***
"Apa maksudnya ini?" Ana menunjuk chat Faris di hape. "Kamu mau mutusin Viya?" lengkingnya. Alhasil suaranya membuat beberapa anak kabur dari taman kampus.
      Faris meletakkan buku yang sedang dibacanya ke atas rumput. "Karena dia lebih memilih merahasiakan semuanya," jawab Faris muram.
      "Itu karena Viya nggak mau ngerepotin kamu! Sini ikut aku biar jelas semuanya."
Ana menarik Faris hingga berdiri. Terpaksa Faris membonceng Ana karena diancam tak boleh bertemu lagi dengan Viya selamanya. Pertama-tama Ana mengajaknya ke stasiun untuk nge-print tiket. Pertanyaan Faris tidak digubris olehnya. Lalu dia mengarahkan Faris melewati jalan-jalan asing. Ana memintanya berhenti di depan sebuah rumah. Faris tertegun begitu membaca tulisan yang tertera di sebuah plang.
      "Ayo, masuk! Sudah dimulai acaranya dari tadi soalnya." Ana mendorong Faris agar cepat masuk.
Faris mendengar lantunan doa begitu masuk ke dalam rumah. Ruangan bagian dalam penuh oleh anak-anak yang sedang berdoa. Mereka dipimpin seorang wanita paruh baya. Rupanya acaranya sudah mau selesai karena wanita itu mengucapkan kata-kata penutupan.
      "Semoga Allah menerima amal ibadah Kak Mena adik dari Kak Viya. Terima kasih telah mendoakan almarhumah anak-anak. Kita doakan juga semoga Kak Viya diberi kesehatan serta selamat dalam perjalanan."
Ana diam-diam menangis. Faris menatap nanar Viya sedari tadi. Tenggorokannya tercekat.
      "Ini yang dirahasiakannya?" tanyanya pada Ana dengan suara parau.
      Ana mengangguk. "Masih mau mutusin Viya sekarang?"