Intonasinya datar. Tidak ada gejala marah. Semua diam. Bahkan tak ada yang bergerak. Masih dalam keadaan terus berdiri. Ia bertanya untuk kedua kalinya.
"Siapa itu? Lebih baik mengaku daripada saya marah." Masih diam. Tak ada jawaban. Hanya masing-masing pasang mata saling melirik.
Dalam keadaan lemas aku melihat guruku membuka dan melepaskan jam yang dikenakan di pergelangan tangannya. Ia lalu meletakkannya di atas meja. Ia menuju ke pintu dan menutupnya sampai rapat. Kemudian kembali ke depan kami dan mengucapkan satu ultimatum yang mengerikan.
"Kalau tidak ada yang mengaku, maka kalian semua, satu per satu saya tampar sebelum meninggalkan ruangan ini." Ia mulai menggulung lengan bajunya. Suasana semakin tegang. Aku pun semakin tidak karuan saking menahan rasa melilit. Kondisiku tak menentu.
Tiba-tiba ada yang nyeletuk: "Yolis dan Michael, Pak!" Aku terperanjat kaget. Suara itu datang dari berisan tengah. Kami berdua memang sebangku. Michael Demonsili nama lengkapnya. Memang Michael terkenal konyol. Suka membanyol yang membuat pendengarnya terpingkal. Tak terkecuali guru.
Aku sendiri siswa berprestasi. Jadi mereka berbuat itu dengan suatu harapan siapa tahu Pak Ateng tidak jadi marah. Semoga Pak Ateng bisa berbelas kasih dan mengampuni. Tapi apa lacur, tak ada yang dapat mengubah keadaan.
Perlahan namun pasti. Ia beranjak dari tempatnya berdiri menuju ke meja guru dan duduk di atasnya. Dari sana ia menjulurkan tangan kanannya ke arah kami berdua. Telapak tangannya dihadapkan ke atas. Ia menekukkan jari-jemarinya dan menggapai sambil memanggil.
"sini." Suaranya singkat. Pendek saja. Raut wajahnya yang keras bertambah kelihatan sangar. Ditambah pula rambutnya yang kribo dan kulitnya yang hitam semakin menunjang suasana seram. Tidak ada pilihan. Kami beriring menyambanginya.
Dengan perasaan tak menentu aku menghampirinya diikuti Michael. Sambil melangkah aku berdoa singkat. Semoga aku dan Michael diberi kesempatan untuk menyampaikan alasan. Pembelaan diri.
Karena selama ini kutahu bahwa beliau adalah orang yang sangat baik. Bijaksana. Ramah dan tidak pernah mengumbar emosi dalam kondisi apapun. Demokratis. Ternyata semuanya di luar dugaan.
Sebelum aku sampai di hadapannya ia telah datang mendapatkan kami berdua. Dan, "plak." Tangan kanannya menyangkut di pipi kiriku. Ujung daun telingaku perih seketika.