"Halo, ini Jali, masih ingat?"
Kata-kata itu menjadi salam perkenalan kembali, yang muncul tanpa diduga.
"Gimana Bang?", Tanyaku
"Kamu lagi sibuk nggak, bisa telepon aku sekarang?"
"Maaf Bang, aku sedang repot."
Tanpa pikir panjang, aku langsung memblokirnya. Ada pekerjaan yang masih harus kuurus. Setelah tiga tahun putus kontak, orang ini ternyata sama sekali tak berubah.
Kudengar dari orang tuaku di Kota Klasik, Bang Jali hari itu mampir ke rumah, menanyakan kabar dan meminta nomor kontakku.
Aku menduga, ia ingin coba membahas lagi tentang kejadian tiga tahun lalu, saat Bang Toyib mengajakku berbisnis, tapi uangku malah dibawa lari, segera setelah kuberikan. Jumlahnya? Tiga juta rupiah.
Bang Jali yang awalnya terlihat seperti seorang penengah, dan juga mengaku sebagai "korban" Bang Toyib, justru membuat semua jadi rumit. Bahkan, aku hampir saja diseret ke dalam permainan kotor, yang tak lebih dari satu usaha mereka untuk memerasku lebih jauh.
Teror dan gangguan demi gangguan terus kudapat dan harus kuhadapi sendirian. Ya, masalah ini ada, karena aku terlalu percaya pada teman.
Aku ingat, masalah itu membuatku makin sengsara. Hidup tak tenang, uang tak ada. Tubuh lemah ini juga membuatku tak berdaya; melawan tak bisa, diam makin sengsara. Padahal, merekalah yang seharusnya takut, karena membawa lari milik orang lain.