"Mas, mau pesan ikan bakar atau jalan-jalan dulu?", Asih mengalihkan pembicaraan. Budi cuma diam, menengok ke Asih yang berada di sebelahnya.
"Budi, Asih, kalian jalan-jalan dulu saja. Naik sepeda air biar bisa keliling danau, asyik lho!", ibu yang menjawab. Tapi juga sebuah saran agar suami-istri itu kembali harmonis melupakan kesedihannya.
"Ya, Bu. Kita jalan-jalan dulu saja, pesan makanan gampang nanti siang! Ayo Bu?", ajak Budi.
"Aku di sini saja, nunggu mobil. Kalau mau jalan mutar-mutar keliling danau, silakan!"
Cepat, Budi meraih tangan istrinya, diajak jalan bergandengan, menuruni beberapa anak tangga. Nun di bawah sana, berjajar perahu kecil dengan desain angsa, itulah yang disebut sepeda air.
Ada dua tempat duduk dilengkapi dua set pedal layaknya sepeda, fungsinya untuk dikayuh agar perahu bergerak, bisa maju dan mundur. Di bagian belakang dilengkapi tuas penggerak sirip, fungsinya mengubah arah gerak perahu, belok kiri atau kanan.
Di depan loket tiket, Budi ikut mengantri, sementara Asih sibuk memilih warna sepeda air yang cocok. Kok tidak ada yang warna biru, warna favorit mas Budi? Ia pesan kepada petugas, dikatakan menunggu sepeda air yang sedang berputar kembali.
Budi telah berhasil mendapatkan tiketnya, menemui Asih, menunggu bersama sepeda air yang dipesan. Ia mengutarakan niat menyumbangkan kursi roda di rumah ke panti asuhan itu. Asih terdiam, seperti ada yang berat.
Tapi demi melihat sepeda air pesanannya datang, Asih mengangguk setuju!
Budi memandu Asih turun ke geladak perahu perlahan, ia seperti agak takut dengan goyangan sepeda air itu. Setelah keduanya duduk, Budi mulai mengayuh, kayuhan pertama terasa berat. Uhh, hampir sepenuh tenaga Budi mendorong pedal agar berputar. Berat juga, pikirnya.
"Bantu kayuh, sayang!", kata Budi sambil tersenyum ke arah Asih. Yang diajak bicara hanya tertawa kecil. Aduh, usilnya mulai! Terlihat napas Budi memburu, terasa capai! Begitu sepeda air sudah berjalan, kayuhan berikutnya mulailah terasa ringan.