Apa yang bagi seseorang adalah sebuah tindakan keberanian, seperti bisa menahan diri dan tidak over reaksi pada situasi tertentu yang sangat provokatif-intimidatif, kita mungkin menganggapnya biasa saja.
Kenapa? Â Ya, karena kita tidak berada di situasi yang sama.
Seringkali kita enggan melepas sepatu kita, dan mengenakan sepatu orang yang kita nilai, lalu dengan serta merta membuat penilaian saat kita masih memakai sepatu kita sendiri.
Pesan yang kedua, kebesaran hati melihat orang lain dari kacamata yang seharusnya.
Meskipun diawal katak meremehkan tikus, setelah diingatkan oleh burung gereja bahwa mereka berbeda maka katak pun dengan berbesar hati dan tulus menjadi yang pertama memberikan ucapan selamat dan bergembira ketika tikus melenyelesaikan misi uji keberanian
versinya.
Luar biasa bukan? Seberapa sering kita terlalu angkuh dengan apa yang kita pikir adalah yang terbaik versi kita.
Ketika seseorang merayakan keberhasilannya, yang mungkin menurut kita tidaklah seberapa, apakah kita akan tetap mencibirnya atau dengan besar hati dan tulus mengapresiasinya?
Anak yang memang tidak berbakat matematika, misalnya. Ketika dia dengan usaha kerasnya berhasil mencapai nilai 70, tentu berhak mendapat apresiasi. Meskipun teman-teman lainnya mendapatkan nilai jauh lebih tinggi.
Pesan ketiga adalah betapa kita sering terjebak dalam kompetisi yang tidak perlu.
Memang pada beberapa hal dan waktu, kompetisi diperlukan. Tapi seringkali kita memposisikan diri kita bahkan orang lain dalam kompetisi yang bukan saja tidak perlu tapi membahayakan kesehatan pikiran, jiwa dan tubuh.
Apalagi kalau itu kita terapkan pada anak-anak kita.
Membandingkan dengan si A, si B, si C padahal anak kita adalah si D.
Setiap anak berbeda. Memiliki kekuatan dan kelemahan yang juga berbeda. Sama dengan kita. Mereka di ciptakan dan di desain oleh Tuhan sedemikian rupa bukan untuk dibanding-bandingkan apalagi dikompetisikan, pun juga tidak untuk diseragamkan. Memangnya kita ini keluar dari cetakan kue muffin?