Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba si Bos menepuk bahu.
"Napa bengongnya lama sekali? Itu orang beneran tukang tagih hutang kan?"
Wajah yakinnya membuatku sebal. Kalau tidak ingat butuh duitnya pasti sudah kumaki-maki.
 "Alah Bos ini ... itu kan temen," dalihku, "Palingan mau minjem catatan tadi siang." Aku meletakkan gelas-gelas kosong di meja kasir. Pura-pura tidak melihat wajah si Bos yang membiru karena aku lancang.
      "Kenapa ke sini?" desisku penuh ancaman. Kutarik lengan Faris sampai dia berdiri. "Sini ikut aku!"
Faris bergeming. Aku menatapnya. Ia balas menatapku. Seperti biasa sangat dalam. Dan aku kalah. Kutundukkan kepala.
      "Ayo, pulang!" tangannya mengenggam tanganku. Sebegitu yakinnya aku akan langsung ikut dengannya.
      "Nggak! Aku nggak bisa ...." Kutarik tanganku dari genggamannya.
Kecewa jelas terpampang di wajah tampannya. Baru kali ini aku menolak permintaanya begitu tegas. Maafkan aku, Ris ....
      "Baiklah ...." Suaranya terdengar parau. Begitu kecewanya Faris pada diriku.
Rasanya ingin berlari dan menahannya pergi begitu ia membalikkan badan, lalu keluar ruangan dengan membawa kecewa yang sangat dalam. Ini pertama kalinya Faris meninggalkanku sendirian. Selama ini selalu aku yang sering berlalu begitu saja meninggalkannya.