"Kapan-kapan akan Papa ceritakan. Intinya Papa kebetulan pernah menyelamatkan anaknya. Makanya dia merasa berhutang budi pada Papa."
"Coba ceritakan yang lengkap dong, Pa. Jangan ada yang disembunyikan! Yoyo nggak suka kalau Papa merahasiakan sesuatu pada keluarganya sendiri!" Tanpa sadar saya berkata dengan suara ketus.
"Kamu kenapa, Yo? Kamu marah sama Papa?" tanyanya keheranan mendengar nada suara saya.
Tanpa menjawab pertanyaan Papa, saya pergi ke toilet untuk meredam emosi saya. Aduh, maafkan saya Tuhan. Papa sedang sakit keras, saya tidak boleh membuat masalah kalau tidak ingin membuat sakitnya bertambah parah. Di dalam toilet, saya berjuang keras untuk tidak menangis.
Menyadari bahwa banyak sekali hal yang tidak saya ketahui tentang Papa, membuat saya sedih. Rasanya keberadaan saya tidak cukup berarti baginya. Terlalu banyak orang-orang di luar sana yang mempunyai kisah-kisah hebat bersamanya. Dan saya, anak kandung yang merasa paling dekat dengan Papa di dunia ini, ternyata tidak mempunyai pengalaman yang cukup berarti bersamanya.
Inilah karakter perempuan yang tidak pernah bisa dimengerti oleh kaum lelaki. Kami perempuan terlalu sensitif dan selalu mempersoalkan seberapa besar eksistensi kami di mata lelaki yang dekat sama kita. Mungkin itu sebabnya para lelaki sering pening kepala melihat sikap kaum hawa.
Bersambung... Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H