Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papaku Ternyata Orang yang Misterius (Lanjutan)

31 Januari 2018   13:06 Diperbarui: 31 Januari 2018   13:20 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hari ini siapa saja yang datang ke sini, Yo?" tanya Papa.

Kembali malam ini saya cuma berdua bersama Papa di rumah sakit. Keadaan Papa nampak semakin parah, badannya lemas dan mukanya semakin pucat.

"Tadi siang Pak Liem datang lagi. Dia minta kepastian, apa Papa bersedia dibawa ke Amerika buat berobat..."

"Hmmm, siapa lagi?"

Lalu saya menyebutkan tamu-tamu yang datang hari ini. Mama sudah membuatkan buku tamu sehingga semua termonitor siapa saja pengunjung yang datang menjenguk.

"Mereka itu siapa sih, Pa? Kok, banyak amat kenalan Papa yang kami nggak pernah liat?"

"Siapa yang mau kamu tanyakan?" sahut Papa balik bertanya.

"Kita mulai dengan Franz yang dari Papua. Apa hubungan dia dengan Papa?"

"Oh, Franz Rumaropen. Itu cerita sudah lama sekali. Waktu itu Papa masih bujangan dan belum kenal sama Mama kamu."

"Ceritanya bagaimana, Pa?"

"Waktu berkelana ke Papua dulu, hampir setahun Papa menginap di rumah bapaknya Franz. Namanya Thomas Rumaropen. Franz masih sangat kecil waktu itu. Mungkin baru berusia 5 tahun."

"Terus?"

"Papa nggak punya duit, jadi sebagai bayarannya, Papa membantu Bapaknya Franz di ladangnya. Mereka membudidayakan buah merah di sana."

"Oh begitu. Lalu kenapa Franz bilang Papa sangat berjasa?"

"Franz itu anak yang luar biasa pintar. Selama setahun di sana, Papa ngajarin dia membaca dan menulis. Mungkin gara-gara itu dia merasa berhutang budi."

"Kalau akupuntur dari Tibet itu siapa?"

"Namanya Damodar Pande. Sebetulnya dia bukan dari Tibet tapi dari Kathmandu, Nepal. Damodar membuka kursus akupuntur di Lasha, Tibet. Papa khusus datang ke Lasha buat belajar dari dia."

"Wah? Papa bisa akupuntur?" Surprise sekali saya mendengar Papa pernah belajar ilmu tusuk jarum di Tibet.

"Nggak bisa, Yo. Ternyata otak Papa terlalu bebal untuk mempelajari lebih dari 1000 titik jalan darah di tubuh manusia. Papa kurang telaten untuk mempelajari akupuntur."

"Terus bagaimana Damodar Pande dan Franz bisa tau Papa sakit? Dan bagaimana mereka bisa tau Papa dirawat di sini? Kenapa mereka mau datang ke Jakarta? Papua kan jauh sekali dari sini. Apalagi Tibet?" Dengan bertubi-tubi, pertanyaan saya terus memberondong.

Beberapa puluh detik dibutuhkan untuk berpikir sebelum Papa menjawab pertanyaan itu, "Persisnya bagaimana, Papa juga nggak tau. Tapi intinya, kalau kita sayang pada seseorang atau  pernah mendapat kebaikan dari orang lain, kita harus sering mendoakan orang itu."

Saya menunggu Papa melanjutkan omongannya.

"Jika kita setiap hari mendoakan orang, maka kita akan terhubung dengan orang tersebut. Mungkin kamu sulit untuk percaya tapi ketika dua orang sudah terhubung erat, maka jarak, waktu dan tempat sama sekali tidak memainkan peran lagi."

Ucapan Papa bukan main dalamnya. Ada faktor spiritual yang memang agak sulit diterangkan. Tapi kalimatnya barusan telah membuat saya tersadar, mungkin itu sebabnya Papa tiba-tiba menjemput di bandara. Itulah alasan kenapa dia berubah menjadi mesra. Ya, itulah jawaban yang saya cari-cari selama ini: Karena saya selalu mendoakannya setiap hari.

"Kalau Romo Loogman?" Saya lanjut bertanya seperti perempuan cemburuan yang sedang menyelidiki siapa saja teman-teman pacarnya.

"Romo Loogman itu seorang pendeta dari Belanda tapi sudah lama tinggal di Purworejo. Selain sebagai pendeta, dia juga seorang penyembuh alternatif. Dia mengembangkan metode Radiesthesi yaitu cara untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik dengan bantuan alat detektor, antara lain pendulum dan batang kayu."

"Terus bagaimana Papa bisa kenal dia?"

"Dulu kepala Papa sering pusing. Kalau pusingnya sudah kambuh akibatnya parah sekali. Dokter nggak berhasil menemukan penyebabnya. Akhirnya Papa coba berobat ke dia."

"Tau dari mana kok bisa-bisanya sampai berobat ke Purworejo?"

"Waktu itu Papa lagi di Yogya. Seorang teman bercerita tentang pendeta itu. Nah, mumpung lagi di Jawa Tengah, sekalian aja Papa datang ke sana."

"Papa sakit apa, menurut Romo itu?" tanya saya seperti nenek-nenek cerewet yang selalu ingin tau apa yang dilakukan cucunya.

"Kata Romo Loogman, di dalam tanah persis di bawah tempat tidur Papa, ada aliran air yang tidak beraturan sehingga membentuk enerji medan magnet negatif yang mengganggu sistem tubuh Papa. Lalu Romo memberi dua batang magnet yang harus di tanam di bawah tempat tidur untuk menetralisir enerji yang mengganggu tadi."

"Manjur magnetnya?"

"Romo Loogman orang hebat. Sejak magnet itu ditanam, penyakit pusing Papa tidak pernah datang lagi."

"Tapi kalau Papa cuma pasiennya, kok Romo itu mau-maunya datang ke sini untuk membesuk?"   

"Kami berdua jadi berteman karena ada proyek yang kita kerjakan bersama. Romo Loogman memiliki sebuah buku kuno dalam bahasa latin. Karena isinya bagus, Romo ingin menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dan dia meminta Papa untuk membantu dia."

"Papa bisa bahasa Latin?" Saya takjub bukan main. Saya yang sangat merasa dekat dengannya ternyata sama sekali tidak tau apa-apa tentang Ayah saya sendiri.

"Yah... Papa mengerti sedikit-sedikit. Tapi buat Romo itu sudah cukup membantu."

Entah kenapa saya jadi sedikit kesal sama Papa. Dan kekesalan itu membuahkan pertanyaan yang pasti tidak enak terdengar di telinga, "You know a lot of people, you know Mr. Liem. You cultivate red fruit in Papua, you can speak Latin, why I never know all of that?"

Dengan santainya Papa menjawab, "You never asked."

Kami terdiam, larut dengan pikiran masing-masing. Pikiran saya campur aduk tidak keruan. Semakin banyak mengetahui tentang Papa, saya merasa semakin tidak mengenalnya. Tapi di lain pihak saya semakin kagum. Kekaguman yang membuat saya semakin mencintai tapi sekaligus membuat merasa asing dengannya.

"Okay, back to Pak Liem? He is a tycoon, how do you know him?"

"Hmm, it's a long story."

"We have a long time, Papa!" kata saya terus mendesak.

"Kapan-kapan akan Papa ceritakan. Intinya Papa kebetulan pernah menyelamatkan anaknya. Makanya dia merasa berhutang budi pada Papa."

"Coba ceritakan yang lengkap dong, Pa. Jangan ada yang disembunyikan! Yoyo nggak suka kalau Papa merahasiakan sesuatu pada keluarganya sendiri!" Tanpa sadar saya berkata dengan suara ketus.

"Kamu kenapa, Yo? Kamu marah sama Papa?" tanyanya keheranan mendengar nada suara saya.

Tanpa menjawab pertanyaan Papa, saya pergi ke toilet untuk meredam emosi saya. Aduh, maafkan saya Tuhan. Papa sedang sakit keras, saya tidak boleh membuat masalah kalau tidak ingin membuat sakitnya bertambah parah. Di dalam toilet, saya berjuang keras untuk tidak menangis.

Menyadari bahwa banyak sekali hal yang tidak saya ketahui tentang Papa, membuat saya sedih. Rasanya keberadaan saya tidak cukup berarti baginya. Terlalu banyak orang-orang di luar sana yang mempunyai kisah-kisah hebat bersamanya. Dan saya, anak kandung yang merasa paling dekat dengan Papa di dunia ini, ternyata tidak mempunyai pengalaman yang cukup berarti bersamanya.

Inilah karakter perempuan yang tidak pernah bisa dimengerti oleh kaum lelaki. Kami perempuan terlalu sensitif dan selalu mempersoalkan seberapa besar eksistensi kami di mata lelaki yang dekat sama kita. Mungkin itu sebabnya para lelaki sering pening kepala melihat sikap kaum hawa.

Bersambung...  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun