Saat satu kesempatan nyata akhirnya datang, aku langsung mengambilnya tanpa ragu. Meski harus hidup sendiri di ibukota, aku menerimanya dengan senang hati. Inilah bentuk kerelaan hatiku, untuk bisa "move on" dari berbagai bencana di Kota Klasik.
Aku sadar, dengan tubuh serapuh ini, keputusanku terdengar gila. Saking gilanya, Agus, teman satu sekolahku sampai pernah berkata,
"Kalau aku jadi kamu, aku akan tetap kerja di Kota Klasik, biarpun gajinya cuma 2 juta rupiah per bulan. Orang-orang di ibukota terlalu keras. Dulu, aku cuma tahan tiga bulan di sana."
Kata-kata Agus terdengar ringan, karena ia sekarang sudah punya bisnis sendiri, bisnis agen perjalanan yang ia rintis dengan membuang gengsi, lengkap dengan segala jenis pengorbanan selama tiga tahun.
Tapi, masa suram setelah wisuda itu membuatku makin mantap untuk pergi. Semua kemalangan yang sudah kualami, membuat Kota Klasik seolah berkata tegas kepadaku,
"Urusanmu di sini sudah selesai. Jika kamu ingin hidup dan bekerja sebagai manusia sebagaimana mestinya, kamu harus berani untuk pergi, dan merelakan yang harus direlakan."
Seiring berjalannya waktu, kata-kata tegas itu seolah membuktikan kebenarannya. Terlepas dari absurditas khasnya, semua hal di ibukota terlibat normal. Ada saat bekerja seperti halnya beristirahat. Ada saatnya belanja, seperti halnya berhemat.
Semua ini membuatku merasa damai. Hidup sederhana sebagai "orang biasa" di sini sungguh menyenangkan. Semua terlihat lebih apa adanya, termasuk soal harga makanan dan penyesuaian upah.
Andai aku punya kekayaan tujuh puluh turunan, mungkin aku bisa saja tinggal lebih lama di Kota Klasik. Kudengar, kota ini makin banyak bersolek, meski pertumbuhan angka standar upah minimumnya masih kalah jauh dengan pertumbuhan jumlah toko modern dan warung makan kekinian, dengan harga mendekati standar ibukota. Satu lagi, kota ini mulai mengenal kata "macet".
Saat Bang Jali tetiba mengontakku, setelah tiga tahun lamanya, semua seperti sudah bisa dibaca; ia mencoba mengungkit masalah yang sama, dengan mengatakan dirinya berada di posisi "sama" denganku sebagai korban Bang Toyib. Jika aku mengikuti semua seperti kemauannya, hasilnya hanya keruwetan tak berguna.
Aku sendiri bersyukur bisa tinggal di ibukota, karena ia membuatku bisa melihat tragedi masa laluku, yang coba diungkit Bang Jali, sebagai satu paket pertanyaan: