***
      "Kenapa harus ke warung kopi? Aku bisa membantumu ...."
      Aku menggeleng keras-keras. "Ini untuk janjiku pada Mena yang tak sempat kupenuhi. Biar aku sendiri yang berusaha mengikis sedih dan penyesalannya."
      Suara peluit kereta api memecah aura sedih di antara kami. "Tapi kamu kan akhirnya pulang ...." Faris tersenyum.
Senyum yang hambar. Karena jelas ia tak ingin aku pulang. Tapi aku harus pulang. Demi janjiku pada Mena.
      "Waktunya berangkat ...." Senyum Faris makin hambar saja. "Jangan lupa kembali lagi ke sini. Dan ini untuk Mena. Bacakan untukku yah ...."
Faris meletakkan sebuah buku saku di tanganku. Kumpulan doa-doa. Aku langsung memeluknya erat-erat. Terima kasih, Love you ....
      "Janji kembali lagi?" tanya Faris di depan peron.
Aku masuk ke peron sambil melempar senyum usil padanya. Senang rasanya melihat Faris tak karuan pagi ini.
      "Kalau kembali ke sini kau akan punya ini!" seru Faris sambil berlari menyusuri pagar pembatas.
      Aku melihatnya mengacungkan sebuah kotak kecil. "Apa ituu?"