Mohon tunggu...
Alyssa Qatrunnada
Alyssa Qatrunnada Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Hobi menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janji Kita Dulu

26 Mei 2024   12:13 Diperbarui: 26 Mei 2024   12:17 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketenangan di suatu kompleks perumahan tiba-tiba hilang di saat dua murid sekolah yang membuat keributan karena akan terlambat ke sekolah.

"Tunggu aku, Fin!" sebut salah satu di antara kedua murid itu, namanya Noah. Finn, sahabatnya yang sudah berada jauh di depan itu hanya terkikik dan mengayuh sepedanya semakin kencang. 

"Noy! Kayuh sepedanya yang kenceng dong!" balas murid bernama Finn itu. Finn memang sering memanggilnya Noy, katanya sih biar mudah dipanggil. 

Sifat mereka berdua memang bertolak belakang. Finn terkenal ceria dan memiliki banyak teman, istilahnya dia adalah mood-maker di kelas. Sedangkan Noah, ia hanya anak introvert dan pemalu yang hanya mengikuti Noah kemana-mana.

Karena perbedaan itu, bukankah mereka  berdua akan saling melengkapi? Lukisan akan terasa hambar jika hanya memiliki satu warna, maka para seniman akan memberi warna yang bertolak belakang untuk memperindah lukisannya, istilahnya "estetika". Finn akan membantu Noah dalam berkomunikasi dengan teman-temannya, sedangkan Noah akan membantu Finn dalam tugas-tugas sekolahnya.

Beruntungnya, saat mereka tiba di sekolah. Pagar sekolah masih terbuka yang berarti mereka tidak terlambat, atau mungkin 'hampir terlambat'. Mereka segera masuk ke kelas dan duduk di kursi mereka masing-masing, kebetulan mereka berdua duduk sebangku. Tak lama kemudian, bel pun berbunyi dan setelah itu Bu Sarah pun masuk ke dalam kelas mereka. Pelajaran pun dimulai seperti biasa.

"Teeettttt!!!!!" Bel istirahat pun berbunyi.

Bu Sarah pun segera menutup pelajarannya lalu pergi meninggalkan kelas. Finn segera berdiri untuk bersiap ke kantin. Memang kantin adalah tempat favoritnya, banyak makanan yang bisa dibeli di sana, es krim, jeli, gorengan, dan lain-lain. 

"Noy, ke kantin yuk.." tidak lupa ia mengajak sahabat karibnya, tetapi Noah hanya menggeleng.

"Eh? Kok enggak?" Tanya Finn penasaran.

"Aku lagi puasa, Fin. Kamu duluan aja," jawab Noah.

"Oh.." balas Finn, lalu ia kembali duduk di sebelah Noah. Noah hanya bisa menatapnya dengan bingung, kenapa sahabatnya itu kembali duduk?

"Gak jadi ke kantinnya?" 

"Gak jadi. Kasian kalo kamu cuma ngeliat aku makan-makan, tapi kamu sendiri lagi puasa."

"Aku gak apa-apa kok. Udah! Pergi sana, daripada nanti kelaparan," paksa Noah, rasanya gak enak juga kalau Finn gak jadi makan gara-gara dia.

"Enggakk, aku gak mauu!"

Noah akhirnya menyerah. Sulit memaksa orang yang keras kepala seperti Finn, apa harus dipanasin pakai air panas dulu biar gak keras kepala begini? Pikirannya pun berdalih pada buku gambar yang dikeluarkan Finn dari tas kuningnya.

"Ngegambar lagi?" tanya Noah sambil melihat Finn yang sedang menggambar di buku gambarnya itu.

"Iya dong! Aku kan pengen jadi seniman."

Menjadi seniman, merupakan impian Finn sejak kecil. Noah teringat saat kelas 4 SD, Finn menceritakan semua impiannya, termasuk tentang keinginannya menjadi seniman terkenal.

"Seniman itu yang kerjanya melukis di jalan?"

"Melukis sih iya, tapi gak selalu di jalan. Impian aku itu jadi seniman terkenal!. Yang lukisannya seharga jutaan dollar itu lho.. terus nanti buka galeri seni di Paris, Perancis!"

        

"Ooh.. nanti kalau udah sukses buka galeri di Paris, jangan lupa ajak aku jalan-jalan keliling Paris ya? Janji?"

"Oke! Janji!"

                               *    *    *    *  

        

"Finn, lihat buku gambarnya dong.."

Finn lalu mengangguk dan memberikan buku gambarnya itu pada sahabat karibnya. 

"Bagaimana?" tanya Finn.

Ia melihat sahabatnya itu terlihat menilai gambarnya dengan serius, lalu menganggukkan kepalanya. Finn hanya terkikik melihat tingkah sahabatnya itu. Setelah dirasa telah meneliti semua gambarnya itu, Noah menoleh ke arahnya dengan wajah yang tentu saja sangat serius.

"Boleh ku bilang sesuatu?" tanya Noah tiba-tiba.

"Silahkan, Nyonya," balas Finn bercanda. Kemudian wajah serius Noah mereda dan yang terbentuk hanyalah sebuah senyuman.

"Gambarmu makin bagus, serius! Kayaknya kamu banyak latihan ya akhir-akhir ini? Soalnya banyak gambar yang belum pernah kulihat.."

Finn mengacungkan jempolnya dengan senyum bangga. Ya, benar. Dia banyak latihan akhir-akhir ini. Meski ia memiliki cita-cita sebagai seniman, sebenarnya ia tidak memiliki bakat dalam bidang itu. Hal itu yang membuktikan bahwa karya-karya seninya murni hasil kerja kerasnya sendiri. Fakta itu juga yang menjadi salah satu alasan kenapa Noah sangat bangga memiliki sahabat karib seperti Finn.

Finn adalah orang yang tekun dan pekerja keras, itu juga yang menjadi pedoman bagi Noah yang memiliki cita-cita menjadi dokter. Dia juga harus tekun belajar mulai hari ini, tidak ingin kalah dari sahabatnya itu.

---------------------------------------------------------

"Finn, bisa bantu cariin Nicco gak? Dari tadi mama cari gak ketemu..." pinta seorang wanita yang berumur 30-an awal itu. Dia adalah ibunya Finn yang biasa dikenal dengan nama Ellen, Nicco yang disebut ibunya itu merupakan adik Finn yang umurnya berbeda 4 tahun dengan Finn. 

"Oke, ma" 

Finn langsung mencari adiknya itu di bengkel ayahnya. Ia tahu, adiknya itu suka bermain sendirian di sana.

                   

"Coco..., kamu dimana? Mama cariin tuh!" Finn lalu mengitari bengkel dan masih juga belum menemukan adik laki-lakinya itu. Bengkel ayahnya memang lumayan luas, ukurannya hampir setengah besarnya dari rumah keluarga Finn. Jadi membutuhkan waktu beberapa menit untuk mencarinya, apalagi banyaknya barang di bengkel itu membuat semakin susahnya Finn untuk mencari adik laki-lakinya.

"Aneh, kok gak ada ya? Paman yang sering membantu ayah di bengkel juga gak ada, tumben.."

Karena terlalu fokus mencari. Finn pun tidak menyadari, bahwa ada suara derit aneh yang bersumber dari atas tempat ia berdiri. Tidak hanya derit, benda yang menjadi sumber suara derit dan berjarak 3 meter itu bahkan perlahan mulai meluncur ke arah nya.

Ayah Finn, Alan. Bersama dengan temannya Leo, sedang bekerja sama untuk mengangkat satu batang besi yang panjangnya sekitar 2 meter itu. Ibu Finn yang melihat itu langsung menghampiri suaminya, penasaran dengan apa yang dibawa suaminya itu.

"Lan, batang besi itu buat apa?"

"Ada pesanan dari pelanggan dan membutuhkan batang besi ini, jadi sebaiknya anak-anak tidak ke bengkel hari ini karena berbahaya. Oh ya, dimana Finn dan Nicco?"

Ellen terdiam untuk beberapa saat, Alan mengatakan untuk tidak ke bengkel hari ini sedangkan ia jelas-jelas melihat Finn masuk ke dalam bengkel untuk mencari Nicco di bengkel. Alan yang menyadari raut wajah istrinya yang berubah drastis membuatnya penasaran apa yang terjadi dengan istrinya itu.

"Len? Kenapa?"

"Alan.., tadi Finn masuk ke bengkel buat nyari-" belum selesai Ellen menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras yang berasal dari bengkel. Tanpa aba-aba apapun, Alan langsung menurunkan batang besi yang diangkatnya dan segera berlari ke arah bengkel. Memastikan tidak terjadi sesuatu yang tidak-tidak pada anak kesayangannya itu.

Bagaimana bisa ia tidak panik dan memucat setelah melihat anaknya, Finn terhimpit dengan batang besi yang tadi ia masukkan lebih awal ke dalam bengkel. Tidak, lebih tepatnya tangan Finn terhimpit oleh batang besi itu. Keadaan Finn? Ia tidak menangis, mungkin karena shock dia hanya terdiam melihat tangan kanannya yang terhimpit batang besi itu yang bahkan mulai membiru. 

"Pa.. tangan Finn.."

---------------------------------------------------------      

Keringat dingin, nafas tersengal-sengal, jantung yang berdegup kencang. Itu yang dirasakan Noah saat ini. Dia mengayuh sepedanya dengan kencang, kencang sekali bahkan dia sempat hampir terpeleset sebelumnya. 

Pikirannya kacau, kenapa? Karena dia tidak percaya akan mendapat kabar buruk hari ini. Sahabatnya, Finn. Baru saja mengalami kecelakaan di bengkel tempat ayahnya biasa bekerja. Dia dengar informasi itu dari ibunya Finn tadi sore, setelah dia pulang dari kursus bahasa inggrisnya. 

Setelah mendengar itu, tentu saja dia membalikkan sepedanya dan segera mengayuhnya mengarah ke arah rumah sakit tempat Finn dirawat. Ia juga mengetahui itu dari ibunya Finn.

"Finn, aku yakin dia baik-baik saja.. pasti bukan kecelakaan besar. Dia pasti baik-baik saja.." batin Noah, berusaha meyakinkan pikirannya. 

Tak lama kemudian, ia sampai ke rumah sakit itu dan memarkirkan sepedanya di parkiran khusus sepeda. Meski dia tahu tubuhnya masih terasa lelah karena mengayuh sepeda tadi, tapi ia memaksanya berjalan untuk tiba ke tempat Finn berada. Dia harus memastikan dulu, bahwa sahabatnya baik-baik saja.

"Finn!" teriakan itu otomatis membuat semua orang yang berada di ruangan itu seketika menoleh, kecuali seseorang yang sedang terbaring di ranjang. Noah menoleh ke sekitar ruangan itu, ada ibu dan ayahnya Finn, dan adiknya Finn, Nicco. Juga beberapa kenalan lainnya.

Noah berjalan perlahan ke arah seseorang yang terbaring di ranjang itu, yang sudah pasti adalah Finn. Awalnya dia ragu dan malah menoleh ke arah Ellen, ibunya Finn.

"Nte, Finn-nya gak pa-pa?" tanya Noah, khawatir. Ellen terdiam beberapa saat sambil menoleh ke arah anaknya itu, lalu menoleh kembali ke arah Noah dengan senyum tipis namun terlihat sedikit sedih.

"Gak pa-pa kok, Noah. Tulangnya retak sedikit, tapi kata dokter itu masih bisa diobati." mendengar itu, Noah pun mengangguk. 

Akhirnya Noah memberanikan diri untuk menghampiri sahabatnya itu. Finn, sedang tertidur. Syukurlah, setidaknya dia tidak sedang kesakitan dan bahkan sempat untuk tidur.

"Noah, kami ke luar sebentar ya." Kata Ellen, ia pamit karena ingin mengantarkan para kenalan lainnya yang akan pulang.

Setelah semua orang pergi, hanya tersisa Noah dan Finn di sana. Noah hanya bisa duduk dan menatap sahabatnya yang tertidur. Ia pun menyandarkan wajahnya di telapak tangannya.

"Hahh..., untunglah. Kok bisa kecelakaan sih.." gumam Noah.

Tangan yang biasanya ia lihat selalu membuat suatu karya itu, sekarang hanya tergeletak lemas dibaluti perban di sekitarnya. Pasti sakit, tentu saja. Dia hanya bisa berharap sahabatnya itu cepat sembuh, hingga bisa melakukan hobinya dan tersenyum lagi. Seperti hari-hari biasanya.

"Fin, mau minuman yang mana?" tanya Noah seraya menyodorkan kantong plastik yang berisi minuman-minuman yang baru saja dibelinya. Dia beli banyak karena rencananya akan dibagi-bagikan pada keluarga Finn nantinya.

"Air putih, dong.." Noah pun memberikan sebotol air Akua dari kantong plastiknya lalu memberikannya pada Finn.

"Makasih" sebut Finn sambil tersenyum, dibalas dengan anggukan Noah.

Saat ini mereka sedang duduk di sofa ruang rawat Finn. Noah menjenguk Finn seperti biasa, menemani sahabatnya itu. Mereka memang sudah sepaket. Dimana ada Finn, maka di situpun akan ada Noah.

"Noy.. menurutmu aku mungkin gak? Jadi seniman?" tanya Finn tiba-tiba, jarang baginya untuk berbicara serius seperti ini. Tidak seperti Finn biasanya.

"Iyalah, kamu kan udah latihan selama ini? Kenapa?" 

"Gak.., cuma aku merasa gambarku gak meningkat akhir-akhir ini.. apalagi, tanganku sekarang patah. Jadi gak bisa latihan deh.." Noah lalu menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu.

"Siapa bilang gak meningkat, Fin? Lagian hebat loh, kamu itu latihannya dari nol. Dari yang awalnya gak bisa ngegambar sama sekali, jadi bisa. Apalagi hasilnya bagus-bagus semua.." puji Noah. Mungkin karena sedang sakit, Finn jadi suka overthinking hari ini. Jadi dia tidak boleh berhenti mendukung sahabatnya kali ini, tentu saja dengan segenap hati.

"Tapi tetap aja, Noy..." keluh Finn.

"Finn.., jangan putus semangat gitu dong. Kemana sahabatku yang ceria itu??" Noah sekali lagi menepuk-nepuk punggung Finn, memang begitu kebiasaan khasnya saat menyemangati orang lain.

Noahpun mengecek jam tangannya, sudah larut dan saatnya pulang. Meski dia masih ingin menemani sahabatnya hari ini, tapi juga harus pulang karena ibunya melarangnya pergi-pergi hingga terlalu larut. Lagipula mereka masih siswa SMP.

"Finn, aku pulang dulu ya?" 

"Oke..."

Finn lalu memperhatikan Noah yang sedang merapikan barang-barangnya dan meletakkan kantong plastik berisi minuman-minuman tadi di atas meja makan. Sebelum Noah pergi, ia melambaikan tangan dulu ke arah Finn lalu meninggalkan ruangan itu. Sekarang tinggal Finn sendirian di sana.

Finn menghela napas seraya mengeluarkan ponselnya dari kantong sakunya, memeriksa obrolan-obrolan yang belum sempat ia baca karena sakit. Namun ada yang membuatnya terdiam untuk beberapa saat, obrolan di dalam grup kelasnya.

"...a.. apa ini?"

Esoknya di sekolah, Noah duduk di kursinya dan mengeluarkan buku paketnya. Sejak beberapa hari yang lalu, ia bertekad untuk mulai rajin belajar agar dapat menggapai cita-citanya menjadi dokter. Fokusnya buyar saat seorang teman sekelasnya menepuk bahunya dari belakang, dia adalah Cia.

"Cia?" Cia bukanlah teman dekat Noah, bahkan mereka jarang berbicara satu sama lain. Cia juga memiliki hobi menggambar seperti Finn, Noah mengetahui hal itu karena dia selalu memamerkan gambar-gambarnya di kelas.

"Ada apa?" Tanya Noah dengan ekspresi bingung.

"Kayaknya kamu belum liat chat di grup kelas ya?" Sebut Cia, anehnya dia menyebutkan hal itu dengan nada senang.

"Grup kelas..?" setelah mendengar hal itu dia langsung mengambil ponselnya, firasatnya aneh. Noah memang tipe orang yang jarang membaca obrolan di grup, dia terlalu sibuk untuk hal lain seperti belajar dan lain-lain.

Sesuai firasatnya tadi, isi chat tersebut sama sekali tidak menyenangkan.

@chizz : "Finn bukannya masuh RS ya? Gara-gara tangannya luka"

@vvi22 : "Tangan kanannya kan? Ngeri sih.. bakal masih bisa ngambar dia gak ya?"

@loenny8 : "Lagian gambarnya gak sebagus itu juga.."

@loenny8 : "mendingan gambarnya Cia"

@ciaaiaia : "masa sih??"

@jaejaejae11 : "yang setuju sama @loenny8 comment 1!!"

@abcd123 : "gambar Finn juga agak.. gimana gitu, gak tau deh"

@ddix : "heh, kalian gak boleh bicara gitu tentang Finn!!"

Noah akhirnya membaca semua chatting-an itu, benar-benar.. menyakitkan. Padahal mereka terlihat akrab dengan Finn sebelumnya, padahal mereka sesama teman sekelas, bahkan mereka juga sering saling berbagi makan siang. Kenapa seseorang berubah begitu cepat? Bukannya mendukung Finn yang sedang dirawat, mereka malah melakukan hal seperti ini.

"Bukan aku yang mulai ya... tapi jujur aja, kalau dibanding gambarnya Finn. Gambarku lumayan lah~" celoteh Cia.

"Kamu gak boleh bilang gitu, Cia.." balas Noah, dari nadanya sudah jelas Noah sudah mulai kesal. Dia memang kurang suka dengan kepribadian Cia, sombong, dan suka merendahkan orang lain. 

"Aku cuma bilang kenyataannya, kok. Nanti dulu ya, Buk Mera juga udah datang," balas Cia santai.

Noah hanya bisa menatap Cia kembali ke tempat duduknya. Dia kesal, kesal pada semua orang yang merendahkan Finn. Karena dia tahu semua perjuangan Finn selama ini, dia tahu Finn serius dengan cita-citanya. 

Namun dia teringat kata-kata ayahnya, marah bukanlah cara untuk menghadapi masalah. Dia akan selalu berpegang teguh dengan kata-kata itu, tidak membiarkan amarahnya mengendalikannya.

"Finn gimana ya.., dia pasti udah baca obrolan itu.."

---------------------------------------------------------

Setelah pulang dari les, Noah langsung pergi menuju rumah sakit dengan sepeda kesayangannya. Kali ini dengan tergesa-gesa, dia benar-benar khawatir dengan tanggapan Finn mengenai obrolan yang menyakitkan itu.

"Finn!" sorak Noah setelah tiba di kamar inapnya, seperti biasa ibu Finn tidak ada di sana karena bekerja. Ayahnya kadang juga pergi ke bengkel untuk mengerjakan pesanan pelanggan, sedangkan Nicco sedang di sekolah, jadi tidak ada orang di sana.

"Noy..? Kok tergesa-gesa gitu..?" Tanya Finn heran.

"Kamu udah lihat?" Tanya Noah, tanpa basa-basi terlebih dahulu.

"...Yang isi chat grup kelas...?" perlahan Finn menganggukkan kepalanya.

Noah terdiam melihat tanggapan itu, tidak tahu harus mengatakan apa.

"Noy, gambarku.. emang sejelek itu ya?"

"Apa? Tidak! Gambarmu bagus kok Fin! Jangan dengarkan kata-kata orang itu," jawab Noah khawatir. Finn terlihat seperti... bukan Finn biasanya, dia menjadi lebih pesimis dan tidak terlihat bersemangat sama sekali.

"Kalau memang jelek bilang aja, Noy. Biar aku bisa berhenti lebih awal.."

"Finn.." Noah lalu menghela napas lembut, langkah terbaik saat ini adalah membuat sahabat karibnya ini menjadi positif kembali. 

"Coba ingat lagi, kenapa kamu mulai menggambar?"

"..karena aku ingin.. jadi seniman," jawab Finn lirih.

"Iya, aku ingat kamu bilang itu saat kelas 4 SD. Lalu? Kamu ingin menghancurkan impian anak berumur 9 tahun itu? Cuma gara-gara beberapa kata ejekan?"

Finn tertegun mendengar itu, benar juga.. dia menggambar bukan agar diakui oleh teman-temannya. Ini bukan hal yang sesederhana seperti ingin dipuji oleh teman, ini adalah cita-citanya menjadi seorang seniman. 

"Lupakan soal kata-kata tak berarti itu. Jangan lupakan juga janjimu, kita janji keliling paris bersama kan? Bukan sebagai pelajar lagi, tapi sebagai seorang seniman terkenal dan seorang dokter yang telah sukses," ia tersenyum saat mengatakan itu, berharap Finn kembali bersemangat lagi untuk mencapai cita-citanya.

"Kamu benar.."

"Bagaimana kalau begini, ayo kita lakukan janji itu lagi. Kulihat sepertinya kamu mulai lupa tuh?"

Finn akhirnya tertawa kecil mendengar itu, jarang-jarang Noah menyemangatinya seperti ini. Padahal biasanya dia yang menyemangati Noah untuk belajar.

"Baiklah! Ayo!" Mereka saling mengaitkan jari kelingking, sama persis seperti waktu SD dulu.

"Setelah sukses buka galeri di Paris.. jangan lupa ajak aku keliling Kota Paris, ya? Janji..?" Tanya Noah, mengulang apa yang terjadi di masa lalu. Ia menatap Finn dengan bersemangat, menunggu ia menjawabnya.

"Janji"

"Janji nih??"

"Janji!!"

---------------------------------------------------------

Sesuai janji mereka, beberapa tahun kemudian mereka benar-benar keliling Paris bersama. Tentu saja dengan diri masing-masingnya yang sudah sukses. Banyak hal yang terjadi, tapi semua itu akhirnya tidak bisa mematahkan semangat mereka untuk mengejar impian. 

Lukisan Finn sekarang sudah terpajang di Perrotin, Paris, Perancis.

Dia bahkan sudah membuka galeri seni sendiri. Begitu pula dengan Noah, dia sudah sukses menjadi Dokter Spesialis Saraf atau Neurologis. 

"Noy, ini kita harus belok kemana lagi ya?"

"Lah, kok nanya ke aku. Yang lebih lama tinggal di Paris kan kamu, Finn"

"Ini...ini kayaknya kita tersesat gak sih?"

 

                                                           

                                *    *    *    *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun