TERJEPIT. Kehadiran pandemi ibarat kotak pandora. Semua kelemahan kita terkuak. Termasuk soal rapuhnya ketahanan kesehatan nasional. Terbilang rentan. Jauh sebelum pandemi, hal itu sebenarnya sudah terbaca, melalui kisruh defisit BPJS Kesehatan.
Setidaknya, melalui pandemi himpitan itu terjadi secara bersamaan, yakni (i) menyangkut penanganan dampak wabah yang berstatus global, dan (ii) memastikan kemampuan pelayanan kesehatan berkelanjutan, melalui BPJS Kesehatan.
Tidak mudah. Persoalannya pelik. Babak belur ketahanan kesehatan, jelas terlihat dari kurangnya sumber daya manusia, peralatan dan prasarana dalam melawan pandemi. Perlu pembenahan.
Disaat pandemi, kita baru memahami bila kesehatan menjadi aset penting dari kehidupan bersama. Pencapaian yang selama ini diukur dari kapasitas produksi, dipaksa berhenti. Tidak bisa mengelak.
Krisis kesehatan, berdampak pada kerentanan ekonomi. Dalam situasi tersebut, populasi publik yang mengalami kemerosotan kemampuan untuk bertahan hidup, jatuh ke lapisan kelompok miskin. Bertambah.
Usaha mengurangi jumlah kemiskinan, dengan menggenjot pembangunan fisik, yang dilakukan dalam durasi tahunan, pupus seketika dengan kemunculan wabah dalam hitungan bulan. Ironi.
Menjaminkan Kesehatan
Sudah sejak awal, sebelum pandemi, BPJS memiliki karakteristik persoalan yang tidak berujung. Defisit terus melebar. Problemnya sudah banyak dibahas, tetapi eksekusinya selalu mengalami kendala.
Sebut saja, soal tata kelola, moral hazard publik hingga ditengarai fraud pemberi layanan. Hal itu sering dinyatakan menjadi permasalahan, meski ada persoalan yang lebih besar, yaitu penetapan premi.
Mengapa? Karena nilai premi, sejatinya menggambarkan pola relasi antara supply dan demand. Bukankah ini asuransi sosial? Benar, berbasis gotong royong.Â
Apakah sama dengan asuransi komersial? Tentu berbeda, terutama pada (i) perjanjian atas tarif premi, dan (ii) nilai manfaat yang dapat dipergunakan, alias benefit yang dicover. Kombinasi asuransi, hanya itu.