2) Reaksi Informal
Sementara itu reaksi informal terhadap kejahatan diartikan sebagai bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi dalam sistem peradilan pidana terhadap pelaku kejahatan, tetapi tindakan tersebut tidak mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku. Agar lebih mudah memahaminya, sebagai contoh seseorang yang melakukan pelanggaran hukum pidana yang oleh polisi dipandang masih belum dewasa atau masih anak-anak, maka apabila pelaku tertangkap oleh polisi tidak selalu diproses untuk diajukan ke pengadilan. Banyak kasus, polisi lebih sering memanggil orang tua dari anak-anak tersebut agar diberikan teguran sehingga akan lebih mengawasi dan mendidik anaknya dengan lebih baik. Kemudian menurut Mustofa (2021), bahwa apabila tindakan pelanggaran tersebut diproses hukum maka dikhawatirkan akan membuat anak semakin menyimpang.Â
3) Reaksi Non-Formal
Lebih lanjut, reaksi non-formal terhadap kejahatan diartikan sebagai berbagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh warga masyarakat secara langsung terhadap pelaku kejahatan maupun terhadap gejala kejahatan tanpa ada kaitannya dengan sistem peradilan pidana. Mari kita lihat dalam contoh misalnya main hakim sendiri masyarakat kepada pelaku kejahatan semisal pencopetan.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012Â
UU ini merupakan UU mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Lebih lanjut, UU SPPA ini merupakan UU pengganti UU sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU SPPA ini mulai berlaku pada tanggal 31 Juli 2014. Alasan mengapa UU SPPA ini hadir dan menjadi pengganti UU sebelumnya, dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Substansi paling mendasar dalam UU SPPA ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Â Agar mampu dipahami, berikut pengertian Keadilan Restoratif dan Diversi menurut sarjana :
a. Keadilan Restoratif
Menurut Howard Zahr: keadilan restoratif adalah proses untuk melibatkan dengan menggunakan segala kemungkinan, seluruh pihak terkait dan pelanggaran tertentu dan untuk mengidentifikasi serta menjelaskan ancaman, kebutuhan dan kewajiban dalam rangka menyembuhkan serta menempatkan hal tersebut sedapat mungkin sesuai dengan tempatnya.Â
b. Diversi
Sementara itu Diversi menurut Jack E Bynum dalam bukunya Jevenile Delinquency a Sociological Approach, yaitu diversion is an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile system (Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana).Â
Sementara itu ada beberapa poin penting yang berkenaan dengan pengenaan sanksi kepada anak di bawah umur sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas. Berikut penjabarannya :