"Katakan satu alasan agar aku tidak meninggalkanmu!"
Aku menatap matanya dalam-dalam, mengharapkan jawaban yang sesuai keluar dari bibirnya. Tapi matanya menatapku gugup. Seperti biasanya ... seperti menyimpan rahasia .... Rahasia yang jadi duri selama ini. Dan aku benci padanya ....
***
Berkali-kali aku mencoba mengabaikan telepon dari Badra, tapi rasa penasaran menggigit semakin keras. Apa gerangan yang membuat Badra begitu bersikukuh menghubungiku? Apakah dia diminta Aswin untuk meneror setelah berjuta dering telepon darinya kuabaikan? Hanya alasan ini yang masuk akal buatku. Setelah satu bulan aku mengabaikan Aswin, berpura-pura ia tak pernah ada dalam hati ini. Padahal rindu ini semakin membesar, mengakar hingga tak bisa diukur oleh nalar. Aku tahu, kenangan dalam masa 6 tahun takkan mungkin tenggelam begitu saja. Akan sangat sulit bagiku untuk melupakan Aswin. Walaupun penasaran, aku yakin keputusan untuk mengabaikan telepon dari Badra sangatlah tepat.
Tapi ternyata tidak untuk Badra. Rupanya ia memutuskan untuk melakukan hal ekstrem setelah cukup bersabar menerima pengabaian dariku. Badra tiba-tiba menghadangku di sebuah pagi yang sangat dingin. Jaketnya menutupi leher, sekilas kulihat uap di setiap helaan napasnya. Napas Badra terengah-engah. Aku yakin dia telah berusaha keras untuk dapat menemuiku.
"Lin, kumohon, jangan menghindariku terus ...." Tangan Badra menarik lenganku, "Please, ini penting ...."
Aku membuang muka. Bukan karena muak dengan sikapnya, tapi karena yakin dia diminta Aswin untuk melakukan hal ini. Akhirnya kuputuskan untuk menahan diri kabur darinya. Kutatap mata Badra lekat-lekat, "Jangan bilang kalau ini semua tentang Aswin ...."
Badra menunduk, "Sayangnya ini memang tentang Aswin," ucapnya perlahan. "Kamu harus menemuinya, Lin, harus ...."
Kutepis tangan Badra dengan kasar, "Menemuinya? Setelah semua rasa sakit yang dia buat kamu bilang harus menemuinya?"
"Maaf, Lin, aku tahu Aswin salah. Tapi kali ini kamu harus benar-benar menemuinya." Badra memohon-mohon, dan aku jadi muak padanya.
"Tidak!!" Tak sadar aku menjerit. Seluruh rasa sakit itu seperti terkuak kembali. Membuncah dari dalam perut. Membuat dadaku sesak, membuatku ingin muntah. "Jangan pernah ajari aku untuk memaafkannya," desisku tajam, penuh rasa sakit. Lalu kenangan itu berputar kembali di kepala, seperti film tua yang terpaksa ditayangkan demi memuaskan keingintahuan penonton. Tentang kejadian beberapa bulan lalu yang menjawab semua rasa gelisah yang kurasa selama bertahan dengan Aswin. Sebuah kenyataan yang sebenarnya telah kuduga, tapi seringkali dinihilkan kembali oleh Aswin. Aku sangat terluka ... pengorbanan bertahun-tahun bertahan dengannya hanya sebuah kesia-siaan. Tak disangka Aswin begitu melukai harga diriku sebagai perempuan.
Badra terduduk di ruang tunggu kantor. Tangannya menutupi wajah yang mendadak pucat. "Maafkan Aswin, Lin ... kumohon ...."
Aku mengabaikannya. Pikiranku sesak oleh kenangan penuh rasa sakit ....
***
"Apa maksud semua ini?" Mataku menatap nanar Vinka. Sebuah pertanyaan bodoh, karena aku sudah membaca niat wanita di hadapanku sejak satpam kantor menelepon ada tamu yang mencariku.
Vinka menyilangkan kaki dengan santai. Senyum kemenangan tersungging sekilas di wajahnya. "Kenapa harus dijelaskan?" Ia balik bertanya.
Jadi ini bukti dari semua pertanyaan yang timbul dari keraguan di hati. Jemariku menggeser perlahan semua gambar di ponsel Vinka. Memang ia benar, kenapa harus dijelaskan, sedangkan kenyataannya begitu gamblang. Foto-foto kemesraan Aswin dan Vinka selama ini, seperti sedang menyajikan dirinya untuk dipilih. Aku menelan ludah, 6 tahun yang sia-sia. Airmata yang percuma.
"Kalian tega membohongiku selama ini ...."
"Membohongimu? Bukannya kamu sudah tahu selama ini?" tantang Vinka.
Oh, sungguh, kalau saja ini bukan di kantor, sudah kumaki-maki dia. Aku menarik napas dalam-dalam, tapi tetap dada ini terasa sesak. Vinka benar, aku memang tahu semua kebohongan mereka selama ini. Aswin selalu menyangkal, tapi kepastian hubungan yang lambat terwujud menjadi bukti tak tertulis. Aku yakin benar Aswin memiliki wanita lain. Dan aku tak terkejut ketika wanita di depanku ini tadi memperkenalkan diri. Beberapa kali aku melihat kedekatan mereka di media sosial, tapi Aswin selalu berkelit.
"Jadi apa maksud semua ini? Apa maumu?"
Senyum licik mengembang di wajah cantik Vinka. Hatiku langsung tak enak melihatnya.
***
Sejak kejadian hari itu aku sengaja makin menjaga jarak dengan Aswin. Seperti main petak umpet saja. Aswin tahu aku sedang mencoba menghindarinya. Tapi ia pikir aku hanya ngambek seperti biasanya. Padahal aku sedang berpikir. Terutama tentang permintaan Vinka. Oh, apakah harus kulakukan? Padahal memang aku membutuhkannya. Apakah aku takut dengan hasilnya nanti? Kalau terus dipendam, lama-lama pasti meledak juga. Akhirnya aku nekat. Aswin terdengar senang ketika kuminta datang ke tempat biasa nanti sore.
"Mau pesan apa Sayang? Seperti biasanya yah?"
Aku mengangguk. Biarkan saja dia bergembira sesaat sebelum semua bom meledak. Aku mencoba menikmati pemandangan senja sementara Aswin memesan minuman. Sayangnya, senja yang indah pun tak mampu membuat hati ini jadi lebih baik. Aku melempar senyum sebentar pada Aswin yang melambaikan tangan dari kejauhan. Oh, Tuhan kenapa harus kualami hal yang seperti ini? keluhku. Selama menikmati senja kubiarkan saja Aswin berbicara semaunya. Kuikuti saja alur pembicaraannya, padahal pikiran ini makin kalut. Kemudian gelap mulai turun mengaburkan warna senja. Jantungku mulai berdegup kencang, ini sudah waktunya ....
"Alin kamu kenapa?" Aswin tiba-tiba meraih tanganku.
Membina kedekatan yang lama membuat kami punya ikatan batin yang kuat. Aku menggeleng sambil menarik tangan dari genggamannya. Perlahan kusodorkan ponsel ke hadapannya.
"Coba buka ...."
Aswin keheranan, tapi ia tetap meraih ponselku. Wajahnya langsung pucat begitu membuka layar kunci ponsel. Matanya berpindah cepat antara melihatku dan melihat fotonya bersama Vinka.
"Lin ... ini ... aku bisa menjelaskannya ...."
"Tak perlu!" sentakku.
Aswin tampak semakin gugup. Â Bagaimana tidak? Boroknya selama 6 tahun terpampang jelas di hadapannya sekarang. Aku menghela napas dalam-dalam ....
"Katakan satu alasan agar aku tidak meninggalkanmu!"
Aku menatap matanya dalam-dalam, mengharapkan jawaban yang sesuai keluar dari bibirnya. Tapi matanya menatapku gugup. Seperti biasanya ... seperti menyimpan rahasia .... rahasia yang jadi duri selama ini. Dan aku benci padanya ....
"Ternyata Vinka benar! Kamu tak bisa memilih!"
"Nggak, Lin, aku ...."
Percuma saja ia meneriakku agar berhenti, karena langkah ini malah semakin cepat. Cepat ... cepat ... pergi .... Aku terus berteriak dalam hati agar kuat berlalu dari Aswin. Agar langkahku tak terhenti, tak menoleh ke belakang, dan berharap ia berlari menyusul. Aku harus pergi. Pergi dari laki-laki yang melukai harga diri. Padahal cinta itu tak mati ... tapi tetap harus pergi.
***
Badra tertegun melihatku menangis sesegukan. Ia meraihku dalam pelukannya. Tak disangka semua sedih yang kupendam selama ini tumpah begitu saja di bahunya.
"Lin, kamu merindukan Aswin ...," bisiknya lembut.
Aku menggeleng, "Tidak ... tak pernah ... tak akan pernah ...."
Badra mengangkat daguku dengan lembut. "Jangan bohong. Aswin juga merindukanmu," ucapnya, "Aswin sakit, Lin, dia ingin bertemu denganmu ...."
Sontak kudorong bahu Badra, menatap matanya. Badra tidak berbohong. Aku tahu benar kalau ia berbohong. "Haruskah kutemui dia ....?"
Badra mengangguk. Menguatkan. "Kalian harus bertemu. Seringkali cinta menjawab semua pertanyaan ketika terjeda perpisahan." Badra menarik napas. "Aswin sudah mendapat jawabannya ...."
***
Ini adalah perjalanan yang sangat panjang. Sebegitu setianya Badra pada persahabatan hingga rela menempuh jarak jauh keluar kota demi menyusulku. Badra tak henti bercerita banyak hal tentang Aswin sepanjang perjalanan. Airmataku pun tak henti mengalir mendengar ceritanya. Badra benar ... aku dan Aswin memang saling merindukan.
Jantungku melemah begitu roda mobil memasuki halaman rumah Aswin. Tangisku pecah bersamaan seruan kaget keluarga Aswin. Mereka lari menyambut kedatanganku, sebagian yang lain memberi kabar pada Aswin. Badra menggandengku. Ia terus menemani hingga di depan pintu masuk kamar Aswin. Dan aku terpana dengan kenyataan yang terpampang di depan mata ....
Aswin membuka matanya perlahan. Senyum lebar terkuak di wajah pucatnya. "Alin ...," panggilnya sengau.
Tangisku pecah begitu Badra membuka selimut Aswin. Tidak seperti ini! jeritku dalam hati. Aku langsung menghambur ke pelukan Aswin yang membuka lengannya lebar-lebar.
"Aku mencarimu kemana-mana," bisiknya, "Aku membawa cincin kemana-mana ...."
Airmata makin tak terbendung begitu Badra menyodorkan sebuah kotak beludru padaku. "Maafkan Aswin, Lin ...."
"Maafkan aku, Lin," isak Aswin, "Aku tahu sudah terlambat untuk ini semua ...."
Aku menggeleng keras. Kuraih kotak beludru dari tangan Badra, sejenak tertegun menatap isinya. Kilau mungil dari jari manisku terpantul cahaya dari jendela di belakang Aswin. Sebuah sensasi baru merayapi hati dan pikiranku. Apakah ini? Terasa menyejukkan semua derita?
Badra menangis. Aswin menangis, seolah tak percaya dengan yang kulakukan. "Terima kasih Alin," isak Aswin, "Kaulihat Sayang? Kini ada pelangi di mataku ...."
Tak kuat aku melihat penderitaannya akibat mencariku selama ini. Kupeluk Aswin erat-erat. Aku berjanji akan menjagamu, Win. Apa yang telah terjadi antara kita anggap saja duri yang memberi arti. Dan Apa yang akan terjadi--anggap saja sebagai bukti cinta di hati. Aku berjanji akan menjagamu selamanya ....
***
"Aswin mencarimu kemana-mana, Lin. Dia sadar salah telah mengabaikanmu selama ini. Vinka meninggalkannya, Lin. Setelah ...."
Punggungku tiba-tiba tegang. "Setelah apa, Dra? Hei, Dra!"
Badra memperlambat laju mobil. Menarik napas dalam-dalam. "Aswin kecelakaan. Dia kehilangan sebelah kakinya ...."
***
Biodata Penulis
Penulis lahir di Bandung dan masih berusaha untuk tetap menulis hingga saat ini. Sempat vacum menulis fiksi, tapi sekarang sedang merintis lagi. Karena penulis yang lahir tahun 1977 ini sadar apabila genre fiksi yang telah membuatnya suka literasi. Basic Fakultas Sastra Unpad menjadi bekal penulis mencintai genre fiksi. Penulis menggunakan nama pena Ywidya untuk sebagian besar karya tulisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H