Pesawat Garuda airbus akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta tepat jam 9 malam. Perjalanan dari Amsterdam -- Jakarta kali ini ditempuh lebih lama yaitu sekitar 18 jam karena ada keterlambatan. Waktu totalnya mungkin lebih dari itu karena belum termasuk setengah jam transit di Abu Dhabi.
Selama 3 minggu penuh saya mengantar turis Indonesia keliling Eropa ditambah dengan perjalanan 'me time' selama seminggu. Perjalanan cukup melelahkan dan kurang menyenangkan tapi endingnya sangat menyejukkan. Rute perjalanan saya, hampir selalu sama, yaitu menyusuri rute-rute standar seperti Belanda, Jerman, Perancis, Belgia, Italia, Spanyol  dan Swiss. Kadang-kadang jikalau ada permintaan khusus, tour bisa sampai London bahkan negara-negara Skandinavia dan Eropa Timur.
Sehabis mengambil bagasi, saya ke luar bandara dan mencari taxi Silver Bird untuk menuju pulang. Memang agak mahal tapi saya merasa lebih safe naik taxi itu.
"Yoyo!" Terdengar suara familiar memanggil.
Saya menengok ke arah suara itu dan melihat Papa saya di sana berdiri dengan wajah tersenyum.
"Hei! Papa ngapain di sini?" tanya saya terkejut lalu berlari menghambur dan memeluk Papa sepenuh rindu. Saya bertanya begitu karena Papa memang tidak pernah sekalipun menjemput saya. Buat Papa, anak-anaknya sudah besar dan mampu mengurus dirinya sendiri.
"Lho, kok ngapain? Ya, jemput anak Papa dong?" sahut Papa sambil menepuk-nepuk punggung saya.
"I can't believe you're here, Papa." Sejak kecil keluarga kami sering bicara campur aduk antara bahasa Indonesia dan Inggris. Memang begitulah cara Mama dan Papa melatih agar sejak kecil kami terbiasa berbahasa inggris. And believe me, cara itu sangat efektif.
Papa bukanlah orang yang ekspresif. Dia cenderung pendiam dan terkesan tidak perdulian. Dia lebih akrab dengan A Koh daripada dengan saya. Sejak kecil, saya suka cemburu melihat kedekatan mereka. Dulu Papa dan A Koh sering hiking, memancing, menyelam atau camping berdua. Setiap kali saya minta ikut, Papa selalu menjawab, "Temenin aja Mama kamu. Ini kegiatan laki-laki."
"Kamu kok kayaknya heran banget sih, ngeliat Papa jemput kamu?" Suara Papa membuyarkan lamunan.
"Ya, heran dong. Habis tumben-tumbenan banget? Udah gitu nggak pake bilang-bilang pula kalau mau jemput," kilah saya.
"Mungkin karena belakangan ini kamu sering sekali meninggalkan rumah. Jadi Papa suka kangen sama kamu, Yo," katanya sambil membantu membawa koper-koper saya lalu bersama-sama berjalan menuju tempat parkir.
"Papa kangen sama Yoyo?" Saya hampir tidak mempercayai telinga saya sendiri.
"Iya kangen banget. Kamu kenapa sih? Apa yang aneh kalo seorang Bapak kangen sama anaknya sendiri?"
"Yang bener, Pa? Ih, Yoyo seneng banget dengernya," kata saya sambil memeluknya lagi dan mencium pipinya berkali-kali. "I love you, Papaku."
Dan boleh percaya, boleh tidak? Papa saya mukanya langsung berubah merah karena malu, seakan-akan yang menciumnya bukanlah anak kandungnya sendiri. Tapi memang begitulah Papa. Dia cenderung introvert, beliau sama sekali tidak pandai mengekspresikan perasaannya. Dan di rumah kami, memang tidak ada kebiasaan mengucapkan 'I love you' dan mencium, kecuali saat hari besar seperti ulang tahun atau Imlek. Saya tadi mencium Papa secara refleks saking senengnya mengetahui dia kangen. Seumur hidup, Papa tidak pernah bilang kangen sama saya.
Tidak lama kemudian kami sudah duduk berdampingan dalam mobil. Papa menghidupkan mobil tuanya. Mobil Papa merknya Plymouth keluaran tahun 1956. Merek ini diproduksi oleh Chrysler Corporation, sebuah perusahaan otomotif Amerika. Dia memperoleh mobil tersebut dari Opa sebagai hadiah perkawinan ketika menikah dengan Mama.
Papa begitu mencintai mobil tuanya sehingga walaupun umurnya sudah tua sekali, kendaraan itu masih sangat terawat. Bodynya berwarna biru muda namun di bagian bawahnya sebagian berwarna putih. Atapnya juga berwarna putih. Setirnya ada di sebelah kiri seperti umumnya mobil-mobil Amerika. Di tengah roda ada dop yang fungsinya untuk menutup velg sekaligus mempercantik penampilannya. Lucunya, setiap kali melewati polisi tidur, dopnya suka terlepas akibat goncangan.
Ketika mobil memasuki daerah Tebet, hal itupun terjadi. Papa tidak melihat ada polisi tidur di depannya. Sebetulnya polisi tidur itu ukurannya tidak terlalu besar tapi sudutnya hampir membentuk 90 derajat. Saat Si Plymouth menabrak polisi tidur tersebut, dopnya langsung copot. Dan sialnya kali ini dop tersebut menggelinding jauh sekali meninggalkan mobil kami.
"Hihihihihi..." Saya tidak tahan menahan geli melihat kelakuan dop tersebut.
"Eh, kamu jangan ketawa. Ayo kita berlomba mengejar dop itu," kata Papa.
"Siapa takut? Papa pasti kalah!" kata saya sambil masih dilanda tawa.
Papa menghentikan mobil di pinggir jalan lalu dengan cepat kami berdua turun dan mengejar dop tersebut yang masih saja meluncur seakan sengaja hendak mengajak kami bermain.
"Ayo, Yo! Yang duluan mendapatkan dop itu, dialah pemenangnya. Dan yang kalah harus menyediakan makan malam di rumah," teriak Papa sambil berlari.
"Okay. Yoyo pasti menang!" kata saya lalu berlari secepat mungkin untuk mendapatkan dop bandel tersebut.
And the winner goes to....Yoyo! Ya, saya berhasil meraih dop itu duluan. Dengan senyum lebar penuh kemenangan, saya mengangkat dop itu tinggi-tinggi lalu membalik tubuh untuk memamerkannya pada Papa.
Papa terlihat sedang membungkuk dengan kedua telapak tangan bertumpu pada lututnya. Mukanya pucat dan napasnya tampak tersengal-sengal. Meskipun demikian, dia mengacungkan jempolnya sebagai tanda pengakuan bahwa saya telah berhasil mempecundanginya.
"Eh? Papa kenapa?" taya saya cemas.
"Papa udah tua nih, Yo. Masa baru lari segitu aja dada langsung sakit," kata Papa.
"Iya, Â Papa nggak boleh lari-lari lagi. Jantung Papa udah nggak kuat," kata saya sambil memapah Papa menuju mobil tuanya.
Untuk menghindari dop copot lagi, kami memutuskan untuk tidak memasang dop tersebut tapi menyimpannya di dalam bagasi mobil. Setelah kondisi napasnya normal kembali, kami pun kembali melanjutkan perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah, Mama dan A Koh masih terbangun. Keduanya sedang asyik nonton film yang diputar dari sebuah DVD. Judul filmnya 'Walking Dead', sebuah film horor tentang sekawanan zombie yang sudah menguasai bumi. Film ini serinya banyak dan A Koh membeli seluruh DVD-nya secara lengkap.
"Hai, Ma. Mama sehat-sehat aja, kan?" sapa saya sambl mencium kedua pipinya.
"Mama selalu baik-baik aja. How was the trip?"
"As usual, Ma. Nothing special," sahut saya sambil menghampiri A Koh.
 "Halo A Koh." Saya juga mencium pipi kakak saya ini.
"Lo bawa oleh-oleh nggak buat gue?" tanya A Koh tanpa memindahkan pandangannya dari layar TV.
"Tenang aja semua dapat oleh-oleh."
"Mama..!" Sekonyong-konyong Cindy ke luar dari kamar tidur dan menghambur memeluk saya.
"Ya, ampun Cindy. Kok, kamu belum tidur?" kata saya sambil memeluknya sepenuh erat.
Dari lahir sampai sekarang, jadwal tidur Cindy masih tidak teratur. Menurut Mama, begitu mengetahui malam ini saya akan pulang, Cindy menolak untuk tidur. Dia berkeras untuk menunggu kedatangan ibunya. Cindy kepribadiannya memang sangat keras. Kalau sudah mempunyai keinginan, tak seorang pun di dunia ini yang mampu mencegahnya.Â
Saya membuka koper lalu membagikan oleh-oleh buat semua anggota keluarga. Cindy tentu saja mendapat paling banyak. Oleh-oleh untuk Cindy hampir semuanya berupa mainan atau puzzle. Dia tidak pernah punya ketertarikan lain kecuali pada puzzle.
Ketika hendak memberi oleh-oleh berupa jaket pada Papa, saya baru menyadari ternyata dia tidak ada di ruang tamu.
Sambil membawa bungkusan oleh-oleh tersebut, saya pergi mencari Papa. Di ruang makan, saya melihat dia sedang mengatur meja.
"Ngapain ngatur meja? Emang Papa belum makan?"
"Papa ngatur meja buat kamu."
"Buat Yoyo?" Saya kaget mendengar kalimat Papa.
"Iya. Kan Papa kalah taruhan tadi."
"Hihihihi... kirain tadi Papa asal ngomong aja."
"Kalaupun Papa asal ngomong, Papa tetap akan menyiapkan makanan buat kamu."
"Kenapa begitu, Pa?"
"Ada 4 hal yang nggak bisa ditarik kembali, Yo. Pertama, kuda yang sudah dipecut oleh kusirnya. Kedua, anak panah yang sudah ditarik dari busurnya, ketiga, ludah yang sudah dibuang ke tanah...."
'...keempat, kata yang sudah terlanjur diucapkan." Papa dan saya berbarengan mengucapkan kalimat terakhir. Nasihat itu sering sekali dia ucapkan sehingga saya sudah hapal di luar kepala.
"Nah, itu udah tau. Menepati janji itu penting, bukan buat orang lain, tapi untuk diri sendiri. Kehormatan seseorang itu dinilai dari seberapa konsisten dia memegang kata-katanya sendiri."
Saya selalu kagum mendengar perkataan  Papa  Dia memang selalu memegang kata-katanya dan selalu konsisten dengan prinsip-prinsip yang dianutnya. Sedikit banyak pemahaman itu mempengaruhi sikap hidup saya sehari-hari.
"Anak Papa pasti perutnya lapar, kan?" Perkataan Papa membuyarkan lamunan.
"Tapi Yoyo sudah makan di pesawat tadi."
"Makanan di pesawat mana ada yang enak. Ayo makan sebelum keburu dingin."
Perasaan saya berkecamuk. Heran, takjub, dan berbagai macam perasaan lain campur aduk menjadi satu melihat perubahan sikap Papa. Sampai akhirnya saya berkata, "Okay, Yoyo mau  makan, dengan syarat kita makan sama-sama."
"Okay!" katanya sambil menjulurkan telapak tangan mengajak toss.
Tapi untuk saya, toss saja tidak cukup. Saya peluk Papa dan cium pipinya berkali-kali sambil berkata, "I love you, Papaku." Dan kembali muka Papa memerah karena malu.
Mama dan A Koh sudah asyik kembali dengan film Walking Dead favorit mereka. Cindy sudah tenggelam dalam tumpukan mainan ditemani oleh Mbaknya. Dan untuk pertama kali dalam hidup, saya makan malam berdua saja dengan Papa.
Sambil makan, Papa meminta saya untuk menceritakan perjalanan selama di Eropa. Dan untuk pertama kali pula, saya bercerita semua yang terjadi tanpa ada sedikitpun yang saya sembunyikan. Termasuk peristiwa keributan dengan Ibu Ratna, anggota DPR, yang sudah saya ceritakan di SINI.
Sejenak Papa terdiam. Setelah menghela napas panjang, dia berkata, "Mulai sekarang kamu harus mendoakan Torro supaya dia selalu sehat, sukses dan hidup bahagia."
"I will. He is a good guy. I like him a lot,"kata saya.
"And about Ibu Ratna...."
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, saya langsung memotong,"Stop mentioning that name, Papa. I hate her!"
"Don't say that, Yoyo! Kamu nggak boleh ngomong begitu," kata Papa dengan suara lembut.
"Emang kenapa, Pa?" tanya saya.
Papa tersenyum lalu mengusap-usap pipi saya sambil berkata, "When you forgive, you heal. When you let it go, you grow."
Sejuk sekali hati ini mendengar kalimat indah tersebut. Papa masih menatap saya dengan senyumannya yang misterius. Saya membalas memandang Papa dengan kagum seperti ABG yang sedang tergila-gila pada penyanyi rocker pujaannya.Â
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H