Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papaku Ternyata Orang yang Misterius (Lanjutan)

31 Januari 2018   13:06 Diperbarui: 31 Januari 2018   13:20 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terus?"

"Papa nggak punya duit, jadi sebagai bayarannya, Papa membantu Bapaknya Franz di ladangnya. Mereka membudidayakan buah merah di sana."

"Oh begitu. Lalu kenapa Franz bilang Papa sangat berjasa?"

"Franz itu anak yang luar biasa pintar. Selama setahun di sana, Papa ngajarin dia membaca dan menulis. Mungkin gara-gara itu dia merasa berhutang budi."

"Kalau akupuntur dari Tibet itu siapa?"

"Namanya Damodar Pande. Sebetulnya dia bukan dari Tibet tapi dari Kathmandu, Nepal. Damodar membuka kursus akupuntur di Lasha, Tibet. Papa khusus datang ke Lasha buat belajar dari dia."

"Wah? Papa bisa akupuntur?" Surprise sekali saya mendengar Papa pernah belajar ilmu tusuk jarum di Tibet.

"Nggak bisa, Yo. Ternyata otak Papa terlalu bebal untuk mempelajari lebih dari 1000 titik jalan darah di tubuh manusia. Papa kurang telaten untuk mempelajari akupuntur."

"Terus bagaimana Damodar Pande dan Franz bisa tau Papa sakit? Dan bagaimana mereka bisa tau Papa dirawat di sini? Kenapa mereka mau datang ke Jakarta? Papua kan jauh sekali dari sini. Apalagi Tibet?" Dengan bertubi-tubi, pertanyaan saya terus memberondong.

Beberapa puluh detik dibutuhkan untuk berpikir sebelum Papa menjawab pertanyaan itu, "Persisnya bagaimana, Papa juga nggak tau. Tapi intinya, kalau kita sayang pada seseorang atau  pernah mendapat kebaikan dari orang lain, kita harus sering mendoakan orang itu."

Saya menunggu Papa melanjutkan omongannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun