Matus segera berlari memberitahu istrinya, Tribus, untuk segera pergi dari sini. Untungnya, Tribus sudah mengemasi barang-barang dan senjata-senjata pribadi. Merekapun kabur melalui terowongan rahasia di bawah tanah. Sebelum memasuki terowongan rahasia itu, Metus masuk ke sebuah ruangan rahasia untuk mengambil buku jurnal yang besar dan sebuah buku kecil. Terowongan itu mengarah ke tenggara Castra, atau lebih tepatnya ke arah hutan Fumus.
---------------------------------------------------------------------------------------------------- Â Â Â
Aku terus berpikir dan mengelilingi ruangan ini, barangkali ada yang terlewat. Sudah 1 jam aku mondar-mandir mencari buku kecil yang dimaksud di buku jurnal tadi. Mungkin buku kecil itu sudah dibawa ke tempat lain? atau mungkin hilang? Argh, ini membuatku bingung. Lalu aku tiba-tiba terpikirkan suatu hal yang kupikir terlewatkan. Seisi ruangan ini sudah kuperiksa, kecuali di satu tempat. Di bawah meja? Daripada membuang-buang kemungkinan yang ada, akupun langsung mengeceknya. Entah aku merasa senang atau kesal begitu menemukannya. Senang karena sudah berhasil menemukannya, tapi juga kesal karena menyadari waktuku terbuang sia-sia untuk mencarinya, dan ternyata hanya di bawah meja. Aku menggeser meja itu dan mengambil peti kecil yang ada di bawah sana. Untungnya, peti itu tidak terkunci, sepertinya langit sedang memihakku, haha.
Kubuka peti itu dengan sangat antusias, dan, waoww. Aku melihat dua buah belati yang sangat kuat, tajam, tapi ringan, sepertinya belati ini terbuat dari titanium dan emas. Lalu ada gulungan kertas tua, dan akhirnya, buku kecil itu.
Kuambil belati itu untuk kujadikan hak milikku, dan menyimpan belati pemberian ibuku ke dalam peti. Terimakasih untuk selama ini. Lalu, aku membuka gulungan itu, yang ternyata adalah peta dunia beserta dengan arah mata anginnya. Dan yang terakhir, buku kecil yang disampul kulit itu entah kenapa terlihat sus.
Di buku itu tertulis bahwa buku itu hanya dapat dibuka dan dibaca sekali, dan hanya oleh satu orang saja. Setelah itu, buku itu akan hangus. Dan jika ada lebih dari 1 orang yang membacanya, tulisan di buku itu akan langsung menghilang, selamanya. Terdapat peringatan di bagian paling depan bertuliskan "Buku ini tidak akan menjamin keselamatanmu." "Hasil yang akan diperoleh bergantung pada halaman yang dibaca." Entah apa maksudnya. Buku itu hanya terdiri dari 10 lembar kertas tua. Aku membukanya dan membaca isi buku itu dengan seksama, mengingat hanya dapat dibaca sekali. Â Â Â Â Â Â Â Â
Aku membacanya dengan baik-baik saja, tapi saat aku selesai membaca lembar pertama, badanku tiba-tiba terasa pegal dan kepalaku terasa pusing. Padahal aku ingat jelas kondisiku sebelumnya masih sangat prima. Semakin lama dan semakin jauh aku membacanya, semakin parah keadaan kesehatanku. Aku baru saja selesai membaca lembar kedua, tapi aku langsung batuk berdarah. Aku paham, sepertinya ini adalah efek samping dari membaca buku ini. Mungkin itu sebabnya di halaman terdepan diberi peringatan seperti itu. Yah, wajar sih, karena buku ini memang buku tentang ilmu terlarang.
Lembar ketiga baru saja selesai kubaca, dan telingaku mengucurkan darah. Aku membaca lembar keempat, dan setelahnya penglihatanku menjadi merah dan memudar, sepertinya mataku terluka. Rasanya sakit sekali, aku ingin berhenti dan menyerah saja, tapi di buku jurnal itu tertuliskan bahwa buku terlarang ini adalah sumber kekuatan. Dan mengingat aku ingin membalaskan dendam ayahku, maka aku harus membaca buku ini lebih banyak lagi. Aku harus menjadi lebih kuat lagi! Ini tidak cukup, aku harus melanjutkannya.
Lembar kelima selesai, dan tubuhku mengeluarkan keringat darah. Selesai lembar ketujuh, indra-indraku mulai mati. Lembar kedelapan selesai, dan aku sadar, aku menjadi lumpuh. Kemudian aku berpikir, karena aku sudah terlanjur begini, apa aku lanjutkan sampai selesai saja ya? Yap, aku sudah memutuskan, daripada berhenti di sini, sekalian saja lanjut meski harus mati, lagipula hidup ini begitu membosankan bagiku. Sehari-hari hanya berburu, sendirian, tanpa ada seorangpun di sisiku. Kemudian aku melanjutkan membaca buku itu, sambil berlinangkan air mata.
Lembar kesembilan selesai, dan tubuhku serasa seperti menguap dari dalam. Panas sekali, tapi siapa peduli, tinggal 1 lembar lagi, lalu entah apa yang terjadi. Lalu aku membaca lembar yang terakhir. Saat lembar terakhir selesai kubaca, buku itu terbakar, dan tubuhku entah bagaimana, juga terbakar. Aku menutup mataku dan menghembuskan nafas terkakhirku. "Malangnya diriku ini, hidup sendirian, dan bahkan mati pun sendirian. Hah...sudahlah setidaknya, sekarang sudah selesai." Â Â
----------------------------------------------------------------------------------------------------Â