Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku dan Memori Itu

29 Februari 2020   18:35 Diperbarui: 29 Februari 2020   21:16 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama tiga tahun terakhir ngapain aja, kok jalan di tempat?

Kenapa aku lagi, apa karena aku cacat?

Aku sudah merelakan, kenapa masih dibahas? Kenapa tidak diambil buatmu sendiri saja?

Lagaknya masih seperti dulu, lebih "bossy" dari seorang bos. Biasanya, ia mengontak duluan, lewat layanan berharga paling murah, supaya aku mau ganti meneleponnya lewat layanan berharga paling mahal. Waktunya? Semau dia. Pulsanya? Bukan urusan dia.

Mungkin, keadaan tubuhku sudah membuatnya sampai berpikir, "Seorang penyandang cacat tak akan pergi jauh-jauh, karena ia serba terbatas."

Tanpa berkata apapun, apa yang kujalani di ibukota sudah berhasil mematahkan anggapan sempit itu. Tak cukup sampai disitu, perbedaan antara stigma dan realita ini sudah membuat pijakannya hilang. Aku hanya perlu diam seperti saat dulu harus merelakan uang itu pergi. Kali ini, diam tanpa rasa perih.

Jujur saja, ingatan pahit itu membuat cara pandangku pada Kota Klasik berubah selamanya. Ia memberiku banyak hal, kecuali ikatan. Aku tidak membencinya, tapi aku sangat berterima kasih kepadanya, karena pada masa paling sulit, ia berkata jujur lewat semua realita yang ia suguhkan kepadaku. Di sini, Kota Klasik memberiku keberanian untuk melangkah maju, dengan mata menatap lurus ke depan. 

Konon katanya, Kota Klasik adalah kota penuh kenangan, dengan setiap sudutnya terbuat dari rindu. Tak heran, Kota Klasik selalu sukses meninggalkan rasa rindu buat siapapun yang datang ke sana. Rasa rindu itu seakan tertinggal dan menetap di sana.

Bagiku, bukan rasa rindu yang tertinggal di sana, tapi rasa hormat, karena, ia sudah menampilkan kejujuran secara utuh, lengkap dengan segala hal yang sudah kudapat, termasuk keberanian untuk melangkah.

Darinya aku belajar, meski cuma "numpang lewat", hidup di dunia adalah satu perjalanan, yang tak bisa di "fast forward", "rewind", "replay" atau "pause" semaunya. Ia hanya mengenal tombol "play" saat semua dimulai, dan "stop" saat sudah selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun