Pandangan mata kerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Dunia terasa goyang. Benda-benda di depanku kelihatan samar. Buram. Tidak jelas. Hanya bayang-bayang belaka. Aku berusaha eling dan berdiri tegak yang tak ajeg.
Tidak ada gerakan pembelaan dariku. Ia maju selangkah meninggalkan aku dari sisi kiriku terus menyongsong menghadang Michael. Langkah temanku ini terhenti dengan sebuah bogem mentah.
Merasa diri besar, tinggi, dan juga atlet silat, secara refleksif Michael menangkis dan mengelak. Sebaliknya, karena pukulannya ditangkis emosi Pak Ateng semakin menjadi. Seru! Kami bagai sedang menyaksikan sebuah pertandingan tinju.
Sebagai mantan petinju yang terlatih baik, refleks dan naluri 'membunuhnya' terpancing. Awalnya cuma tangan kiri. Akhirnya menjadi bergantian. Kanan-kiri, kanan-kiri. Terus sampai Michael tak mampu lagi berbuat banyak. Menyerah. Pasrah. Dan, KO!
Kami yang menyaksikan jadi merinding. Pak Ateng menyambar barang-barangnya yang ada di meja dan melenggang meninggalkan ruangan tanpa sepatah katapun. Seisi kelas pulang dengan perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri.
Pada hari-hari biasa, begitu bel pulang terdengar semua anak langsung berlari berhamburan meninggalkan ruang kelas. Kali ini hening senyap. Semua seperti tersirap hantu kolor ijo. Semua seperti tak memiliki pita suara.
Aku mengajak Michael pulang bersama. Kami berjalan kaki sambil berencana untuk mendatangi Pak Ateng di rumahnya. Kami bermaksud menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Kami sepakat untuk mengunjunginya pada hari itu juga. Di sore harinya. Ketika kami tiba di rumahnya, ia sedang bertelanjang dada sambil berangin-angin di teras depan. Kami dipersilakan duduk dan menarik napas.
Otak kami sedang merancang menyusun kata-kata pembelaan untuk disampaikan. Beliau sudah lebih dahulu memberondong dengan nasihat yang panjang lebar. Seolah kami yang bersalah. Kamilah pelakunya.
Namun setelah aku jelaskan semuanya baru ia menyesal dan minta maaf. Ia berjanji untuk mengusut tuntas pelaku sebenarnya. Tapi apa mau dikata. Sampai aku lulus dari sekolah itu, tak pernah kuketahui siapa orang 'kotor' yang telah mencuci tangan dalam 'baskom' penderitaanku. Brengsek!
Setelah kejadian itu aku seperti tercemeti. Aku terus mengasah diri berpacu mengejar prestasi sebagai siswa terbaik. Akhirnya, melalui kerja keras dan doa Papa-Mama serta perkenanan Tuhan aku lulus. Secara akademis aku berhasil meraih nilai tertinggi di antara alumnus lainnya. Aku memperoleh beasiswa.