Aswin tampak semakin gugup. Â Bagaimana tidak? Boroknya selama 6 tahun terpampang jelas di hadapannya sekarang. Aku menghela napas dalam-dalam ....
"Katakan satu alasan agar aku tidak meninggalkanmu!"
Aku menatap matanya dalam-dalam, mengharapkan jawaban yang sesuai keluar dari bibirnya. Tapi matanya menatapku gugup. Seperti biasanya ... seperti menyimpan rahasia .... rahasia yang jadi duri selama ini. Dan aku benci padanya ....
"Ternyata Vinka benar! Kamu tak bisa memilih!"
"Nggak, Lin, aku ...."
Percuma saja ia meneriakku agar berhenti, karena langkah ini malah semakin cepat. Cepat ... cepat ... pergi .... Aku terus berteriak dalam hati agar kuat berlalu dari Aswin. Agar langkahku tak terhenti, tak menoleh ke belakang, dan berharap ia berlari menyusul. Aku harus pergi. Pergi dari laki-laki yang melukai harga diri. Padahal cinta itu tak mati ... tapi tetap harus pergi.
***
Badra tertegun melihatku menangis sesegukan. Ia meraihku dalam pelukannya. Tak disangka semua sedih yang kupendam selama ini tumpah begitu saja di bahunya.
"Lin, kamu merindukan Aswin ...," bisiknya lembut.
Aku menggeleng, "Tidak ... tak pernah ... tak akan pernah ...."
Badra mengangkat daguku dengan lembut. "Jangan bohong. Aswin juga merindukanmu," ucapnya, "Aswin sakit, Lin, dia ingin bertemu denganmu ...."