Mohon tunggu...
Yoyo Setiawan
Yoyo Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Melengkapi hidup dengan membaca dan menulis; membaca untuk menghayati betapa ruginya hidup tanpa ilmu, menulis untuk meninggalkan jejak bahwa kehidupan ini begitu berwarna.

Tenaga pendidik dunia difabel yang sunyi di pedalaman kabupaten Malang. Tempat bersahaja masih di tengah kemewahan wilayah lain. Tengok penulis kala sibuk dengan anak istimewa, selanjutnya kamu bisa menikmati pantai Ngliyep nan memesona! Temani penulis di IG: @yoyo_setiawan_79

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kursi Roda yang Berkarat (Bagian 2: Selesai)

14 November 2021   05:00 Diperbarui: 14 November 2021   06:44 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita Difabel #02

Cerpen by: YoyoGoyol (@yoyo_setiawan_79)

Akhirnya Budi bisa membujuk Asih untuk mandi. Walau air panas yang sudah dituang ke bak mandi sudah mulai dingin, Budi tidak menggerutu. Dengan lautan kesabarannya, ia tambahkan air termos di bak mandi. Air kembali panas!

Khawatir Asih kembali melamun di kamar mandi, Budi terus mengikuti istri sampai ke tempat mandi. Alhamdulillah sudah fokus, dari luar pintu, Budi mendengar suara orang menyikat gigi, air yang memercik. Dan melihat uap air panas mulai menempel di pintu kaca kamar mandi. Berhasil!

Kala Budi mendampingi istri mandi, Ibu sudah menyiapkan baju di kamar tidur Asih. Sudah satu bulan ini, ibu Asih datang dari kampung untuk menemani dia kala hari-hari ditinggal Budi bekerja. Ibu sengaja melayani sebagian besar kebutuhan Asih, agar beban pikir sedikit ringan.

Sesaat kemudian,  Asih keluar dari kamar mandi, terlihat segar raut mukanya. Ia terlihat bisa tersenyum tipis. Merasa kedinginan selepas terkena air panas, Asih bergegas ke kamar.

Ia kaget, juga bersyukur ada Ibu yang membantu, selayak anak kecil dua puluh tahun lalu. Sebelum mengenakan baju, ia mematut sejenak di depan cermin. Sekarang aku kurus, pikiran Asih sibuk.

"Ayo sayang, sudah ditunggu ibu di ruang makan!", seru Budi di depan pintu. Ia telah berada di situ beberapa menit sebelumnya, memperhatikan Asih yang melamun di depan cermin.

Untuk menutupi malu, tangan kanannya meraih alat perias wajahnya, sambil menengok ke Budi dan mendekati kursi rias, duduk. Ia tersenyum.

"Aku temani kamu dandan ya, sayang?", tanya Budi menggoda. Sang istri tersenyum. Budi bersyukur, perlahan Asih kembali seperti yang dulu. Budi terus menggoda, dari belakang ia lingkarkan kedua tangannya ke pinggang istri, kecupan mesra mendarat di pipi kanan Asih.

Asih kaget, tidak menduga mendapat ciuman pertama pagi ini saat berdandan. Biar kaget tapi tidak bisa menolak! Tapi sebagai wanita ia malu mengungkapkan.

"Sayang, aku menunggu di meja makan saja ya? Nanti kalau sudah selesai, kamu menyusul lho!", kata Budi sembari meninggalkan kamar.

"Ya, mas!", jawab sang istri singkat.

Perlu sepuluh menit menunggu, agar Budi bisa melihat istri selesai berpakaian. Asih tidak terbiasa berdandan dengan beragam alat kecantikan, ribet katanya. Budi pun menyukai Asih dengan riasan wajah sederhana.

"Masyaallah, istriku cantik sekali! Sekarang sarapan dulu ya?", seru Budi tersenyum, memperhatikan penampilan Asih yang anggun dengan berbalut gamis berwarna pink dan jilbab sewarna.

Yang dipuji hanya membalas senyum. Langkah kakinya tidak lagi gontai, sudah berenergi, bisa jadi setelah mandi ia merasa lebih segar.

"Aku yang ambilkan nasi ya?", Budi menawarkan diri. Asih menggeleng.

"Sendiri saja, mas." balas Asih. Budi tidak marah, malah senang istrinya perlahan pulih seperti awal. Hatinya penuh syukur.

"Oke, selamat makan!", pungkas Budi. Ia lahap menyantap sarapan karena isi perut sudah kosong, seharusnya sebelum pukul 7 seperti biasa sudah makan pagi. Hatinya belum juga berhenti bersyukur, terlihat sang istri mulai bergairah makan pagi hari ini, nasi goreng spesial buatan ibu!

"Sayang, makan yang lahap ya, dihabiskan! Aku menyiapkan mobil dulu", kata Budi beranjak dari duduknya, berdiri mendekatkan wajahnya ke istri, tersenyum.

"Iya, mas. Silakan", jawab Asih singkat, mengangguk dan mulutnya masih sibuk mengunyah.

Ibu sudah membawa beberapa tas bekal dan perlengkapan jalan-jalan, ditaruhnya di dekat mobil. Budi segera memasukkannya ke dalam mobil. Setelah dirasa sudah rapi, Budi kembali menemui istri. Sudah selesai rupanya, Asih tengah beranjak dari meja makan, meraih tas tangannya dan berjalan ke arah garasi.

Dari dapur terlihat juga ibu sedang berjalan ke garasi, kedua wanita cantik itu bertemu di depan pintu keluar. Entah Asih yang berjalan melamun, entah ibu yang berjalan terlalu bergegas, keduanya bertabrakan. Brak!

Asih reflek mundur dan mendongakkan wajah, kaget. Ia mundur agak terhuyung. Ibu yang juga kaget, demi melihat Asih hampir jatuh, spontan berteriak.

"Asih! Aduh..., kamu nggak apa-apa, nak?". Ibu kaget dan panik, terlebih ibu ingat Asih belum sehat benar. Budi yang sedang fokus memeriksa mobil, kaget mendengar teriakan ibu, menoleh, dilihatnya Asih dipapah.

Tanpa pikir panjang, Budi berlari menghampiri, kacau ini, pikirnya.

"Ada apa Bu? Asih kenapa? Kamu sakit, sayang?", berondong Budi penasaran dan panik. Ibu hanya tersenyum, Asih pucat mukanya.

"Nggak apa-apa, mas. Kaget saja, keluar bersamaan hampir tabrakan!", jawab Asih malu ketahuan melamun.

"Iya, tidak apa-apa kok, cuma kaget sedikit Asih!", kata ibu sembari memperhatikan wajah anaknya. Terlihat senyum mengembang di kedua pipinya.

"Ya sudah, sekarang cepat berangkat saja, sudah siang!", kata Budi menyambut tangan kanan Asih, menuntunnya dan membukakan pintu mobil.

Segera Xenia terbaru berwarna putih bersih meluncur ke Taman Mahonian Dempok. Hanya tiga puluh menit perjalanan, kendaraan telah memasuki gerbang tempat rekreasi terdekat di Malang Selatan ini.

Hari Sabtu yang cerah, tempat parkir di tempat rekreasi ini hampir penuh. Harus terus masuk ke dalam untuk mendapatkan tempat parkir yang kosong. Setelah benar-benar terparkir, Budi membukakan pintu untuk Asih dan Ibu.

Semua perbekalan dengan dibantu ibu, ia bawa ke gazebo terdekat. Ada banyak deretan gazebo dibangun di bawah rimbunnya pohon Mahoni.

Cuaca sedang bersahabat, tidak terik dan tidak mendung, ditambah sepoi angin yang terhembus dari danau membuat suasana sejuk dan nyaman.

Betah aku di sini, pikir Budi sambil berbaring di lantai gazebo.

Baru beberapa menit, terlihat rombongan ibu suster dan anak-anak, seperti difabel. Ini dari sekolah SLB atau panti asuhan, tanya Budi dalam hatinya. Setelah dekat, Budi beranikan diri bertanya.

"Selamat pagi Bu, ini rombongan dari mana?", tanya Budi ramah. Terlihat dua suster di depan dan satu di belakang rombongan. Ada anak yang terlihat fisiknya tidak sempurna, berjalan dengan pincang, kaki kanan tidak menapak sempurna, melainkan menapak dengan miring.

Di belakangnya ada dua orang yang mendorong kursi roda, duduk di atasnya dua anak cantik, satu dengan cacat tidak memiliki telapak kaki, yang lainnya terlihat kedua kaki mengecil, polio.

"Kami dari panti asuhan Bakti Luhur, pak. Ini sedang ada acara rekreasi!", jawab ibu suster yang ada di depan. Hati Budi terenyuh, iba, empatinya tergerak.

"Maaf, boleh minta alamat atau kartu nama panti asuhan ibu ya? Siapa tahu, satu saat nanti saya dan istri berkunjung ke tempat ibu!", kata Budi.

Suster membuka tas kecil yang dibawanya, menyodorkan selembar kartu nama ke Budi.

"Ini ada, pak. Silakan, kapan bapak sekeluarga akan datang, pintu selalu terbuka!", jawab suster Inawati, tertulis namanya di dadanya. Ia tersenyum dan berpamitan.

"Sama-sama, suster Ina! Saya juga berterima kasih kepada suster semua!".

Setelah rombongan berlalu, Budi kembali mendekati Asih. Ia ceritakan rasa simpatinya ke panti asuhan itu. Asih setuju untuk berkunjung nantinya.

"Mas, mau pesan ikan bakar atau jalan-jalan dulu?", Asih mengalihkan pembicaraan. Budi cuma diam, menengok ke Asih yang berada di sebelahnya.

"Budi, Asih, kalian jalan-jalan dulu saja. Naik sepeda air biar bisa keliling danau, asyik lho!", ibu yang menjawab. Tapi juga sebuah saran agar suami-istri itu kembali harmonis melupakan kesedihannya.

"Ya, Bu. Kita jalan-jalan dulu saja, pesan makanan gampang nanti siang! Ayo Bu?", ajak Budi.

"Aku di sini saja, nunggu mobil. Kalau mau jalan mutar-mutar keliling danau, silakan!"

Cepat, Budi meraih tangan istrinya, diajak jalan bergandengan, menuruni beberapa anak tangga. Nun di bawah sana, berjajar perahu kecil dengan desain angsa, itulah yang disebut sepeda air.

Ada dua tempat duduk dilengkapi dua set pedal layaknya sepeda, fungsinya untuk dikayuh agar perahu bergerak, bisa maju dan mundur. Di bagian belakang dilengkapi tuas penggerak sirip, fungsinya mengubah arah gerak perahu, belok kiri atau kanan.

Di depan loket tiket, Budi ikut mengantri, sementara Asih sibuk memilih warna sepeda air yang cocok. Kok tidak ada yang warna biru, warna favorit mas Budi? Ia pesan kepada petugas, dikatakan menunggu sepeda air yang sedang berputar kembali.

Budi telah berhasil mendapatkan tiketnya, menemui Asih, menunggu bersama sepeda air yang dipesan. Ia mengutarakan niat menyumbangkan kursi roda di rumah ke panti asuhan itu. Asih terdiam, seperti ada yang berat.

Tapi demi melihat sepeda air pesanannya datang, Asih mengangguk setuju!

Budi memandu Asih turun ke geladak perahu perlahan, ia seperti agak takut dengan goyangan sepeda air itu. Setelah keduanya duduk, Budi mulai mengayuh, kayuhan pertama terasa berat. Uhh, hampir sepenuh tenaga Budi mendorong pedal agar berputar. Berat juga, pikirnya.

"Bantu kayuh, sayang!", kata Budi sambil tersenyum ke arah Asih. Yang diajak bicara hanya tertawa kecil. Aduh, usilnya mulai! Terlihat napas Budi memburu, terasa capai! Begitu sepeda air sudah berjalan, kayuhan berikutnya mulailah terasa ringan.

Momen kebersamaan dalam suasana romantis kembali terulang. Budi berhasil mendapatkan kembali gairah hidup istri tercinta. Celoteh dan canda tawa bergantian mengiringi kayuhan mereka berdua mengelilingi danau nan damai, sedamai kedua hati yang sempat bergolak.

Semoga kedamaian ini akan selamanya, menghapus sedih dan rasa bersalah istri atas kematian Widia. Tuhan lebih mencintainya, lebih memilih surga untuk rumahnya sekarang.

Segera, segalanya berjalan sebagaimana jaman berputar, keceriaan dan kebahagiaan telah pulang ke rumah Budi. Ia berjanji, liburan minggu depan akan mengajak Asih berkunjung ke panti asuhan.

Budi tinggal membeli satu lagi kursi roda baru untuk diserahkan ke panti asuhan yang membutuhkan kemarin. Kursi roda lama akan dibersihkan. Ya, dibersihkan dari pandangan mata di halaman rumah, agar kenangan pahit pergi.

Terima kasih, ya Allah. Kau kembalikan keluargaku ceria dan bahagia!

(Tamat)

_________________

Pagak-Malang, 06-11-2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun