Suara dering telepon menghentikan kayuhan sepedaku. Siapa yang menelepon dari tadi? Dengan kesal kuraih ponsel dari dalam tas. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Ini telepon dari rumah. Ada apa ...
      "Viy, kemana saja kamu? Mena, Viy, Mena ...."
Suara sedu sedan di seberang telepon membuatku mematung. Ingatan akan percakapan seminggu lalu dengan Mena membuatku sangat bersalah. Tak mungkin! Sangkalku segera. Jangan Mena, Ya Tuhan. Aku sudah berjanji padanya ....
***
      "Kamu itu lucu!" Ana mendelikkan matanya pada Faris yang tengah berdiri gelisah di ambang pintu kosan.
      "Maksudnya lucu bagaimana?" Faris balik bertanya dengan kesal. "Lihat dong kenyataannya. Dia itu jadi susah dihubungi. Terus sekarang nggak ada di rumah pula."
      "Ya, tapi buang dong pikiran aneh-aneh yang ada di otakmu itu, Ris."
      "Aneh bagaimana sih? Wajar dong kalau aku ambil kesimpulan dia yang aneh-aneh di belakangku? Buktinya dia selalu menghilang seperti sekarang ini."
Ana menggigit bibirnya. Mencoba menahan tumpahan kata-kata yang pasti bakal membuat Faris makin kesal. "Harusnya kamu tanya dulu sama dia baik-baik alasannya  apa."
      "Mau nanya gimana ... dia selalu mengelak." Faris Kembali membela diri.