"Kesel sama kamuuuu!" teriak Ana keras-keras sambil menendang kaki Faris. Tak dihiraukannya teriakan kaget cowok yang langsung membungkuk memeriksa lututnya itu. "Balikin sini hapeku!"
      Faris berkelit. Menghindari tangan Ana yang mencoba merebut kembali hapenya. "Pinjam sebentar! Kalian berdua pasti nyembunyiin sesuatu dariku!" Faris berlari pincang ke arah taman kampus. Sementara Ana yang histeris, tertahan oleh kerumunan teman-temannya yang penasaran dengan keributan antara mereka berdua.
      "Farisssss ... balikin hape gueeee!"
Tentu saja Faris tidak mempedulikan jeritan Ana. Ia langsung konsentrasi membuka chat antara Ana dan Viya. Faris melongo begitu membaca percakapan kedua gadis itu. "Warung kopi?" desisnya. "Jadi ini yang kamu sembunyikan selama ini dari aku, Viy? Kamu sering janjian sama cowok lain di warung kopi!"
***
      "Eh, Viy, sini bentar!"
Aku menoleh ke arah sumber suara yang memanggil. Si bos kelihatannya sedang dalam suasana hati tidak enak. Bisa dipastikan dari gesture-nya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk meja kasir.
      "Ada yang salah, Bos?" tanyaku to the point. Masa iya sih masih complain juga. Padahal udah berusaha kerja sesuai keinginan pak tua ini.
      "Kamu kenal orang itu? Tuh, yang duduk di deket jendela. Dari tadi dia merhatiin kamu, plus kita semua juga dipantaunya. Bukan debt collector kan?"
Spontan aku menegok ke arah yang ditunjuknya. Tak seperti yang kubayangkan. Yang duduk di sana itu seorang cowok dengan jaket cokelat yang sangat kukenal. Bahkan wangi parfumnya selalu tercium sepanjang hari walaupun tak bersua dengannya sekalipun. Begitu mendalam ....
      "Hei!"