Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku dan Memori Itu

29 Februari 2020   18:35 Diperbarui: 29 Februari 2020   21:16 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dreamstime.com

"Halo, ini Jali, masih ingat?"

Kata-kata itu menjadi salam perkenalan kembali, yang muncul tanpa diduga.

"Gimana Bang?", Tanyaku

"Kamu lagi sibuk nggak, bisa telepon aku sekarang?"

"Maaf Bang, aku sedang repot."

Tanpa pikir panjang, aku langsung memblokirnya. Ada pekerjaan yang masih harus kuurus. Setelah tiga tahun putus kontak, orang ini ternyata sama sekali tak berubah.

Kudengar dari orang tuaku di Kota Klasik, Bang Jali hari itu mampir ke rumah, menanyakan kabar dan meminta nomor kontakku.

Aku menduga, ia ingin coba membahas lagi tentang kejadian tiga tahun lalu, saat Bang Toyib mengajakku berbisnis, tapi uangku malah dibawa lari, segera setelah kuberikan. Jumlahnya? Tiga juta rupiah.

Bang Jali yang awalnya terlihat seperti seorang penengah, dan juga mengaku sebagai "korban" Bang Toyib, justru membuat semua jadi rumit. Bahkan, aku hampir saja diseret ke dalam permainan kotor, yang tak lebih dari satu usaha mereka untuk memerasku lebih jauh.

Teror dan gangguan demi gangguan terus kudapat dan harus kuhadapi sendirian. Ya, masalah ini ada, karena aku terlalu percaya pada teman.

Aku ingat, masalah itu membuatku makin sengsara. Hidup tak tenang, uang tak ada. Tubuh lemah ini juga membuatku tak berdaya; melawan tak bisa, diam makin sengsara. Padahal, merekalah yang seharusnya takut, karena membawa lari milik orang lain.

Pada akhirnya, mimpi buruk itu berakhir, segera setelah aku merelakan semua uang itu pergi. Aku sadar, harga hidup ini sangat tak sebanding dengan uang tiga juta rupiah.

Tapi, kontak tak terduga dari Bang Jali membuat memori pahit itu kembali muncul. Rasa pahitnya kian sempurna, setelah aku sempat membuka blokir itu.

Dugaanku benar, karena segera setelahnya, Bang Jali mengirim pesan,


"Kamu jangan marah padaku. Kita sama-sama korban kena tipu Si Toyib."

Sebelum kembali kublokir selamanya, aku sempat menjawab,

"Sudah Bang. Tak usah dibahas lagi. Aku sudah ikhlas. Tak usah dibahas."

Malam itu, ingatanku melayang kembali ke satu masa paling muram dalam hidup. Masa itu datang, segera setelah kegembiraan masa wisuda mampir.

Masa muram itu kumulai, dari deretan kegagalan, akibat faktor cacat fisik yang kupunya sejak lahir. Kegagalan itu semakin menyakitkan, karena vonis kegagalanku dibungkus rapi dengan kata-kata khas motivator terkenal. Tak cukup sampai disitu, kata "gagal" tak pernah terucap dari mulut siapapun, tapi terucap lewat berlalunya sang waktu.

Pada akhirnya, aku sempat mendapat pekerjaan di sebuah hotel, dengan gaji yang bagiku cukup. Tapi, intensitas kerja terlalu tinggi di sana sukses membuat tubuh rapuh ini tumbang secara mengenaskan.

Saat kembali pulih, aku mendapat belaian angin surga, dalam wujud bisnis patungan, yang ternyata tipu-tipu.  Apa boleh buat, aku kehilangan uang yang kutabung dengan susah payah. Kehancuranku makin lengkap, karena setiap kali ada kabar kesempatan kerja, ia hanya angin lalu rasa angin surga.

Aku mencoba mulai lagi dari awal, sambil menunggu ada kesempatan nyata datang, di tengah semua ketidakpastian ini.

Saat satu kesempatan nyata akhirnya datang, aku langsung mengambilnya tanpa ragu. Meski harus hidup sendiri di ibukota, aku menerimanya dengan senang hati. Inilah bentuk kerelaan hatiku, untuk bisa "move on" dari berbagai bencana di Kota Klasik.

Aku sadar, dengan tubuh serapuh ini, keputusanku terdengar gila. Saking gilanya, Agus, teman satu sekolahku sampai pernah berkata,

"Kalau aku jadi kamu, aku akan tetap kerja di Kota Klasik, biarpun gajinya cuma 2 juta rupiah per bulan. Orang-orang di ibukota terlalu keras. Dulu, aku cuma tahan tiga bulan di sana."

Kata-kata Agus terdengar ringan, karena ia sekarang sudah punya bisnis sendiri, bisnis agen perjalanan yang ia rintis dengan membuang gengsi, lengkap dengan segala jenis pengorbanan selama tiga tahun.

Tapi, masa suram setelah wisuda itu membuatku makin mantap untuk pergi. Semua kemalangan yang sudah kualami, membuat Kota Klasik seolah berkata tegas kepadaku,

"Urusanmu di sini sudah selesai. Jika kamu ingin hidup dan bekerja sebagai manusia sebagaimana mestinya, kamu harus berani untuk pergi, dan merelakan yang harus direlakan."

Seiring berjalannya waktu, kata-kata tegas itu seolah membuktikan kebenarannya. Terlepas dari absurditas khasnya, semua hal di ibukota terlibat normal. Ada saat bekerja seperti halnya beristirahat. Ada saatnya belanja, seperti halnya berhemat.

Semua ini membuatku merasa damai. Hidup sederhana sebagai "orang biasa" di sini sungguh menyenangkan. Semua terlihat lebih apa adanya, termasuk soal harga makanan dan penyesuaian upah.

Andai aku punya kekayaan tujuh puluh turunan, mungkin aku bisa saja tinggal lebih lama di Kota Klasik. Kudengar, kota ini makin banyak bersolek, meski pertumbuhan angka standar upah minimumnya masih kalah jauh dengan pertumbuhan jumlah toko modern dan warung makan kekinian, dengan harga mendekati standar ibukota. Satu lagi, kota ini mulai mengenal kata "macet".

Saat Bang Jali tetiba mengontakku, setelah tiga tahun lamanya, semua seperti sudah bisa dibaca; ia mencoba mengungkit masalah yang sama, dengan mengatakan dirinya berada di posisi "sama" denganku sebagai korban Bang Toyib. Jika aku mengikuti semua seperti kemauannya, hasilnya hanya keruwetan tak berguna.

Aku sendiri bersyukur bisa tinggal di ibukota, karena ia membuatku bisa melihat tragedi masa laluku, yang coba diungkit Bang Jali, sebagai satu paket pertanyaan:

Selama tiga tahun terakhir ngapain aja, kok jalan di tempat?

Kenapa aku lagi, apa karena aku cacat?

Aku sudah merelakan, kenapa masih dibahas? Kenapa tidak diambil buatmu sendiri saja?

Lagaknya masih seperti dulu, lebih "bossy" dari seorang bos. Biasanya, ia mengontak duluan, lewat layanan berharga paling murah, supaya aku mau ganti meneleponnya lewat layanan berharga paling mahal. Waktunya? Semau dia. Pulsanya? Bukan urusan dia.

Mungkin, keadaan tubuhku sudah membuatnya sampai berpikir, "Seorang penyandang cacat tak akan pergi jauh-jauh, karena ia serba terbatas."

Tanpa berkata apapun, apa yang kujalani di ibukota sudah berhasil mematahkan anggapan sempit itu. Tak cukup sampai disitu, perbedaan antara stigma dan realita ini sudah membuat pijakannya hilang. Aku hanya perlu diam seperti saat dulu harus merelakan uang itu pergi. Kali ini, diam tanpa rasa perih.

Jujur saja, ingatan pahit itu membuat cara pandangku pada Kota Klasik berubah selamanya. Ia memberiku banyak hal, kecuali ikatan. Aku tidak membencinya, tapi aku sangat berterima kasih kepadanya, karena pada masa paling sulit, ia berkata jujur lewat semua realita yang ia suguhkan kepadaku. Di sini, Kota Klasik memberiku keberanian untuk melangkah maju, dengan mata menatap lurus ke depan. 

Konon katanya, Kota Klasik adalah kota penuh kenangan, dengan setiap sudutnya terbuat dari rindu. Tak heran, Kota Klasik selalu sukses meninggalkan rasa rindu buat siapapun yang datang ke sana. Rasa rindu itu seakan tertinggal dan menetap di sana.

Bagiku, bukan rasa rindu yang tertinggal di sana, tapi rasa hormat, karena, ia sudah menampilkan kejujuran secara utuh, lengkap dengan segala hal yang sudah kudapat, termasuk keberanian untuk melangkah.

Darinya aku belajar, meski cuma "numpang lewat", hidup di dunia adalah satu perjalanan, yang tak bisa di "fast forward", "rewind", "replay" atau "pause" semaunya. Ia hanya mengenal tombol "play" saat semua dimulai, dan "stop" saat sudah selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun