Pada akhirnya, mimpi buruk itu berakhir, segera setelah aku merelakan semua uang itu pergi. Aku sadar, harga hidup ini sangat tak sebanding dengan uang tiga juta rupiah.
Tapi, kontak tak terduga dari Bang Jali membuat memori pahit itu kembali muncul. Rasa pahitnya kian sempurna, setelah aku sempat membuka blokir itu.
Dugaanku benar, karena segera setelahnya, Bang Jali mengirim pesan,
"Kamu jangan marah padaku. Kita sama-sama korban kena tipu Si Toyib."
Sebelum kembali kublokir selamanya, aku sempat menjawab,
"Sudah Bang. Tak usah dibahas lagi. Aku sudah ikhlas. Tak usah dibahas."
Malam itu, ingatanku melayang kembali ke satu masa paling muram dalam hidup. Masa itu datang, segera setelah kegembiraan masa wisuda mampir.
Masa muram itu kumulai, dari deretan kegagalan, akibat faktor cacat fisik yang kupunya sejak lahir. Kegagalan itu semakin menyakitkan, karena vonis kegagalanku dibungkus rapi dengan kata-kata khas motivator terkenal. Tak cukup sampai disitu, kata "gagal" tak pernah terucap dari mulut siapapun, tapi terucap lewat berlalunya sang waktu.
Pada akhirnya, aku sempat mendapat pekerjaan di sebuah hotel, dengan gaji yang bagiku cukup. Tapi, intensitas kerja terlalu tinggi di sana sukses membuat tubuh rapuh ini tumbang secara mengenaskan.
Saat kembali pulih, aku mendapat belaian angin surga, dalam wujud bisnis patungan, yang ternyata tipu-tipu. Â Apa boleh buat, aku kehilangan uang yang kutabung dengan susah payah. Kehancuranku makin lengkap, karena setiap kali ada kabar kesempatan kerja, ia hanya angin lalu rasa angin surga.
Aku mencoba mulai lagi dari awal, sambil menunggu ada kesempatan nyata datang, di tengah semua ketidakpastian ini.