Mohon tunggu...
Yola Widya
Yola Widya Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penyuka kuliner dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Temu Yang Tak Kunjung Datang

28 Juli 2024   10:24 Diperbarui: 28 Juli 2024   10:26 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara dering telepon menghentikan kayuhan sepedaku. Siapa yang menelepon dari tadi? Dengan kesal kuraih ponsel dari dalam tas. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Ini telepon dari rumah. Ada apa ...

            "Viy, kemana saja kamu? Mena, Viy, Mena ...."

Suara sedu sedan di seberang telepon membuatku mematung. Ingatan akan percakapan seminggu lalu dengan Mena membuatku sangat bersalah. Tak mungkin! Sangkalku segera. Jangan Mena, Ya Tuhan. Aku sudah berjanji padanya ....

***

            "Kamu itu lucu!" Ana mendelikkan matanya pada Faris yang tengah berdiri gelisah di ambang pintu kosan.

            "Maksudnya lucu bagaimana?" Faris balik bertanya dengan kesal. "Lihat dong kenyataannya. Dia itu jadi susah dihubungi. Terus sekarang nggak ada di rumah pula."

            "Ya, tapi buang dong pikiran aneh-aneh yang ada di otakmu itu, Ris."

            "Aneh bagaimana sih? Wajar dong kalau aku ambil kesimpulan dia yang aneh-aneh di belakangku? Buktinya dia selalu menghilang seperti sekarang ini."

Ana menggigit bibirnya. Mencoba menahan tumpahan kata-kata yang pasti bakal membuat Faris makin kesal. "Harusnya kamu tanya dulu sama dia baik-baik alasannya  apa."

            "Mau nanya gimana ... dia selalu mengelak." Faris Kembali membela diri.

Adu mulut keduanya terhenti ketika Viya masuk ke halaman rumah sambil menuntun sepeda. Wajahnya terlihat tidak baik-baik saja. Kusut dan lelah. Rasa kesal Faris langsung memuncak begitu melihat Viya. Tanpa menunggu penjelasan, Faris langsung menumpahkan semua uneg-unegnya.

            "Viy, kamu sadar jam berapa sekarang?" serangnya sambil menghampiri Viya yang jelas sedang bad mood.

            Viya mendelik. "Datang-datang langsung disemprot," ucapnya sinis. Ia mendorong Faris agar membiarkannya lewat.

Faris menarik lengan Viya. "Kamu dari mana? Ini sudah malam. Kenapa sekarang jadi sulit dihubungi?" Namun Faris tidak mendapat jawaban yang diinginkan. Viya malah menepis lengannya, lalu masuk ke dalam rumah.

Ana pura-pura tidak melihat Viya begitu sahabatnya itu masuk ke rumah. Viya lewat begitu saja di depannya tanpa menoleh. Dari semenjak Viya pulang ia memang pura-pura sibuk mengerjakan tugas di ruang tamu. Ana terkejut ketika tiba-tiba Faris ikut masuk ke dalam rumah.

            "Hei, Ris. Sabar, Ris! Jangan masuk dong...." Ana merentangkan lengannya lebar-lebar di depan Faris. Mencoba menghalangi langkah cowok itu.

Faris merengut. Ia tahu peraturannya. Cowok dilarang masuk ke dalam rumah. Tapi tingkah Viya membuat hatinya kesal. Rasanya belum puas jika belum mendapat jawaban dari pacarnya itu. Ia akhirnya membalikkan badan, lalu keluar. Tak lama kemudian terdengar suara motor distarter. Ana mengembuskan napas lega. Setidaknya perang dunia ketiga tidak jadi tercetus malam ini, gumamnya.

***

Aku menatap beranda Instagram. Lagi-lagi jari ini refleks mengetikkan nama Mena. Aku tercekat. Berkali-kali kuketikkan namanya, tapi akunnya tak ada yang muncul. Akun pribadi dan akun usahanya tidak ada. Apakah sudah dihapus? Tetiba sedih itu menusuki kembali dada. Mena di mana kamu? Bahkan hanya ingin melihat wajahmu saja sekarang begitu sulit. Rasa penasaran membuatku berulang kali mengetikkan namanya di beberapa website. Tapi rasa kecewa kembali menohokku. Semua foto Mena seolah menghilang. Apakah ini hukuman Tuhan padaku karena tak dapat menepati janji?

            "Mena, andai Tuhan memberimu waktu lebih panjang, kita pasti bisa bertemu ...."

***

            "Kesel sama kamuuuu!" teriak Ana keras-keras sambil menendang kaki Faris. Tak dihiraukannya teriakan kaget cowok yang langsung membungkuk memeriksa lututnya itu. "Balikin sini hapeku!"

            Faris berkelit. Menghindari tangan Ana yang mencoba merebut kembali hapenya. "Pinjam sebentar! Kalian berdua pasti nyembunyiin sesuatu dariku!" Faris berlari pincang ke arah taman kampus. Sementara Ana yang histeris, tertahan oleh kerumunan teman-temannya yang penasaran dengan keributan antara mereka berdua.

            "Farisssss ... balikin hape gueeee!"

Tentu saja Faris tidak mempedulikan jeritan Ana. Ia langsung konsentrasi membuka chat antara Ana dan Viya. Faris melongo begitu membaca percakapan kedua gadis itu. "Warung kopi?" desisnya. "Jadi ini yang kamu sembunyikan selama ini dari aku, Viy? Kamu sering janjian sama cowok lain di warung kopi!"

***

            "Eh, Viy, sini bentar!"

Aku menoleh ke arah sumber suara yang memanggil. Si bos kelihatannya sedang dalam suasana hati tidak enak. Bisa dipastikan dari gesture-nya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk meja kasir.

            "Ada yang salah, Bos?" tanyaku to the point. Masa iya sih masih complain juga. Padahal udah berusaha kerja sesuai keinginan pak tua ini.

            "Kamu kenal orang itu? Tuh, yang duduk di deket jendela. Dari tadi dia merhatiin kamu, plus kita semua juga dipantaunya. Bukan debt collector kan?"

Spontan aku menegok ke arah yang ditunjuknya. Tak seperti yang kubayangkan. Yang duduk di sana itu seorang cowok dengan jaket cokelat yang sangat kukenal. Bahkan wangi parfumnya selalu tercium sepanjang hari walaupun tak bersua dengannya sekalipun. Begitu mendalam ....

            "Hei!"

Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba si Bos menepuk bahu.

"Napa bengongnya lama sekali? Itu orang beneran tukang tagih hutang kan?"

Wajah yakinnya membuatku sebal. Kalau tidak ingat butuh duitnya pasti sudah kumaki-maki.

 "Alah Bos ini ... itu kan temen," dalihku, "Palingan mau minjem catatan tadi siang." Aku meletakkan gelas-gelas kosong di meja kasir. Pura-pura tidak melihat wajah si Bos yang membiru karena aku lancang.

            "Kenapa ke sini?" desisku penuh ancaman. Kutarik lengan Faris sampai dia berdiri. "Sini ikut aku!"

Faris bergeming. Aku menatapnya. Ia balas menatapku. Seperti biasa sangat dalam. Dan aku kalah. Kutundukkan kepala.

            "Ayo, pulang!" tangannya mengenggam tanganku. Sebegitu yakinnya aku akan langsung ikut dengannya.

            "Nggak! Aku nggak bisa ...." Kutarik tanganku dari genggamannya.

Kecewa jelas terpampang di wajah tampannya. Baru kali ini aku menolak permintaanya begitu tegas. Maafkan aku, Ris ....

            "Baiklah ...." Suaranya terdengar parau. Begitu kecewanya Faris pada diriku.

Rasanya ingin berlari dan menahannya pergi begitu ia membalikkan badan, lalu keluar ruangan dengan membawa kecewa yang sangat dalam. Ini pertama kalinya Faris meninggalkanku sendirian. Selama ini selalu aku yang sering berlalu begitu saja meninggalkannya.

***

"Apa maksudnya ini?" Ana menunjuk chat Faris di hape. "Kamu mau mutusin Viya?" lengkingnya. Alhasil suaranya membuat beberapa anak kabur dari taman kampus.

            Faris meletakkan buku yang sedang dibacanya ke atas rumput. "Karena dia lebih memilih merahasiakan semuanya," jawab Faris muram.

            "Itu karena Viya nggak mau ngerepotin kamu! Sini ikut aku biar jelas semuanya."

Ana menarik Faris hingga berdiri. Terpaksa Faris membonceng Ana karena diancam tak boleh bertemu lagi dengan Viya selamanya. Pertama-tama Ana mengajaknya ke stasiun untuk nge-print tiket. Pertanyaan Faris tidak digubris olehnya. Lalu dia mengarahkan Faris melewati jalan-jalan asing. Ana memintanya berhenti di depan sebuah rumah. Faris tertegun begitu membaca tulisan yang tertera di sebuah plang.

            "Ayo, masuk! Sudah dimulai acaranya dari tadi soalnya." Ana mendorong Faris agar cepat masuk.

Faris mendengar lantunan doa begitu masuk ke dalam rumah. Ruangan bagian dalam penuh oleh anak-anak yang sedang berdoa. Mereka dipimpin seorang wanita paruh baya. Rupanya acaranya sudah mau selesai karena wanita itu mengucapkan kata-kata penutupan.

            "Semoga Allah menerima amal ibadah Kak Mena adik dari Kak Viya. Terima kasih telah mendoakan almarhumah anak-anak. Kita doakan juga semoga Kak Viya diberi kesehatan serta selamat dalam perjalanan."

Ana diam-diam menangis. Faris menatap nanar Viya sedari tadi. Tenggorokannya tercekat.

            "Ini yang dirahasiakannya?" tanyanya pada Ana dengan suara parau.

            Ana mengangguk. "Masih mau mutusin Viya sekarang?"

***

            "Kenapa harus ke warung kopi? Aku bisa membantumu ...."

            Aku menggeleng keras-keras. "Ini untuk janjiku pada Mena yang tak sempat kupenuhi. Biar aku sendiri yang berusaha mengikis sedih dan penyesalannya."

            Suara peluit kereta api memecah aura sedih di antara kami. "Tapi kamu kan akhirnya pulang ...." Faris tersenyum.

Senyum yang hambar. Karena jelas ia tak ingin aku pulang. Tapi aku harus pulang. Demi janjiku pada Mena.

            "Waktunya berangkat ...." Senyum Faris makin hambar saja. "Jangan lupa kembali lagi ke sini. Dan ini untuk Mena. Bacakan untukku yah ...."

Faris meletakkan sebuah buku saku di tanganku. Kumpulan doa-doa. Aku langsung memeluknya erat-erat. Terima kasih, Love you ....

            "Janji kembali lagi?" tanya Faris di depan peron.

Aku masuk ke peron sambil melempar senyum usil padanya. Senang rasanya melihat Faris tak karuan pagi ini.

            "Kalau kembali ke sini kau akan punya ini!" seru Faris sambil berlari menyusuri pagar pembatas.

            Aku melihatnya mengacungkan sebuah kotak kecil. "Apa ituu?"

            "Kembali lagi padaku, kau akan tahu nantii!"

Faris berseru sambil tertawa. Wajahku memerah. Aku pasti kembali lagi, Ris. Sekarang biarkan aku penuhi janji pada adikku terlebih dahulu ....

***

Penulis : Yola Widya asal kota Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun