Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bercumbu di Montmartre

22 Oktober 2017   02:23 Diperbarui: 22 Oktober 2017   05:30 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monmartre, Pasar Seniman. Sumber foto https://id.pinterest.com/pin/138204282294947688/

Dulu saya pernah kursus bahasa perancis di Centre culturel Francais, Jl. Salemba No. 25 Jakarta. Ketika itu, buku yang dipakai berkisah tentang sepasang kekasih bernama bernama Pierre dan Mireille. Pierre tinggal di La place de la bastille sementara rumah Mireille di 6 Rue, Monmartre. Semua murid sangat terkesan dengan kisah cinta mereka sehingga setiap ada yang pergi ke Paris mereka sengaja datang untuk mencari tau di mana rumah tempat tinggal pasangan itu.

Waktu pertama kali ke Perancis, saya juga melakukan hal yang sama. Setelah sampai di sana ternyata rumah Pierre dan Mireille cuma rekaan saja. Place de la Bastille adalah sebuah alun-alun di mana terdapat sebuah penjara bersejarah. Sementara rumah Mireille? 

Sekarang ini, saya sedang berada di Montmartre, sebuah distrik yang berada di atas bukit yang juga bernama Monmartre. Berbeda dengan pusat kota Paris, di sini semuanya jauh dari kesan metropolitan. Suasananya terasa sangat klasik, antik dan romantis. 

Saya berjalan-jalan sendirian di Place du Tetre. Place du Tetre adalah sebuah alun-alun kecil yang mengingatkan saya pada Pasar Seni Ancol. Di sini banyak sekali pelukis yang membuka stand dan memajang lukisannya untuk dijual pada turis. Banyak orang  menyebut tempat ini sebagai Kampung Seniman. Hal ini bisa dimaklumi, konon katanya banyak seniman-seniman besar pernah tinggal di sini, antara lain Pablo Picasso, Vincent Van Gogh, Salvador Dali dan Renoir.

Di sebuah sudut, saya melihat seorang perempuan sedang diwawancara oleh reporter televisi, entah dari televisi mana. Melihat perempuan eksotis yang sedang diinterview tersebut saya terpaku, rasanya saya pernah mengenalnya. Setelah berpikir sejenak, saya menyadari bahwa perempuan cantik itu adalah Anggun, seorang penyanyi Indonesia yang sekarang sudah menjadi warga negara Perancis.

Melihat orang yang mewawancara seperti orang melayu, saya berkesimpulan bahwa reporter itu juga orang Indonesia dan besar kemungkinan berasal dari stasiun TV Indonesia juga. Dari kejauhan saya memotret mereka lalu melangkah meninggalkan tempat itu.

Montmartre adalah tempat yang menyenangkan untuk berjalan-jalan. Di sekitar alun-alun terdapat bangunan tua, resto dan cafe yang bergaya klasik. Semuanya terlihat artistik melengkapi julukan Place Du Tetre sebagai Kampung Seniman. 

"Mademoiselle!" Terdengar suara memanggil.

Saya menengok ke arah suara tadi dan melihat seorang anak muda memandang ke arah saya sambil tersenyum. Di depannya terdapat sebuah kanvas dengan peralatan melukis lainnya. 

"Moi?" tanya saya sambil menunjuk diri sendiri.

"Oui. Vous, Mademoiselle?" katanya lalu berjalan menghampiri saya.

"Qu'est-ce qu'il y a, Monsieur?" tanya saya.

"Voulez vous m'aider, Mademoiselle?" 

"Oui. Aide quoi?" Saya balik bertanya.

Orang itu tersenyum manis sekali lalu menyodorkan tangan mengajak salaman, "Je m'appelle Philippe. Tu t'appelle comment?"

"Yoyo," sahut saya sambil menjabat tangannya.

Wah? Cepat sekali dia mengganti istilah 'Vous' menjadi 'Tu', pikir  saya. Dalam bahasa Perancis biasanya kita menggunakan kata 'Vous' (Anda) pada orang yang dihormati atau tidak dikenal. Sedangkan 'Tu' (kamu)  hanya digunakan pada orang yang telah kita kenal baik atau kalau kita berbicara dengan anak kecil.

Philippe ternyata bukan orang Perancis. Dia adalah mahasiswa asing yang berasal dari Swedia dan menuntut ilmu di Universitas Sorbonne jurusan Design Art. Karena bahasa Perancisnya tidak sebaik saya, dia meminta untuk berbahasa Inggris  dengannya. Dan sejak detik itu kami berbicara campur aduk antara bahasa Perancis dan bahasa Pangeran Charles.

Dosennya Philippe sedang memberi tugas pada seluruh mahasiswanya untuk melukis obyek manusia. Sudah tiga hari dia berburu obyek tapi belum mendapat yang sesuai dengan  keinginannya.

Begitu melihat saya, dia langsung tertarik. Katanya penampilan saya unik dibandingkan orang yang lain. Karena itulah  dia memanggil saya dan menanyakan apakah saya bersedia untuk menjadi modelnya. Sebetulnya saya tidak berkeberatan untuk dilukis tapi saya bukan orang yang tabah untuk berpose berjam-jam tanpa bergerak, jadi dengan halus saya menolak.

Tapi orang ini ternyata pantang menyerah. Dia merayu saya lagi, "Atau begini saja, Yoyo. Kamu saya foto saja sebentar. Jadi nanti saya melukis kamu berdasarkan hasil foto yang  saya jepret. Bagaimana?"

Saya memandang mahasiswa ini dengan seksama. Rambutnya yang pirang sedikit acak-acakan. Wajahnya lumayan ganteng dan berkaca mata. Tinggi badannya mungkin sekitar 178 cm dengan  berat seimbang. Secara keseluruhan, penampilannya mirip dengan  Daniel  Jacob Radcliffe, pemeran Harry Potter waktu masih berusia 12 tahun.

"Okay. Kalo difoto aja, boleh. Nggak lama, kan?" kata saya.

"Saya jamin nggak lama. Okay, kita foto sekarang aja ya?"

Walaupun cuma difoto, ternyata sesi itu memakan waktu yang lumayan lama. Philippe memberikan saya beberapa bangku mini untuk setiap pose. Dia juga menyiapkan scarf, topi, pita dan payung berwarna warni sebagai tambahan aksesori.

Philippe mengambil payung lalu menyuruh saya untuk berpose. Dia berjalan mundur menjauhi saya lalu membuat bentuk  segi empat dengan cara merangkai jari-jari kedua tangannya untuk  mengambil angle yang tepat. 

Klik! Selesai satu foto.

Setelah itu, dia memakaikan scarf  di leher saya dan mematut-matut scarf tersebut dengan berbagai macam lipatan. Seperti tadi, dia berjalan mundur lalu membuat bentuk segi empat dengan jari-jarinya lalu  menghampiri saya lagi. Sejenak dia  membetulkan scarf sedikit ke kiri lalu mencium pipi saya 'Cup' sambil berkata, "Perfect!"

Pipi saya langsung memerah karena malu tapi Si Fotografer terus bekerja dengan cuek. Sesi foto dilanjutkan dengan bangku lipat warna-warni. Sebelum  difoto, dia memakaikan sebuah topi baret berwarna merah.

Cup! Sekali lagi dia mencium pipi saya diikuti sebuah kata, "Perfect!"

Sesi terakhir, dia membuka topi lalu membuka ikat rambut yang saya pakai. Dari tas kecilnya dia mengeluarkan sebuah sisir lalu menyisiri rambut saya ke arah muka sehingga sebagian rambut menutupi sebelah mata.

Dan kejadian terus berulang. Dia berjalan mundur lagi, membuat bentuk segi empat dengan merangkai jari lalu menghampiri saya lagi. 

Sesampainya di dekat saya, sekonyong-konyong Philippe memeluk dan  mencium saya di bibir. Seperti peristiwa yang sudah-sudah, saya hanya terdiam dan sama sekali tidak mengelak, tidak merespon tapi juga tidak  melakukan perlawanan. 

Philippe melepaskan ciumannya namun tangannya masih memeluk dengan erat. Dan saya masih terduduk dengan napas menderu-deru. 

"I am sorry, Yoyo. C'est plus fort que moi," katanya lalu mencium saya lagi. 

Paris adalah Kota Cinta. Sejak dulu, saya merasa berciuman di ruang terbuka rasanya jauh lebih enak daripada di dalam ruangan. Dan di Eropa kita bisa ciuman seenaknya di mana saja tanpa ada satu pun orang yang peduli. 

Entah karena terhipnotis oleh romantisme Kota Paris, entah karena ciumannya menyenangkan atau mungkin juga karena dia tampan, tanpa terasa kali ini tangan saya balas memeluk dan bibir saya memberi reaksi atas ciumannya. Kami berciuman lama dan lama sekali. Tingkah laku Philippe sangat menyenangkan sehingga membuat saya dengan cepat merasa nyaman.

Sesi foto pun selesai. Dan saya merasa sedikit hampa. Saya ingin sesi foto ini berlangsung lebih lama lagi agar Philippe bisa mencium saya terus-menerus.

"Yoyo, saya tidak bisa membayar kamu. Kamu kan tau keuangan mahasiswa tidak seberapa. Tapi sebagai gantinya, bagaimana kalau kamu saya traktir makan malam di cafe ujung sana. Makanannya enak dan tempatnya menyenangkan dan harganya bersahabat.

Mendengar kata makan malam, perut saya langsung bergolak. Saya melihat jam dan ternyata memang sudah hampir jam 9 malam. Di musim panas seperti ini, jam 9 malam di Paris masih terang benderang seperti jam 3 sore di Jakarta. Makanya kalau di Eropa saya sering lupa makan.

Promosi Philippe tentang resto yang dia rekomendasikan ternyata bukan bualan belaka. Makanan di sini sangat enak dan suasananya sangat menyenangkan. Owner dari resto tersebut bernama Jacques Pepin. Selain pandai memasak, dia juga piawai memainkan akordion. Seperti pengamen jalanan, dia mendatangi semua pengunjung dari meja ke meja dan bermain akordion untuk menghibur tamunya. 

Saat tiba di meja kami, Si Pemain Akordion memainkan lagu Romeo and Juliet. Wow! Saya senang sekali  mendengarnya karena Romeo and Juliet adalah salah satu buku karya  William Shakespeare yang saya sukai selain Hamlet dan Macbeth. Buku itu bercerita tentang kisah pasangan yang jatuh cinta tapi terhalang karena kedua orangtuanya bermusuhan.  

Jacques memainkan lagu Romeo And  Juliet versi film yang dibintangi oleh Olivia Hussey. Begitu indah permainannya sehingga saya merasa perlu merogoh kantong untuk memberi  tips. Jacques meraih tangan dan mencium punggung tangan namun dia tidak  mengambil uang tips pemberian saya.

"Merci, mademoiselle. Tepukan tangan Anda jauh lebih berharga dari nilai uang berapa pun," katanya menolak dengan senyum lebar.

"Ah bon? Merci Jacques. Merci beaucoup," kata saya. Lalu Jacques meninggalkan kami berdua.

Pepatah kuno Cina mengatakan; Bertemu dengan teman yang cocok, 1000 kati arak rasanya tidak pernah cukup. Sebaliknya bertemu dengan teman yang tidak cocok, satu cawan arak saja rasanya sudah kebanyakan. Itulah  yang saya alami sekarang bersama Philippe. Tanpa terasa resto sudah mau tutup. Si Owner dibantu staffnya sudah mulai beberes. Dan saya segera meminta bill.

Rupanya Philippe tidak bercanda waktu mengatakan bahwa keuangan mahasiswa sangat terbatas. Ketika bill datang, uang Philippe tidak cukup sehingga saya mengambil alih kewajibannya dan membayar bill tersebut.

"Maaf ya , Yoyo. Saya jadi malu sekali sama kamu," kata Philippe dengan jujur.

"Hihihi nggak apa-apa, Phil. Saya seneng banget kamu mengajak saya ke tempat ini," sahut saya membesarkan jiwanya.

"Saya nggak mau berhutang. Bagaimana kalau kamu datang ke studio saya lalu kami pilih lukisan yang mana saja sebagai pengganti bill ini," kata  Philippe.

"Nggak usah repot-repot. Saya nggak masalah kok bayarin kamu."

"Nggak bisa. Kamu harus mengambil minimal satu lukisan saya, kalau kamu  menolak, saya nggak akan bisa tidur dilanda rasa bersalah," desak  mahasiswa ini.

"No, Philippe. It's late, I have to go home. Sorry," kata saya tegas.

"Do you think I can see you again?" tanya Philippe dengan suara memelas.

Saya menghampiri Philippe dan mencium pipinya sambil berkata, "Let God make the plan for us. I can't promise anything."

Philippe memeluk dan mencium saya lagi di bibir. Ciumannya halus tanpa kesan memaksa sehingga lagi-lagi membuat saya nyaman.

Dengan menggunakan taksi saya kembali ke hotel sendirian. Di dalam  taksi saya masih tersenyum-senyum sendiri. Ah...Montmartre memang tempat  yang sangat menyenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun