut kemampuan serta kapasitas negara, sebagai pemberi jaminan

Politik Kesehatan

Masalahnya, negara dan pemerintahan meski menjadi suatu konsep kesatuan, tetapi makna dalam diksinya berbeda. Negara berbicara tujuan jangka panjang, dan kepentingan bagi perlindungan kehidupan bersama.

Sementara pemerintahan, adalah konsep implementasi kekuasaan yang terbatas dan dibatasi, melalui mekanisme pemilihan. Sehingga durasi waktunya lebih pendek, dan bersifat praktis.

Lantas dimana pokok soalnya? Pemerintahan kerap jatuh ke dalam konsep pragmatis untuk survive dalam waktu pendek, seringkali berbeda dengan tujuan yang panjang atas kehidupan bernegara. Politis.

Orientasi politik itu yang kemudian mengemuka. Tidak heran, kebijakan kesehatan masuk dalam ruang yang dipolitisasi. Menjadi jargon, tetapi seringkali gagal direalisasi. Termasuk tarif premi.

Banyak kepentingan politik yang terkait dalam menetapkan besaran premi, terlebih bila sedang memasuki periode kontestasi politik. Kesehatan selalu menjadi komoditi yang laku, saat kampanye.

Padahal, bila digarap serius, sektor kesehatan yang mumpuni dapat menjadi landasan penting bagi kemajuan berbangsa. Bangsa yang sehat, tentu siap untuk berkompetisi, dan menjalankan pembangunan.

Pandemi menunjukan hal itu secara terang benderang. Kemajuan pembangunan fisik, menjadi tidak memiliki dampak yang signifikan, dalam menghadang penularan, ketakutan dan kematian karena wabah.

Tafsir Ketetapan Premi

Penetapan premi baru, pasca pembatalan MA atas tarif premi BPJS Kesehatan, harus dipandang dalam beberapa ranah yang saling terkait. 

Pertama: untuk menghasilkan sektor kesehatan yang berkualitas, membutuhkan dukungan dan komitmen atas pembiayaan secara berkesinambungan.

Kedua: kondisi aktual yang saat ini terjadi bersamaan dengan pandemi, menyebabkan banyak kelas sosial yang mengalami penurunan kemampuan ekonomi. 

Ketiga: pemerintah, dihadapkan pada upaya untuk menyelesaikan masalah secara bersamaan, yaitu; menghentikan pandemi, dan mengatasi defisit BPJS Kesehatan.

Bagaimana membaca Perpres 64/ 2020 tentang penerapan premi baru? Sekurangnya ada berbagai pendekatan yang dapat dipergunakan.

Pertama: pemerintah mempertahankan nilai premi yang telah ditetap sebelumnya, dengan waktu implementasi Januari sd Maret 2020.

Kedua: pemerintah hendak mengadopsi putusan MA, untuk melakukan pembatalan kenaikan premi, dalam kurun waktu yang terbatas, April sd Juni 2020.

Ketiga: pemerintah memberikan ruang relaksasi bagi publik yang terdampak pandemi, dengan memberikan keringanan pada tunggakan premi.

Keempat: pemerintah mengembalikan mekanisme penetapan premi pada nilai keekonomian kesehatan, berdasar basis aktuaria, Juli-Desember 2020.

Kelima: pemerintah memberi subsisi terbatas untuk waktu menengah, hingga Desember 2020, dan memberikan porsi ruang kewenangan pada pemerintah daerah mulai 2021.

Keenam: pemerintah menerapkan efek jera, dengan menaikan nilai denda menjadi sebesar 5 persen di 2021.

Konteks dan Etika

Asuransi sosial bermakna keadilan. Bagaimana menerapkan prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan ini? Sekurangnya, dapat dilakukan dengan membedakan kebutuhan dasar, dari pilihan atas kenyamanan.

Selama ini opsi premi, menetapkan diri berdasarkan jenis kelas. Padahal tingkatan kelas pelayanan adalah soal kenyamanan. Karena itu, perlu segera dilakukan pembenahan produk BPJS Kesehatan.

Skema yang diusulkan single premi. Berarti sifatnya hanya memenuhi layanan dasar, serupa premi kelas III, yang terkategori sebagai kelas standar. Format ini dikendalikan melalui intervensi negara.

Bagaimana bila publik hendak mengedepankan kenyamanan sebagai bagian pelayanan kesehatan, dengan mengambil paket kelas diatas kelas standar? Harus bersedia masuk ke mekanisme harga pasar. 

Apa yang kurang dengan Perpres 64/ 2020? Waktu.  penetapan saat dikeluarkan, dianggap tidak tepat. Seolah tidak memiliki sense of crisis. Isu ini menjadi persoalan sensitif bagi publik, dikala situasi sulit.

Sebuah keputusan kebijakan, mempertimbangkan waktu serta situasi yang tepat. Konten yang baik, harus dibingkai sesuai konteks yang melingkupinya. Dititik tersebut, letak etika akan berperan.

Jadi bagaimana menyikapinya? Publik berhak untuk dijamin dapat mengakses kesehatan, dengan begitu pola turun kelas layanan bisa dilakukan. Secara bersamaan perlu dilakukan perombakan mendasar dari produk BPJS Kesehatan.

Keseriusan untuk membenahi soal-soal kesehatan yang menyangkut kehidupan publik, dapat terindikasi melalui, (i) kecepatan dan keseriusan penanganan pandemi, (ii) konsistensi serta komitmen yang penuh dalam pembangunan sektor kesehatan, serta (iii) memastikan hajat kesehatan publik tidak tercederai.

Hal tersebut menjadi penting, karena kita harus bersiap untuk berhadapan dengan pandemi selanjutnya. Bila tidak segera dibenahi dan dipersiapkan, maka persis sebagaimana sebutan Bung Besar -Vivere Pericoloso kita tengah bertaruh dengan bahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun